Sabtu 31 Dec 2016 02:00 WIB

Tatap 2017 dengan Optimistis (1)

Nurul S Hamami
Foto: Republika/Yogi Ardhi
Nurul S Hamami

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Wartawan RepublikaNurul S Hamami *)

Sebuah return service Praveen Jordan yang menyangkut di net, mengakhiri partai semifinal ganda campuran Putaran Final Superseries Dunia 2016 di Dubai, Uni Emirat Arab, antara pasangan Indonesia dan pasangan Inggris, pekan ketiga Desember lalu. Jordan bersama Debby Susanto harus mengakui keunggulan Chris Adcock/Gabrielle Adcock dengan 19-21, 21-17, 9-21, dalam duel sengit selama satu jam.

Kegagalan Jordan/Debby melangkah ke final sekaligus menutup kiprah para pebulu tangkis Indonesia tanpa gelar di pengujung 2016. Putaran Final Superseries Dunia merupakan turnamen penutup rangkaian superseries selama setahun yang pesertanya hanya pemain-pemain yang berada di peringkat “8 besar” dalam pengumpulan poin turnamen superseries.

Selain Jordan/Debby, Indonesia sebenarnya juga meloloskan juara Olimpiade Rio De Janeiro Tontowi Ahmad/Liliyana Natsir. Namun, keduanya terpaksa mengundurkan diri setelah memainkan pertandingan pertamanya lantaran Liliyana mengalami cedera. Juga ada dua pasangan ganda putra yakni Kevin Sanjaya Sukamuljo/Marcus Fernaldi Gideon dan Angga Pratama/Ricky Karanda Suwardi. Tapi, mereka gagal menembus semifinal. Ganda putri Nitya Khrishinda Maheswari/Greysia Polii sebetulnya juga berhak tampil. Keduanya batal berangkat karena Nitya baru saja menjalani operasi lutut kanannya.

Sepanjang 2016 ini prestasi para pebulu tangkis Indonesia di turnamen superseries yang merupakan turnamen elite dunia –berhadiah total minimal 300 ribu dolar AS, memang tidak terlalu bagus. Dari 12 turnamen yang mendapat titel resmi dari Federasi Bulu Tangkis Dunia (BWF), yang berarti ada 60 gelar juara, Indonesia hanya mampu membawa pulang sembilan gelar. Marcus/Kevin dan Totowi/Liliyana masing-masing mengemas tiga gelar, serta Jordan/Debby, Nitya/Greysia, dan Sony Dwi Kuncoro masing-masing satu gelar.

Di tunggal putra dan tunggal putri, performa para pemain Indonesia masih jauh dari bagus. Sony, pemain veteran yang merebut gelar di Singapura Terbuka World Superseries (WS), tak banyak menorehkan prestasi. Tahun 2016 dia hanya juara di Singapura dan runner-up Thailand Terbuka yang merupakan turnamen berkategori Grand Prix Gold (GPG). Begitu pula dengan pemain nonpelatnas lainnya, Tommy Sugiarto, yang tak sekali pun merebut gelar juara, baik di superseries maupun GPG.

Tiga tunggal putra masa depan Indonesia, Jonatan Christie, Ihsan Maulana Mustofa, dan Anthony Sinisuka Ginting, masih belum bersinar. Selama setahun ini ketiganya sama-sama hanya mampu meraih sekali predikat semifinalis. Jonatan di Malaysia Terbuka (WS), Ihsan di Indonesia Terbuka (WS Premiere), dan Anthony di Australia Terbuka (WS). Dengan catatan prestasi tersebut tak heran bila Indonesia gagal meloloskan pemain tunggal putra ke Putaran Final Superseries 2016.

Setali tiga uang di tunggal putri. Boro-boro lolos ke putaran final di Dubai, di turnamen superseries dan GPG saja tak satu pun pemain Indonesia yang berhasil mencapai minimal semifinal. Ini harus menjadi catatan tersendiri bagi PP PBSI untuk mendorong munculnya pemain-pemain berkelas dunia di tunggal putri.  Di sektor ini  Indonesia sudah ketinggalan jauh dari negara lain.

Di kejuaran beregu Piala Thomas dan Piala Uber, tahun 2016 Indonesia juga masih belum mampu membawa pulang kedua lambang supremasi beregu dunia tersebut. Namun, tim Thomas yang diisi sebagian besar oleh pemain-pemain muda layak diapresiasi setelah melaju hingga pertandingan final. Langkah mereka terhenti di tangan pemain-pemain Denmark pada partai puncak. Indonesia kali terakhir menjadi juara Piala Thomas pada 2002, sementara Piala Uber pada 1998.

Pencapaian tertinggi Indonesia adalah merebut medali emas Olimpiade Rio 2016 melalui ganda campuran Tontowi/Liliyana. Hasil ini sekaligus mengembalikan tradisi medali emas Kontingen Merah Putih di ajang Olimpiade yang terhenti di London 2012. Raihan Tontowi/Liliyana ini seakan mampu menutupi belum cemerlangnya prestasi bulu tangkis Indonesia sepanjang 2016.

Optimistis

Tahun 2017 sudah di depan mata. Sebanyak 12 turnamen WS/WSP dan 13 turnamen GPG telah menunggu dan siap digelar kembali. Di luar turnamen-turnamen itu juga akan ada Kejuaraan Beregu Piala Sudirman, Kejuaraan Dunia Perseorangan, Kejuaraan Asia Perseorangan, Kejuaraan Dunia Junior, dan SEA Games. Dengan kondisi yang ada sekarang ini, bagaimanapun Indonesia harus tetap optimistis menghadapinya. Targetnya tentu harus lebih bagus dibanding 2016.

Melihat kalender turnamen serta kejuaraan yang sudah tersusun, setidaknya ada beberapa hal yang seharusnya dijadikan target oleh PBSI. Pertama, Piala Sudirman semestinya tidak dipandang sebelah mata. Indonesia menjadi pemegang gelar juara pada 1989 ketika kejuaraan beregu dunia dengan format campuran ini kali pertama digelar di Jakarta. Setelahnya, piala tersebut lama bersemayam di Cina yakni sejak 1995 hingga 2015. Korea Selatan sempat merebut gelar itu di tahun 1991 dan 1993, serta menyela lagi dengan menjadi juara di tahun 2003.

Setelah menjadi juara pada 1989, Indonesia sempat enam kali tampil di partai final. Namun, selalu kandas: dua kali di tangan Korsel (1991 dan 1993) dan empat kali di tangan Cina (1995, 2001, 2005, dan 2007). Juga enam kali sebagai semifinalis yakni pada 1997, 1999, 2003, 2009,  2011, dan 2015. Pada 2013 di Kuala Lumpur Indonesia untuk kali pertama gagal melangkah hingga semifinal.

Melihat komposisi pemain yang sekarang ada, target mencapai semifinal Piala Sudirman di Gold Coast, Australia, Mei 2017 mendatang masih realistis. Syukur-syukur bisa berbicara lebih jauh lagi yakni lolos ke final dan menjadi juara. Setidaknya Indonesia meiliki tiga nomor andalan: ganda putra, ganda campuran, dan ganda putri. Tunggal putra masih bisa fifty-fifty untuk menyumbang poin. Sedangkan sektor terlemah  adalah di tunggal putri.

Tontowi/Liliyana dan Jordan/Debby menjadi andalan di ganda campuran. Keduanya sangat ditakuti oleh pemain-pemain Cina, Korsel, Denmark, Malaysia, maupun Jepang yang diperkirakan favorit untuk berada di “empat besar”. Sedangkan di ganda putra ada Marcus/Kevin dan Angga/Ricky yang sedang naik daun. Ahsan yang sudah tak bermain lagi dengan Hendra Setiawan, masih bisa diandalkan untuk berpasangan dengan siapa saja. Sedangkan di ganda putri tentu saja Nitya/Greysia akan menjadi tulang punggung.

Sebelum tampil di Piala Sudirman, masih ada waktu lima bulan untuk memoles pemain-pemain yang disiapkan. Tercatat ada lima turnamen kategori GPG dan empat WS/WSP yang lebih dulu digelar, serta Kejuaraan Asia Perseorangan. Pemain-pemain top dunia dipastikan akan tampil di turnamen-turnamen tersebut. Ini menjadi penting bagi para pemain Indonesia yang disiapkan ke Piala Sudirman menjajal atau setidak-tidaknya mengetahui calon lawan mereka. Untuk itulah seharusnya PBSI telah memiliki bayangan siapa-siapa saja yang disiapkan ke Piala Sudirman sehingga bisa langsung menentukan turnamen-turnamen yang akan mereka ikuti.

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement