Selasa 14 Nov 2017 08:08 WIB

Dagelan Hukum KTP Elektronik

Setya Novanto, Ketua Umum Partai Golkar.
Foto: Prayogi/Republika
Setya Novanto, Ketua Umum Partai Golkar.

REPUBLIKA.CO.ID, Setya Novanto, ketua DPR dan ketua DPP Partai Golkar, tetap menolak diperiksa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Novanto hendak diperiksa terkait dugaan keterlibatannya dalam kasus megakorupsi KTP elektronik (KTP-el). Senin kemarin, Novanto memilih mengunjungi Kupang, Nusa Tenggara Timur (NTT), ketimbang duduk di ruang pemeriksaan di gedung KPK.

Ini untuk kesekian kalinya Novanto menolak diperiksa. Padahal, statusnya sudah menjadi tersangka. Ini pun kedua kalinya setelah status tersangka pertamanya dianulir oleh hakim praperadilan beberapa pekan lalu.

Pada kesempatan tersangka pertama, Novanto menolak diperiksa dengan alasan sakit. Ia masuk RS Premier Jatinegara. Fotonya di kamar perawatan rumah sakit dijadikan bahan lawakan generasi milenial karena dianggap salah kostum saat dirawat.

Dalam kesempatan lain, ia menolak dengan alasan sedang menjalankan tugas sebagai ketua DPR. Seperti yang ia lakukan di Kupang, NTT, kemarin. Kupang adalah daerah pemilihan Novanto. Kemarin, ia panen padi di sana. Sembari memperkenalkan politikus Golkar yang akan maju sebagai calon wali kota Bandung di Pemilihan Wali Kota Bandung 2018. Ya, betul! Bakal calon pemimpin Bandung diperkenalkan kepada massa di Kupang.

Novanto juga bergerak lewat jalur hukum. Kuasa hukumnya menegaskan Novanto memiliki kekebalan hukum atau harus seizin presiden untuk diperiksa KPK. Padahal, dalam aturan pemeriksaan sudah dijelaskan kekebalan hukum itu ataupun izin tidak berlaku dalam kasus korupsi. Pasal ini kemarin digugat ke Mahkamah Konstitusi.

Rakyat menyaksikan kucing-kucingan pemeriksaan Novanto ini dengan gemas. Siapa yang tidak bakal gemas? Kalau anggota DPR lain atau kepala daerah lain melakukan hal serupa, KPK sudah pasti akan memburu dan menyeret paksa yang bersangkutan. Spesial untuk Novanto, KPK rupanya masih memiliki stok sabar cukup besar.

Persoalannya tidak berhenti di KPK. Sebab, bersamaan dengan nama 'Setya Novanto' ada dua atribut yang ia sandang. Pertama, adalah ketua Dewan Perwakilan Rakyat. Ketua DPR berarti ketua yang mewakili para wakil rakyat yang dipilih secara langsung oleh rakyat. Kedua, ketua umum DPP Partai Golkar. Ketua Umum Golkar berarti ketua salah satu partai paling besar dan berpengaruh di pentas politik dan ekonomi nasional. Ada dua persoalan yang akan terjadi.

Tentu sebagai rakyat, publik berharap ketua para wakil rakyat itu berhenti memberikan contoh yang tidak baik. Terus menghindar dari proses hukum KPK itu jelas sekali maksudnya. Apalagi, kucing-kucingan proses hukum ini sudah masuk ke taraf menjadi dagelan di masyarakat. Kok bisa ya dengan mudah berkelit dari panggilan KPK? Kok KPK tidak berani langsung menangkap ya? Kok pemerintah diam saja melihat situasi ini? Dan lain sebagainya.

Mungkin ada baiknya kita mendoakan Pak Setya Novanto agar yang bersangkutan tersadar, berhenti menghindar, dan mau mendatangi ruang pemeriksaan di gedung KPK pada panggilan selanjutnya. Doa tulus dari rakyat kepada wakil rakyat. Semoga dikabulkan oleh Allah SWT! Amin!

Permasalahan lain muncul dari peran Novanto sebagai politikus Partai Golkar. Apa yang ia lakukan saat ini berimbas ke tingkat elektoral partai berlambang beringin itu.

Beberapa hasil survei sudah memperlihatkan tren ini. Indikator elektabilitas partainya menjadi stagnan, dengan kecenderungan menurun. Responden mulai beralih ke partai lain. Sejumlah tokoh senior Golkar pun sudah memperingatkan pengurus DPP Golkar soal situasinya.

Pemilu serentak 2019 tinggal dua tahun lagi. Pada saat itu yang memegang peranan suara penting adalah kaum muda milenial. Kelompok ini berdasarkan sejumlah riset memiliki tendensi negatif terhadap politik dan parpol. Negatif dalam artian apatis dan mengarah ke golongan putih (golput) alias tak mau memilih. Mereka ini juga diklaim tak mempan terhadap politik uang karena benar-benar tidak tertarik politik sama sekali.

Ngeri juga membayangkan bilamana generasi millennial mengurangi kontribusinya ke politik Indonesia karena faktor korupsi politik, ketidaktegasan pemerintah, strategi KPK yang menahan diri, dan sepak terjang Novanto. Skenario terburuknya adalah arena politik masih akan tetap dihuni oleh orang-orang lama yang menutup pintu bagi generasi baru. Status quo akan terjadi. Kita tentunya tidak menginginkan hal ini.

(Tajuk Republika)

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement