Sabtu 09 Dec 2017 05:03 WIB

Trump, Dajjal, dan Islam

Wartawan Republika, Agus Yulianto
Foto: Dok. Pribadi
Wartawan Republika, Agus Yulianto

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Agus Yulianto, wartawan Republika

Dunia kini menghadapi kiamat kecil. Dan di antara tanda-tanda kiamat kecil pada akhir zaman adalah penaklukan Yerussalam. Dalam sebuah hadis, Rasulullah SAW telah bersabda: “Saya menghitung enam hal menjelang–hari kiamat.” Beliau menyebutkan salah satu di antaranya, yaitu penaklukan Yerusalem. (Sahih Bukhari).

Tanda-tanda kiamat kecil lainnya adalah serbuan musuh Islam terhadap kaum Muslimin. Daripada Tsauban ra berkata, Rasulullah SAW bersabda; “Hampir tiba suatu masa di mana bangsa-bangsa dan seluruh dunia akan datang mengerumuni kamu bagaikan orang-orang yang hendak makan mengerumuni talam hidangan mereka”. Maka salah seorang sahabat bertanya “Apakah karena kami sedikit pada hari itu?” Nabi SAW menjawab, “Bahkan kamu pada hari itu banyak sekali, tetapi kamu umpama buih di waktu banjir, dan Allah akan mencabut rasa gerun terhadap kamu dari hati musuh-musuh kamu, dan Allah akan mencampakkan ke dalam hati kamu penyakit ‘wahan’.” Seorang sahabat bertanya, “Apakah wahan itu hai Rasulullah?” Nabi kita menjawab, “Cinta pada dunia dan takut pada mati.” (Riwayat Abu Daud)

Tanda-tanda itulah yang saat ini sedang kita saksikan. Adalah Presiden AS Donald Trump yang secara resmi mengakui Yerusalem sebagai ibu kota Israel pada Rabu (6/12). Kecongkakannya pun semakin menjadi-jadi ketika dia menolak peringatan sekutu Amerika di seluruh Timur Tengah. Trump bersikukuh mengumumkan bahwa AS akan memindahkan kedutaannya dari Tel Aviv ke Yerusalem.

Lantas apa yang menyebabkan Trump bersikukuh untuk memindahkan Kedubes AS ke Yerusalem? Pada 1995, Amerika Serikat memberlakukan UU tentang status Yerusalem dan keberadaan Kedutaan Besarnya yang disebut Jerusalem Embassy Act. UU itu menyebutkan AS harus mengakui Yerusalaem sebagai ibu kota Israel dan Kedutaan Besar AS harus dipindahkan ke kota itu.

Namun, dalam praktiknya, pemerintahan AS sebelum ini, tidak pernah menjalankan UU itu. Sebagai gantinya, setiap presiden AS menandatangani sebuah keputusan presiden, yang menyatakan Kedutaan Besar AS akan tetap berada di Tel Aviv. Kepres itu berlaku selama enam bulan, dan setiap kali harus diperbarui. Bulan Juni lalu, Presiden Donald Trump juga menandatangani keputusan semacam itu. Masa berlaku keputusan itu berakhir Desember ini.

Bahkan, pada masa pemilu presiden, Donald Trump memang berulangkali menegaskan akan memindahkan Kedutaan Besar AS dari Tel Aviv ke Yerusalem. Ini karena menurut dia Yerusalem adalah ibukota Israel yang sebenarnya. Dngan langkah ini, Trump ingin memenuhi janji kampanyenya.

Kontan, sikap pongah Trump itu langsung menuai reaksi keras dari masyarakat dunia, tak hanya kalangan Muslim, tapi umat Kristiani pun mengecamnya karena keputusan itu terdeteksi melanggar kebijakan Washington. Paus Fransiskus pun mengungkapkan kekhawatirannya terkait keputusan Trump tersebut. Paus mengaku tidak bisa tinggal diam dengan situasi yang berkembang pascakeputusan Trump itu. Dia menilai, pengumuman akan memancing ketegangan baru di kota suci bersejarah yang dipuja orang-orang Yahudi, Kristen, dan Muslim itu.

Kekhawatiran juga disampaikan Sekretaris Jenderal PBB António Guterres. Ia mengaku mengalami kegelisahannya yang hebat terkait keputusan Trump ini. Untuk itu, pihaknya akan memberikan teguran diplomatik. Pasalnya, tindakan sepihak Trump itu akan membahayakan prospek perdamaian bagi orang Israel dan Palestina.

"Isu status akhir Yerusalem harus diselesaikan melalui perundingan langsung antara kedua pihak berdasarkan resolusi Dewan Keamanan dan Majelis Umum yang relevan, dengan mempertimbangkan masalah yang sah dari pihak Palestina dan Israel," kata Guterres sebagaimana dikutip New York Times.

Sekretaris Jenderal Organisasi Pembebasan Palestina (PLO) Saeb Erekat pun turut mengecam keputusan Presiden Amerika Serikat (AS) mengakui Yerusalem sebagai ibu kota Israel. Dia menegaskan keputusan tersebut telah menghancurkan kemungkinan damai antara Palestina dan Israel. "Presiden Trump baru saja menghancurkan kemungkinan solusi dua negara. Presiden Trump, malam ini, membuat kesalahan besar dalam hidupnya," kata Erekat, yang juga merupakan negosiator utama Palestina, dilaporkan laman CNN.

Pemerintah Indonesia pun mengecam keras pengakuan sepihak AS tersebut dan meminta AS mempertimbangkan kembali keputusan tersebut. Apalagi, seperti yang dikatakan Presiden Joko Widodo, pengakuan sepihak tersebut telah melanggar berbagai resolusi Dewan Keamanan dan Majelis Umum PBB yang Amerika Serikat menjadi anggota tetapnya serta bisa mengguncang stabilitas keamanan dunia.

“Saya dan Rakyat Indonesia tetap konsisten untuk terus bersama dengan rakyat Palestina dalam memperjuangkan kemerdekaan dan hak-haknya sesuai dengan amanah Pembukaan UUD 1945,” tegasnya lagi.

Sementara Presiden Palestina Mahmoud Abbas pun sebelumnya telah merespons keputusan Trump. "Ini adalah hadiah untuk Israel," kata Abbas menanggapi pengakuan Yerusalem sebagai ibu kota Israel oleh AS.

Keputusan Trump ini akan mendorong pendudukan dan okupasi lebih lanjut oleh Israel terhadap tanah Palestina. Dengan keputusan tersebut pula, Abbas menyatakan AS tak akan lagi bisa menjadi mediator dalam penyelesaian konflik Palestina-Israel.

Sedangkan Arab Saudi menyebut langkah tersebut sebagai provokasi yang mencolok, sementara Presiden Turki Recep Erdogan menggambarkan status Yerusalem saat ini sebagai "garis merah bagi umat Islam.

Keputusan Trump itu pun telah menyebabkan banyak demonstrasi di jalanan dengan gambar-gambar yang muncul dari warga Palestina di Bethlehem yang membakar gambar Trump. Sebuah "hari kemarahan" juga akan digelar untuk Jumat ini oleh organisasi fundamentalis Sunni-Islam Palestina, Hamas.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement