REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Ratna Puspita*
Saya akhirnya punya kartu tanda penduduk elektronik (KTP-el) sekitar tiga bulan lalu. Staf kantor rukun warga wilayah saya tinggal mengantarkan KTP tersebut pada suatu pagi, Januari silam. Saya menerima KTP-el tersebut 13 bulan sejak saya membuatnya pada Oktober 2016.
Kala itu, saya merekam data KTP-el karena penyelenggara Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) DKI Jakarta mensyaratkan identitas yang berlaku nasional tersebut bagi warga yang ingin menggunakan hak pilih. Namun, itu bukan pertama kali saya datang ke kantor kelurahan untuk merekam data identitas.
Beberapa tahun lalu, saya pernah datang untuk merekam data KTP-el. Akan tetapi, blangko KTP-el habis sehingga saya hanya bisa melakukan perekaman data KTP biasa, yang diterbitkan kantor kelurahan.
Proses pembuatan KTP biasa tersebut sangat cepat. Saya juga menerima KTP pada hari yang sama. Tentu saja, proses cepat ini karena bentuk fisik KTP biasa hanya terbuat dari kertas yang dilapisi plastik laminasi.
Bentuk KTP biasa sangat berbeda dengan KTP-el yang terbuat dari plastik dan berbasis radio frequency identification (RFID). Ahli fisika nanomaterial Institut Teknologi Bandung (ITB) Mikrajuddin Abdullah pernah menjelaskan dalam sidang korupsi KTP-el dengan terdakwa Irman dan Sugiharto pada 8 Juni 2017 bahwa KTP-el terdiri atas tujuh lapis film yang melibatkan beberapa tahap pembuatan.
Pengalaman bolak-balik ke kantor kelurahan dan menunggu berbulan-bulan untuk sebuah kartu identitas bukan hanya dialami oleh saya. Di media sosial, banyak orang berkomentar bahwa hingga sekarang masih menunggu KTP-el miliknya setelah berbulan-bulan lalu melakukan perekaman.
Bahkan, sejumlah warga Kelurahan Umbansari, Kecamatan Rumbai, Kota Pekanbaru, pada Agustus tahun lalu mengeluhkan keharusan merekam data ulang karena keteledoran petugas. Warga tersebut sudah melakukan perekaman data KTP-el pada 2013.
Namun, warga mengaku tidak pernah menerima KTP-el setelah tiga tahun. Ternyata, data yang telah direkam tersebut hilang sehingga mereka harus melakukan perekaman data ulang. "Katanya warga yang merekam KTP elektronik di bawah 2014 harus mengulang karena datanya hilang," ujar warga, Vien (31 tahun).
Kondisi tersebut sangat merepotkan ketika ada berkas-berkas yang harus diurus seperti perpanjang paspor.
Ada juga yang mengeluhkan KTP-el miliknya mudah rusak. Kualitas KTP-el yang dikeluhkan ini seperti lapisan plastik atau laminasi yang terkelupas dan tulisan data kependudukan hilang.
Pada 13 September lalu, Kementerian Dalam Negeri pun mengakui ada blangko KTP-el yang mudah rusak ketika diterima masyarakat. Kondisi itu terjadi karena kesalahan pada proses pembuatan, khususnya terkait suhu yang ditetapkan.
Berbagai kendala dan keribetan masyarakat dalam membuat KTP-el ini mendorong perasaan kesal ketika membaca terdakwa kasus korupsi KTP-el, Setya Novanto. Majelis hakim Pengadilan Tipikor Jakarta menjatuhi hukuman 15 tahun penjara dan denda Rp 500 juta subsider tiga bulan kurungan kepada Setya Novanto (Setnov).
Majelis hakim tetap mewajibkan Setnov membayar uang pengganti sesuai dengan uang yang ia terima, yaitu 7,435 juta dolar AS dan dikurangi Rp 5 miliar yang sudah dikembalikan ke KPK. Jika menggunakan kurs rupiah tahun 2010, totalnya sekitar Rp 66 miliar.
Seperti banyak orang lain, saya pun menghitung jumlah uang yang diterima Setnov tersebut dengan lama hukuman penjaranya. Jika setiap rupiah yang diterima Setnov tersebut dikonversi pada hukumannya, satu hari Setnov di penjara karena telah menerima uang Rp 12 juta.
Saya juga membandingkan vonis Setya Novanto dengan dua terdakwa lainnya, yakni Irman dan Sugiharto. Mahkamah Agung beberapa hari lalu memperberat hukuman keduanya menjadi 15 tahun penjara.
Dalam kasus itu, sesuai uang pengganti yang harus dibayarkan, Irman menerima 500 ribu dolar AS dan Rp 1 miliar. Sugiharto menerima 450 ribu dolar AS, Rp 460 juta, dan satu unit Honda Jazz.
Jumlah uang yang diterima sangat jauh berbeda, tetapi lama hukumannya sama. Tentu saja, hukum bukan sekadar menghitung berapa banyak uang yang diterima oleh orang-orang yang terlibat dalam kasus tersebut.
Hukum juga mempertimbangkan peran para pihak yang terlibat. Namun, Irman dan Sugiharto bersikap kooperatif selama penyidikan sehingga banyak nama yang terungkap dalam kasus ini.
Sementara itu, Setya Novanto mempersulit penyidikan oleh KPK dengan berbagai drama foto pernapasan di rumah sakit. Juga, kecelakaan yang menyeret orang-orang dari tiga profesi yang "mulia", yakni pengacara, dokter, dan wartawan, duduk di bangku Pengadilan Negeri Tindak Pidana Korupsi Jakarta.
Di sisi lain, uang pengganti tersebut lebih dari separuh harta kekayaan Setya Novanto yang tercatat di Laporan Hasil Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) pada 13 April 2015. Berdasarkan laporan itu, total harta kekayaan Setya Novanto mencapai Rp 114.769.292.837 dan 49.150 dolar AS.
Perasaan tidak adil terkait vonis tersebut pun membuat saya menilik ke belakang ketika kasus ini terungkap pertama kali. Kemendagri menganggarkan proyek KTP-el Rp 5,9 triliun. Dana dari uang pajak masyarakat tersebut dikorupsi dengan total kerugian negara mencapai Rp 2,3 triliun. Artinya, hampir 40 persen dana proyek tersebut dikorupsi.
Total kerugian negara akibat korupsi KTP-el tersebut setara dengan 38 persen biaya Asian Games 2018, yang digelar pada 18 Agustus hingga 2 September mendatang. Bahkan, kerugian tersebut hampir empat kali harga Mohamed Salah ketika dibeli Liverpool dari AS Roma pada musim panas lalu.
Entah berapa banyak proyek infrastruktur yang sedang digencarkan pemerintah sekarang ini bisa selesai dengan uang yang dikorupsi dari proyek KTP-el.
*) Penulis adalah redaktur Republika.co.id