REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Nidia Zuraya*
"Ini hadiah Lebaran yang sudah kita nanti-nanti selama 11 tahun," demikian tulis Presiden Joko Widodo (Jokowi) di akun Facebook resminya. Ungkapan kebahagian tersebut ditulis oleh Jokowi sebagai rasa syukur atas telah dicabutnya larangan terbang terhadap semua maskapai Indonesia oleh Uni Eropa.
Keputusan yang diambil Komite Keselamatan Penerbangan Uni Eropa pada 14 Juni 2018 lalu itu merupakan kado terindah bagi industri penerbangan nasional. Terlebih lagi, keputusan tersebut merupakan hasil pendekatan panjang yang dilakukan Indonesia sejak Juli 2007 silam.
Sebelum keputusan tanggal 14 Juni ini dikeluarkan, reputasi industri penerbangan Indonesia berada di posisi yang terpuruk. Pesawat-pesawat tanah air dilarang mendarat di seluruh daratan Amerika Serikat dan Eropa sehingga mengakibatkan reputasi penerbangan Indonesia menurun begitu drastis.
Sebetulnya sebelum dicabut semua, ada beberapa maskapai yang memang telah diizinkan mengudara terlebih dulu oleh Komisi Eropa. Pada 2009 misalnya, Uni Eropa mengeluarkan Garuda Indonesia, Mandala Air, Airfast, dan Primer Air, dari daftar Keselamatan Penerbangan Uni Eropa (EU Flight Safety List). Setahun setelahnya menyusul Indonesia AirAsia dan Batavia Air.
Kemudian, pada 2011, Komisi Eropa juga menghapus beberapa perusahaan kargo seperti PT Cardig, PT Air Maleo, Asia Link, dan Republik Express dari 'daftar hitam' mereka. Lalu pada 2016, pencabutan larangan diberikan kepada Batik Air, Citilink, dan Lion Air. Rangkaian pencabutan larangan ini ditutup dengan diizinkannya 55 maskapai Indonesia kembali mengudara di langit Eropa.
Komisioner Uni Eropa untuk urusan Transportasi, Violeta Bulc, mengatakan pencabutan itu dilakukan karena adanya perbaikan aspek keselamatan penerbangan di Indonesia. Daftar Keselamatan Penerbangan Uni Eropa adalah salah satu instrumen utama untuk warga Eropa bahwa keselamatan penerbangan terus dijaga pada tingkat standar tertinggi.
Pembaruan Daftar Keselamatan Penerbangan Uni Eropa didasarkan pada pendapat yang bulat dari para ahli keselamatan penerbangan asal negara-negara anggota Uni Eropa yang melakukan pertemuan tahuan Komite Keselamatan Penerbangan Uni Eropa (ASC). Komite ini diketuai oleh Komisi Eropa dengan dukungan dari Badan Keselamatan Penerbangan Eropa (European Aviation Safety Agency atau EASA).
Pembaruan juga mendapat dukungan dari Komisi Transportasi Parlemen Eropa. Penilaian dilakukan berdasarkan standar keselamatan internasional, terutama standar yang ditetapkan oleh Organisasi Penerbangan Sipil Internasional (International Civil Aviation Organisation atau ICAO).
Setelah izin terbang dari Komisi Uni Eropa berhasil dikantongi hal selanjutnya yang perlu dilakukan industri penerbangan nasional dan pemerintah Indonesia adalah melobi setiap negara anggota Uni Eropa terkait permohonan izin rute penerbangan. Terkait rute penerbangan ini, tentunya maskapai Indonesia harus bersaing keras dengan perusahaan penerbangan asing yang juga beroperasi di Indonesia dan telah rutin mengangkut penumpang ke Eropa.
Mengenai permohonan izin pembukaan rute penerbangan, Kementerian Perhubungan (Kemenhub) telah memberikan arahan agar maskapai nasional tidak terlalu berambisi untuk melakukan ekspansi rute besar-besaran. Kemenhub pun meminta maskapai melakukan studi kelayakan terlebih dahulu terhadap rute penerbangan yang mereka incar.
Jika studi kelayakan mulai dilakukan secepatnya, maka satu-dua rute baru bisa diterapkan pada tahun depan. Beberapa rute penerbangan yang bisa dibidik maskapai adalah negara dengan risiko kecil.
Asosiasi Transportasi Udara Internasional (IATA) mencatat Lalu lintas udara global pada 2017 mencapai lebih dari empat miliar penumpang. Pada tahun ini, IATA memperkirakan jumlah orang yang melakukan penerbangan bisa mencapai 4,3 miliar. IATA mewakili 280 maskapai penerbangan yang mengangkut 83 persen penumpang.
Setelah mengantongi izin rute penerbangan, tentunya yang harus diperhatikan oleh perusahaan maskapai Indonesia adalah persoalan ketepatan waktu. Sudah menjadi rahasia umum, soal ketepatan waktu ini masih harus terus dibenahi oleh maskapai Indonesia.
Awal Februari lalu, Ditjen Perhubungan Udara Kemenhub merilis daftar ketepatan waktu terbang atau on time performance (OTP) maskapai Indonesia. Tercatat lima maskapai memiliki tingkat OTP di atas 85 persen sepanjang 2017.
Maskapai yang paling tepat waktu sepanjang 2017 lalu adalah NAM Air yang mencatatkan OTP 92,62 persen dengan jumlah penerbangan tepat waktu sebanyak 29.832 penerbangan. Sementara, empat maskapai lain adalah Batik Air (88,66 persen), Garuda Indonesia (88,53 persen), Sriwijaya Air (88,69 persen) dan Citilink (88,33 persen).
Kini setelah Komite Keselamatan Penerbangan Uni Eropa mencabut larangan terbang terhadap semua maskapai Indonesia, masa depan industri penerbangan nasional ada di tangan perusahaan maskapai. Apakah mereka dapat mempertahankan dan meningkatkan kinerja pelayanan agar kepakan sayap burung besi Indonesia bisa terus terlihat di langit Eropa.
*) Penulis adalah redaktur republika.co.id