REPUBLIKA.CO.ID, oleh Bayu Hermawan*
Babak awal pesta demokrasi terbesar di Indonesia akan segera dimulai. Jelang masa pendaftaran calon presiden (capres) dan cawapres untuk Pemilihan Umum Presiden (Pilpres) 2019, lobi dan manuver politik akan semakin intensif dilakukan baik oleh kubu pendukung capres pejawat Joko Widodo atau pun kubu lawan.
Rasa penasaran masyarakat siapa yang akan bertarung memperebutkan kursi nomor 1 dan 2 di Indonesia akan segera terjawab, pada 4 Agustus mendatang atau bisa saja dalam beberapa hari mendatang.
Mencermati berita-berita dalam beberapa pekan terakhir, memang terlihat adanya peningkatan manuver dan lobi politik yang dilakukan semua pihak yang ingin bertarung di pilpres 2019. Khususnya, kubu Prabowo Subianto. Bagi saya, siapa yang akan menjadi cawapres Joko Widodo mungkin tidak menjadi sebuah kejutan. Sebab, sejak Jokowi menyebut empat nama yang masuk kantong untuk menjadi cawapres, yakni Airlangga Hartarto, TGB, Mahfud MD, Muhaimin Iskandar, efek kejutan sudah sedikit berkurang.
Bagi lawan Jokowi, dengan disebutnya empat nama tersebut, setidaknya sudah bisa dibuat peta kekuatan dan strategi untuk menghadapi Jokowi jika berpasangan dengan salah satu nama tersebut. Bahkan jika empat nama tersebut hanya sebuah pengalihan, kubu lawan Jokowi seharusnya juga sudah mengantisipasi, artinya pihak lawan sudah bisa mengeliminasi empat nama di atas, dan memprediksi yang nama-nama potensial untuk menjadi cawapres yang masih tersisa.
Lalu apa kejutan di 'tikungan terakhir' sebelum pendaftaran capres cawapres? Menurut saya setidaknya ada tiga hal yang bisa menjadi kejutan sebelum pendaftaran pilpres. Pertama, Mahkamah Konstitusi mengabulkan uji materi pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang pemilu. Kali ini, penggugat bukan datang dari parpol namun dari belasan tokoh yakni Busyro Muqoddas, Chatib Basri, Faisal Basri, Hadar Nafiz Gumay, Bambang Widjojanto, Rocky Gerung, Robertus Robet, Feri Amsari, Angga Dwimas, Dahnil Anzar, Titi Anggraini, dan Hasan Yahya.
Memang benar jika MK sudah pernah membatalkan gugatan tersebut. Namun, kejutan bisa saja terjadi mengingat para tokoh mempunyai cara baru dalam menggugat penerapan ambang batas pengajuan capres dan cawapres harus mempunyai 20 persen dari jumlah kursi DPR atau 25 persen perolehan suara nasional pada Pemilu 2014. Jika ini dikabulkan, pasti peta politik akan berubah secara total. Siapapun bisa jadi penantang Jokowi.
Kejutan kedua, masih berada di MK. Yakni jika institusi itu mengabulkan gugatan Pasal 169 huruf N Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (Pemilu) tentang batas masa jabatan wapres seperti yang diajukan oleh Perindo. Sekali lagi, pasal ini memang sudah pernah digugat dan ditolak oleh MK, namun kali ini Jusuf Kalla sudah menyatakan bersedia menjadi pihak terkait.
Melihat hal ini berbagai pihak pun khawatir jika MK mengabulkan gugatan tersebut. Seandainya MK akhirnya memutuskan mengabulkan gugatan tersebut, maka JK punya kartu pass untuk bisa maju kembali di pilpres mendatang. Bagi JK, tentu tidak susah untuk mencari parpol mana dan dari kubu mana yang bersedia mengusungnya di Pilpres. Bahkan bukan tidak mungkin, JK akhirnya berpasangan kembali dengan Jokowi. Jika ini terjadi, tentu saja nama-nama yang masuk daftar cawapres Jokowi yang sudah berada di kantong bisa tereliminasi dan gigit jari.
Jika MK bisa membuat kejutan melalui dua hal di atas, kejutan terakhir berada di tangan Prabowo Subianto. Ketua Umum Partai Gerindra itu bisa melemparkan kejutan jika pada akhirnya memutuskan tidak maju dan hanya akan menjadi 'king maker’.
Boleh-boleh saja sekarang partai gerindra mengklaim Prabowo capres adalah harga mati, atau pihak-pihak lain mendeklarasikan mendukung Prabowo, atau bahkan nama-nama cawapres untuk mantan Danjen Kopassus tersebut sudah diputuskan, tetapi ingat dalam politik segala hal bisa berubah. Dan Prabowo sendirilah yang memegang kuncinya, apakah bertarung kembali dengan Jokowi di ring pilpres, atau sekadar menjadi 'pelatih' lawan baru Jokowi.
Apa dasar Prabowo bisa memutusakan tidak maju di pilpres. Jika dicermati, hingga saat ini bisa dikatakan koalisi ini belum firm seratus persen. PKS masih ngotot meminta Cawapres, begitu juga PAN. Terakhir, demokrat yang semakin intim dengan Gerindra juga bergabung asalkan Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) jadi cawapres.
Kemudian, isu-isu bahwa logistik Prabowo untuk pilpres 2019 tidak sekuat tahun 2014. Melihat kondisi itu, bukan tidak mungkin Prabowo melepaskan kartu pass menjadi capres, dengan menggunakan alasan untuk menjaga kesolidan koalisi. Atau bisa saja ini hanya bagian dari strategi, namun seperti yang saya bilang akan menjadi kejutan jika Prabowo menyerahkan posisi capres ke tokoh lain.
Jika salah satu dari tiga kejutan diatas terjadi, tentu kita akan disuguhkan dengan pertarungan pilpres yang menarik. Ada kemungkinan pilpres diikuti lebih dari dua pasangan capres dan cawapres, ada kemungkinan Jokowi dan JK mengulang pertarungan sebagai satu tim seperti pilpres sebelumnya, dan ada kemungkinan juka muncul penantang baru bagi Jokowi. Jika tiga hal tersebut tidak terjadi, ya kita pun harus ikhlas menyaksikan partai rematch antara Jokowi dan Prabowo, dengan cawapres barunya.
*) Penulis adalah redaktur republika.co.id