REPUBLIKA.CO.ID, oleh Andi Nur Aminah*
Empat orang calon jamaah haji dari Embarkasi Hang Nadim, Batam, gagal berangkat bersama rombongannya. Dua orang tak jadi berangkat karena mendadak sakit saat sudah berada di embarkasi haji. Dua orang lainnya, adalah pendamping mereka.
Semoga saja, apa yang dialami keempat jamaah calon haji itu hanya keberangkatan yang tertunda. Toh, berangkat bersama dengan rombongan kelompok terbang bukan suatu keharusan. Berangkat dengan rombongan kloter juga bukan termasuk bagian dari rukun haji.
Saya berharap, mereka yang sakit segera dipulihkan, diberi kesehatan dan kebugaran agar bisa menjalankan ibadah yang menguras energi itu. Bagi mereka yang sakit, jika sudah diperiksa dan dinyatakan layak berangkat oleh petugas, akan berangkat bersama rombongan lain. Sesampainya di Tanah Suci, mereka yang berangkat menyusul ini akan bergabung dengan kloter mereka sebelumnya.
Apa yang dialami empat calon jamaah haji Embarkasi Batam yang batal berangkat itu, bisa terjadi pada siapa saja. Mungkin, beberapa pekan sebelumnya, kopor dan tas, seragam, paspor dan visa sudah diperolehnya. Wajahnya berbinar saat mendengar kabar namanya ada di antara deretan nama yang akan berangkat haji tahun ini.
Boleh jadi, mereka juga telah menggelar walimatus safar. Kerabat dan handai taulan berdatangan. Mereka saling memaafkan dan mendoakan untuk segala kebaikan dunia dan akhirat. Tak terlewatkan, ada titipan secarik kertas. Isinya nama-nama dari kerabat yang akan ditinggalkan. "Titip nama saya, tolong panggil, sebut nama saya, tolong doakan agar saya pun bisa pergi naik haji,". Seperti itu biasanya titipan pesan-pesan yang sangat subjekif dari handai taulan kepada mereka yang akan berangkat haji.
Namun, pergi menunaikan ibadah haji ke Tanah Suci, adalah ibadah bagi orang-orang pilihan. Mereka orang-orang yang mendapat panggilan Baitullah, panggilan menuju Tanah Haram.
Panggilan tersebut kerap tertuju pada sosok yang di luar dugaan. Pergi haji, saat ini dengan biaya perjalanan ibadah haji (BPIH) mencapai Rp 35,23 juta, bukanlah angka yang kecil. Bayangkan, dengan harus membayar BPIH senilai itu, ada orang yang bisa berpuluh-puluh tahun lamanya mengumpulkan dana hingga sanggup membuking satu kursi untuk pergi haji. Dan dia, masih harus banting tulang lagi untuk melunasinya.
Mungkin, banyak yang sudah familiar dengan sebuah sinetron televisi berjudul 'Tukang Bubur Naik Haji'. Kenyataannya, itu memang benar-benar ada, bahkan banyak. Setiap memasuki bulan Zulhijjah, kisah-kisah menginsipirasi para 'tamu Allah' yang mendapat panggilan haji ini marak terdengar.
Ada seorang nenek yang pekerjaannya sebagai penjual kembang, ada penjual gorengan, penjual mi ayam, loper koran, tukang sol sepatu dan lain-lainnya, semua sanggup berjuang demi mengumpulkan biaya untuk berhaji. Berapa lama dan berapa besarnya, berbeda-beda. Tapi jika panggilan istimewa itu telah datang, tak akan ada kuasa yang menghalangi.
Namun angka BPIH senilai itu, sesungguhnya tidak seberapa nilainya bagi kalangan berduit. Bahkan, mereka bisa berkali-kali pergi haji dengan angka itu. Tapi apa iya mereka menjalankannya? Jawabnya, tidak juga tuh. Mengapa? Karena sesungguhnya, panggilan istimewa itu belum datang kepadanya.
Seorang jamaah calon haji dari Padang, bercerita, dia sudah mendaftar haji sejak sepuluh tahun lalu dengan hasil usahanya menggemukkan sapi. Pada 2017, namanya keluar. Genap sepuluh sapi ia jual untuk melunasi keberangkatan.
Tapi ternyata, tahun itu ia tak boleh berangkat lantaran penyakit yang dideritanya. Dia pastilah kecewa. Beruntung, tahun ini, kondisinya sudah jauh lebih baik sehingga ia bisa berangkat haji. Artinya, panggilan Baitullah kepadanya memang baru diperuntukkan di tahun ini, bukan di tahun lalu.
Semangat memenuhi panggilan haji, kerap membuat seseorang sanggup melewati rintangan, atau pun ketidakmampuannya selama ini. Saya ingat paman saya, yang sangat menderita jika ingin bepergian. Dia menderita mabuk darat, laut dan udara. Tak heran, dunianya seolah terkungkung di situ-situ saja. Dia tak pernah bisa pergi jauh-jauh meninggalkan kampung halaman. Baru menyebut mau pergi ke kota A saja, kepalanya sudah langsung pusing dan wajahnya pias.
Tapi ketika tekadnya bulat untuk berhaji, semua dibuatnya heran. Saat pergi mengikuti manasik yang mengharuskannya menempuh perjalanan darat sekitar 300 km, tiba-tiba saja segala keluhan mabok daratnya hilang. Hingga akhirnya, dia sukses melalui perjalanan ibadah hajinya tanpa kendala apapun.
Saya pun, mendapat berkah dan merasakan 'keajaiban' bisa pergi haji pada 2001 lalu. Tak pernah terbayangkan, di usia belum mencapai kepala tiga waktu itu, hanya berbekal sedikit tabungan dari gaji yang saya sisihkan selama tiga tahun bekerja, saya tiba di Tanah Suci.
Beruntungnya lagi, saat panggilan tak terduga itu datang, saya diberangkatkan dengan perjalanan haji khusus. Biaya kala itu, cukuplah andaikan bisa mengajak ibu saya ikut berhaji juga dengan biaya ongkos naik haji (ONH) biasa.
Ibadah haji adalah panggilan, dari Allah kepada mahluknya yang terpilih. Bersyukurlah mereka yang telah menjalaninya. Tahun ini ada 221 ribu jamaah haji Indonesia yang berangkat ke Tanah Suci. Terdiri atas 204 jamaah haji reguler dan 17 ribu jamaah haji khusus. Sebagian telah berada di Madinah dan pada 26 Juli mendatang, sudah bergerak ke Makkah.
Selamat beribadah wahai Tamu Allah di tengah cuaca panas Tanah Haram yang kabarnya bisa mencapai 50 derajat Celsius. Semoga segala rukun haji yang menjadi syarat sahnya seseorang menyandang predikat haji bisa dijalani dengan lancar. Semoga mabrur. Dan bagi mereka yang terkendala untuk berangkat, bahkan saat sudah di depan tangga pesawat pun, jangan terlalu kecewa. Perbanyaklah istighfar, dan yakinlah jika panggilan haji itu telah datang, Insha Allah akan berangkat.
*) Penulis adalah redaktur republika.co.id