REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Nidia Zuraya*
Dua pekan terakhir jagad maya Indonesia diramaikan oleh tagar #100ribudapatapa. Pemicunya adalah pernyataan dari Bakal Calon Wakil Presiden Sandiaga Uno tentang kenaikan harga bahan pokok.
Saat berkunjung ke Riau beberapa waktu lalu, Sandiaga bercerita ada seorang ibu yang bertengkar dengan suaminya karena uang belanja Rp.100 ribu. Menurut cerita Sandiaga, dengan duit belanja tersebut si ibu hanya membawa pulang bawang dan cabai.
Hal tersebut, kata Sandiaga, sebagai dampak dari kondisi ekonomi dimana nilai tukar rupiah terhadap dolar AS semakin melemah. Pernyataannya tersebut pun kemudian menjadi sorotan warganet. Banyak dari warganet yang tak setuju dengan pendapat tersebut.
Melalui tagar #100ribudapatapa, kaum hawa berlomba-lomba mengunggah foto hasil belanjaan mereka senilai Rp 100 ribu ke media sosial. Tak hanya bawang dan cabai yang mereka dapat. Banyak dari mereka yang juga bisa membeli ayam, telur, tahu, tempe, bumbu dapur dan berbagai sayuran.
Tanpa kita sadari tagar #100ribudapatapa berkembang menjadi sebuah gerakan belanja di pasar tradisional. Mengapa pasar tradisional?
Kaum perempuan paham betul untuk bisa mendapatkan ayam, telur, tahu, tempe, bumbu dapur dan berbagai macam sayuran, dengan uang sebesar Rp 100 ribu tersebut tidak bisa dilakukan di pasar modern seperti supermarket dan pusat perbelanjaan. Sudah menjadi rahasia umum jika disparitas harga antara pasar modern dan pasar tradisional cukup besar.
Selain itu, jika berbelanja di pasar tradisional konsumen masih bisa menawar harga barang yang dijual. Hal yang sama tidak bisa konsumen lakukan saat berbelanja di pasar modern.
Menjamurnya pasar modern membuat keberadaan pasar tradisional perlahan-lahan tersingkir dan sepi peminat. Bahkan para generasi muda zaman now dinilai sudah melupakan pasar tradisional. Mereka lebih suka berbelanja di pasar modern.
Untuk mendorong masyarakat mau berbelanja di pasar tradisional, sejak 2003 lalu pemerintah sudah melakukan program peremajaan dan revitalisasi pasar tradisional. Tujuannya agar kesan becek dan kumuh yang selama ini melekat di pasar tradisional bisa dihilangkan.
Dengan tampilan baru pasar tradisional yang tak lagi becek dan kumuh harapannya bisa menarik minat konsumen untuk berbelanja di sana. Berdasarkan catatan Kementerian Perdagangan (Kemendag), realisasi program revitalisasi pasar tradisional pada 2015, 2016, dan 2017 masing-masing mencapai 1.023 unit, 784 unit, dan 818 unit.
Sementara pada tahun ini Kemendag menargetkan penyelesaian 1.593 proyek revitalisasi pasar tradisional. Total alokasi dana yang dianggarkan untuk merevitalisasi 1.5923 pasar tradisional ini mencapai Rp 2,6 triliun.
Program revitalisasi pasar tradisional ini dalam perjalanannya dibarengi dengan gerakan 'Ayo Kembali Belanja ke Pasar Tradisional'. Bahkan para calon kepala daerah yang bertarung di pilkada lalu kerap menggunakan gerakan 'Ayo Kembali Belanja ke Pasar Tradisional' untuk mendulang suara pemilih.
Di luar untuk kepentingan kampanye para calon kepada daerah, gaung 'Ayo Kembali Belanja ke Pasar Tradisional' mulai meredup di berbagai daerah. Terlebih lagi dengan menjamurnya bisnis perdagangan online (e-commerce), potensi pembeli untuk bertemu langsung dengan para pedagang semakin kecil.
Selain terancam oleh keberadaan pasar modern, kehadiran e-commerce juga menjadi ancaman serius bagi keberlangsungan pasar tradisional. Oleh karenanya, inovasi dan pengembangan menjadi suatu yang harus dilakukan pasar tradisional.
Sebab, hidupnya pasar tradisional merupakan cermin pertumbuhan ekonomi rakyat. Selain itu, sejak sebelum hadirnya pasar modern, pasar tradisional menjadi tulang punggung perekonomian Indonesia.
*) Penulis adalah redaktur republika.co.id