REPUBLIKA.CO.ID, oleh Ratna Puspita*
Ketua DPR RI Bambang Soesatyo tengah bulan lalu menyalahkan mahalnya ongkos politik pemilihan langsung, yang disebutnya sebagai akar masalah para kepala daerah melakukan tindak pidana korupsi. Pernyataan ini merespons penangkapan Bupati Cirebon yang juga kader PDIP Sunjaya Purwadisastra oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Saya mencatat ini bukan pertama kalinya pria yang disapa Bamsoet mengucapkan pernyataan serupa. Pada Maret silam, ia juga menyalahkan sistem pemilihan langsung.
Pada kedua pernyataan tersebut, Bamsoet menyarankan pemilihan kepala daerah di DPRD. Bahkan, pada April 2018, ia sempat menyatakan bahwa KPK sudah merestui pilkada di DPRD.
Bamsoet menyalahkan setelah meneropong lewat kacamata pribadinya dan menggunakan kajian DPR. Ketika membaca kata ‘kajian’, saya agak mengernyit.
Sebab, kata itu mengingatkan pada cicitan-cicitan di media sosial yang kerap menggunakan label-label ilmiah untuk menyatakan kesahihan. Misalnya, suatu waktu saya pernah membaca status di media sosial menyebutkan “teman saya yang sedang riset Phd bilang”.
Kata ‘riset’ dan ‘phd’ seolah-olah menyatakan bahwa informasi yang dicicitkan sahih. Orang kemudian mengabaikan untuk memeriksa prosedur kesahihan informasi seperti riset soal apa, phd pada bidang keilmuwan apa, dan apakah ada kaitannya dengan informasi yang dibagikan.
Pun dengan Bamsoet ketika dia menyebut kajian. Apa prosedur kajiannya sehingga sampai pada kesimpulan pilkada langsung yang memicu korupsi.
Saya sepakat biaya politik di Indonesia sekarang ini sangat mahal. Produksi baliho, spanduk, dan menggerakkan relawan memastikan politisi yang akan maju berkontestasi butuh kocek yang tebal.
Belum lagi, ada politisi yang memilih jalan cepat dengan memberi iming-iming seperti uang dan sembako. CEO Polmark Indonesia Research Center Eep Saefulah Fattah mengatakan politik uang masih marak meski sudah tidak berdampak secara elektoral.
Kondisi ini tidak hanya dialami oleh kandidat yang maju sebagai kepala daerah, tetapi kontestasi lain seperti pemilihan DPRD. Jika menggunakan logika yang sama maka apakah sistem pemilihan perwakilan rakyat secara langsung juga harus dievaluasi?
Karena itu bagi saya, menyalahkan pilkada langsung sebagai akar korupsi tampak menyederhankan persoalan. Soalnya adalah biaya politik, bukan moralitas pejabat yang seharusnya melayani publik, bukan moralitas politisi yang seharusnya berkontestasi demi kepentingan rakyat.
Kalau itu dianggap terlalu utopia, masalah lain yang juga bisa saya sodorkan adalah buruknya regenerasi dan kaderisasi di partai politik. Seorang politisi bisa maju dari daerah pemilihan manapun tanpa pernah membangun jaringan dukungan di wilayah tersebut jauh-jauh hari sebelum pemilihan berlangsung.
Praktik instan seperti ini tentu saja membutuhkan cara instan untuk mendapatkan dukungan publik. Cara satu-satunya agar publik mengenal si tokoh dengan cepat adalah produksi media luar sebanyak-banyaknya.
Lagi-lagi, ini persoalan yang juga terjadi pada proses pemilihan wakil parlemen, bukan hanya kepala daerah. Apakah sistem pemilihan langsung anggota dewan juga harus dievaluasi? Apalagi, korupsi juga banyak melibatkan anggota dewan.
Hal ini kemudian membawa saya pada argumen Bamsoet berikutnya, yakni pilkada di DPRD lebih mudah. Sebab, pengawasan terhadap 50 sampai 60 orang DPRD yang memilih kepala daerah jauh lebih mudah. “Tidak memerlukan money politic yang begitu tinggi,” kata Bamsoet.
Penjelasan itu menunjukan pelaksanaan pemilihan kepala daerah di DPRD tidak lantas menyingkirkan praktik politik uang atau money politic. Namun, pelaksanaan pemilihan tidak langsung hanya memindahkan uangnya saja, dari ‘menyuap’ rakyat menjadi ‘menyuap’ DPRD.
Jika kita lihat lagi kasus-kasus korupsi yang melibatkan kepala daerah maka tidak jarang ada kasus yang melibatkan anggota parlemen. Misalnya, kasus dugaan supa Bupati Kebumen (sekarang nona-aktif) M Yahya Fuad.
Yahya ditangkap tangan KPK karena dugaan penerimaan suap atas proyek-proyek di wilayah yang dipimpinnya. Saat ini, ia sedang menghadapi tuntutan jaksa dengan hukuman pidana penjara lima tahun.
Kasus Yahya kemudian menyeret Wakil Ketua DPR RI Taufik Kurniawan yang diduga menerima Rp 3,65 miliar oleh KPK. Dana tersebut terkait dengan dana alokasi khusus (DAK) dari Pemerintah Pusat ke Pemerintah Kabupaten Kebumen.
Kasus lainnya, beberapa bulan lalu, KPK menetapkan 41 anggota DPRD Kota Malang sebagai tesangka kasus dugaan suap dari Wali Kota nonaktif Moch Anton. Alhasil, para anggota DPRD yang menjadi tersangka korupsi massal itu telah diganti seluruhnya.
Meski belum berkekuatan hukum tetap, partai politik memutuskan mempercepat pergantian antarwaktu. Sebab, Pemerintah Kota Malang membutuhkan DPRD untuk membahas RAPBD 2019.
Kasus-kasus eksekutif (yang berasal dari dan/atau didukung oleh partai politik) dengan DPRD (yang juga berasal dari partai politik) memperlihatkan akar masalah korupsi bukan pada pilkada langsung. Dalam hal ini, pernyataan Wakil Presiden Republik Indonesia Jusuf Kalla justru lebih masuk akal.
JK mengatakan, maraknya korupsi pejabat daerah dan anggota legislatif karena adanya perubahan fungsi Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI maupun Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). Dulu, ia mengatakan, fungsi DPR tidak bisa ikut camput mengatur proyek dan anggaran pemerintah.
Sementara sekarang ini, proyek pembangunan harus melalui persetujuan DPR maupun DPRD. Persetujuan berarti membutuhkan negosiasi, yang kemudian memunculkan korupsi antara eksekutif dan legislatif.
Daripada mengambil kewenangan rakyat memilih pemimpinnya, bukankah lebih baik anggota dewan dan para politisi melakukan introspeksi? Di sisi lain, ada baiknya melakukan kajian yang lebih komprehensif soal kenapa banyak kepala daerah, dan politisi, korupsi, termasuk muatan solusi menyeluruhnya.
*) Penulis adalah redaktur Republika.co.id