REPUBLIKA.CO.ID, oleh Andi Nur Aminah*
Di penghujung 2018, calon jamaah yang akan berangkat umrah menjadi lebih sibuk. Mereka yang kerja kantoran, terpaksa meminta izin khusus meninggalkan pekerjaan. Mereka yang berdagang, terpaksa tutup lapak. Bahkan kakek nenek sepuh yang harus duduk di korsi roda atau ditopang tongkat saat berjalan pun, semuanya meninggalkan rumahnya menuju ke suatu tempat.
Ke mana mereka? Semuanya berbondong-bondong meninggalkan aktifitasnya dan berkumpul di suatu tempat bernama kantor VFS Tasheel. Inilah tempat yang menjadikan calon jamaah umrah rela antre berlama-lama untuk menjadi proses perekaman biometrik.
Mungkin proses perekamannya tidak berlangsung lama. Satu orang butuh waktu kurang dari 10 menitan saja. Masalahnya, dengan tempat yang sangat terbatas sedangkan yang akan menjalani proses perekaman jumlahnya ratusan bahkan ribuan orang, mengakibatkan terjadinya penumpukan manusia. Bayangkan, kota dengan penduduk sepadat DKI Jakarta saja misalnya, hanya ada tiga kantor VFS Tasheel.
Di wilayah lain, rata-rata hanya ada satu kantor VFS Tasheel. Itupun hanya di ibu kota provinsinya saja. Meskipun disebutkan kantornya sudah ada di 34 daerah, namun tak jarang ada calon jamaah yang datang dari wilayah berbeda.
Di kantor VFS Tasheel Jakarta misalnya, ada orang dari Bandung, Sukabumi, Bogor, yang datang untuk melakukan perekaman biometrik. Bahkan ada yang dari Pulau Bangka, Manado dan wilayah lintas pulau lainnya.
Syukur-syukur jika urusan tersebut bisa kelar hari itu juga. Namun faktanya, tak jarang ada yang harus kembali lagi esok harinya karena kendala yang tak terduga.
Maka tak heran, masalah-masalah yang muncul di sela perekaman biometrik ini menjadi keluhan baik orang per orang, travel agen penyelenggara umrah, hingga organisasi atau asosiasi penyelenggara umrah.
“Ini jadi ribet banget. Tambah biaya bukan karena biaya perekaman biometriknya tapi karena akomodasi yang bertambah, juga menyita waktu dan pikiran lagi,” ungkap seorang calon jamaah umrah.
Nah, jadi bukan biaya perekaman biometrik yang dikeluhkan. Calon jamaah yang bersiap-siap dan sudah bulat niatnya menjalankan ibadah ini, saya yakin sudah punya simpanan atau uang tak terduga untuk persiapan perjalanannya. Biaya rekam biometrik sekitar Rp 120 ribu per orang mungkin tidak seberapa jumlahnya.
Tapi bagaimana dengan biaya transportasi, konsumsi bahkan akomodasi yang harus bertambah? Tak jarang jamaah harus menginap di hotel karena urusannya belum kelar. Bagi yang mau mengirit biaya, bahkan ada yang sampai bela-belain 'menginap' di kantor VFS Tashel. Lantas kemudian, ada yang kelelahan, jatuh pingsan hingga dilarikan ke rumah sakit. Kalau sudah begini, sudah pasti mereka mengeluarkan biaya tambahan lagi.
Menyimak perjuangan calon jamaah umrah sejak akhir 2018 itu, dan masih terus berlangsung hingga saat ini, bisa dimaklumi jika perekaman biometrik ini menuai pro kontra.
Memang betul, ketentuan memberlakukan pengambilan visa umrah dengan syarat melalui rekam biometrik di VFS Tasheel adalah hak pemerintah Saudi. Namun yang jadi masalah adalah penyelenggara perekamana biometrik itu, yakni VFS Tasheel sangat belum siap.
Kantor VFS Tasheel yang ada di Indonesia tidak memadai dan tidak ada di pelosok-pelosok. Padahal banyak calon jamaah umrah berasal dari desa dan kabupaten terpencil.
Keterbatasan tenaga dan jumlahnya tidak sebanding dengan antusiasnya masyarakat Indonesia melaksanakan umrah ke Tanah Suci. "Karena VFS Tasheel sangat belum siap," kata ketua Himpunan Penyelenggara Umrah dan Haji (Himpuh) Baluki Ahmad.
Yang dikhawatirkannya, jangan sampai gara-gara ribetnya urusan perekaman biometrik ini, seorang calon jamaah umrah gagal berangkat akibat kebijakan rekam biometrik yang belum siap. Karena jika mereka disodorkan pilihan, rela antre mengikuti prosedur rekam biometrik di VFS Tasheel agar visa umrah bisa keluar, atau tak ikut rekam biometrik? Saya yakin semua akan dengan patuh menjawab ikut antre sajalah.
Lantas kini, sebagian jamaah umrah yang telah menjalani perekaman biometrik itu telah berangkat ke Tanah Suci untuk menjalankan ibadah. Tapi lagi-lagi, ujian kesabaran sungguh-sungguh harus dijalani.
Karena ternyata, setibanya di Tanah Suci, mereka tak bisa serta merta melenggang meninggalkan bandara Jeddah atau Madinah dan masuk ke Kota Suci. Karena mereka kembali harus menjalani rekam biometrik lagi. Lalu, apa gunanya perekaman biometrik yang telah dilakukan di Indonesia?
Ternyata, pengecekan ganda itu akhirnya terjadi juga. Mubazir dan sia-sia saja usaha calon jamaah yang dilakukan di Indonesia. Jadi, apakah ini akan terus dilanjutkan?
*) Penulis adalah redaktur Republika.co.id