Selasa 05 Mar 2019 07:21 WIB

Mungkinkah Mengukur Keislaman Seseorang?

Tidak mungkin seorang Muslim mengukur kadar keislaman Muslim yang lain.

Hasanul Rizqa
Foto: dok. Republika
Hasanul Rizqa

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Hasanul Rizqa*

Hampir setiap malam Abu Hurairah sulit tidur nyenyak. Hatinya dirundung rasa gelisah. Perawi banyak hadits itu sering teringat kata-kata Nabi Muhammad SAW.

Dia mengenang, suatu ketika Rasulullah SAW sedang duduk, ditemani sejumlah sahabat. Di tengah pembicaraan, tiba-tiba beliau berhenti sejenak dan kemudian berkata, “Sesungguhnya ada di antara kalian seorang laki-laki yang gigi gerahamnya di dalam neraka lebih besar daripada Gunung Uhud.

Para sahabat yang menyimak ujarannya langsung diliputi kecemasan. Mereka khawatir akan datangnya bencana di tengah umat sepeninggalan Nabi SAW. Tentu saja, masing-masing berharap tidak diganjar nasib yang amat celaka—disiksa di dalam neraka. Saat itu, Rasulullah SAW tidak menyebut suatu nama.

Zaman silih berganti. Khalifah Abu Bakar ash-Shiddiq kini memimpin umat. Satu per satu sahabat yang menyaksikan sabda beliau tadi telah meninggal dunia. Banyak yang gugur sebagai syuhada. Tinggal sekarang dua orang yang masih hidup, yakni Abu Hurairah dan Rajjal bin Unfuwah.

Betapa takutnya Abu Hurairah bila nubuat Rasulullah SAW terjadi padanya. Kecemasannya baru berakhir ketika muncul kabar yang mengejutkan. Rajjal bin Unfuwah telah bergabung dengan pasukan nabi palsu, Musailamah al-Kadzab.

Sebelumnya,  Rajjal meminta Abu Bakar agar mengutusnya kepada penduduk Yamamah. Permintaan itu dipenuhi. Begitu sampai di tujuan, utusan sang khalifah itu menyaksikan keadaan pasukan setempat. Disangkanya, Madinah akan kalah bila harus menghadapi kekuatan Musailamah. Rajjal pun berkhianat dan menjadi murtad. Al-Kadzab menyambutnya gembira.

Dengan pengetahuan agama yang dimilikinya, Rajjal justru menyebarkan berita bohong untuk membenarkan klaim “kenabian” Musailamah al-Kadzab. Hal itu tidak berlangsung lama. Dalam suatu pertempuran, pasukan Muslimin menang atas Musailamah dan sekutunya. Rajjal bin Unfuwah pun tewas di tangan seorang sahabat Nabi SAW, Zaid bin al-Khatthab.

Tulisan ini tidak secara khusus mengulas Abu Hurairah atau Rajjal sang pengkhianat. Fokusnya pada persoalan, betapa keislaman seseorang tidak bisa dinilai secara pasti.

Kisah Rajjal bin Unfuwah di atas dapat menjadi pelajaran. Pada mulanya, Rajjal pergi ke Madinah untuk menemui Rasulullah SAW. Dia lalu mengucapkan dua kalimat syahadat dan mempelajari agama ini dengan sungguh-sungguh. Semasa menjadi Muslim, dia hafal banyak ayat Alquran.

Setelah sekian lama, dia kembali kepada kaumnya, alih-alih menetap di Madinah. Barulah ketika Rasulullah SAW wafat dan Abu Bakar terpilih menjadi khalifah, Rajjal tinggal di kota itu. Dengan demikian, sebagian fase kehidupannya sebagai Muslim jauh dari lingkungan Nabi SAW yang mulia.

Bukannya tetap menjadi sahabat yang mulia, Rajjal justru berstatus nahas di akhir hidup. Sepeninggalan Nabi SAW, kepentingan duniawi telah menggelapkan hatinya sehingga dia mudah saja meninggalkan akidah Islam.

Sebaliknya, Abu Hurairah sampai wafatnya merupakan pejuang Muslim yang tangguh. Kegelisahan yang bersemayam di dalam dadanya dipicu getaran hati seorang hamba yang beriman dan takut kepada Allah SWT.

Dia cemas jika azab yang diprediksi Rasulullah SAW akan menimpanya. Lebih-lebih, saat itu di antara mereka yang telah mendengar langsung hadits tersebut hanya tersisa dirinya dan Rajjal bin Unfuwah. Begitu tiba kabar pengkhianatan Rajjal, Abu Hurairah amat bersyukur. Allah tidak menjadikan hatinya berpaling dari Islam.

‘Yaa Muqalliba al-Quluub …’

Dalam hadits hasan sahih yang diriwayatkan Imam at-Tirmidzi dari Anas bin Malik disebutkan, “Rasulullah SAW sering berdoa, ‘Ya Allah, wahai Zat yang maha membolak-balikkan hati, teguhkanlah hatiku di atas agama-Mu.’

Di antara para sahabat kemudian ada yang bertanya, ‘Wahai Rasulullah, kami telah beriman kepada engkau dan juga apa-apa (risalah) yang engkau bawa. Apakah engkau masih mengkhawatirkan kami?’ Beliau menjawab, ‘Ya, sesungguhnya hati itu berada di antara dua jari dari jemari Allah, sehingga Dia dapat membolak-balikkannya sesuai dengan yang dikehendaki-Nya.’”

Rasulullah SAW sendiri mengkhawatirkan para sahabatnya ihwal konsistensi hati pada keislaman. Bagaimana dengan kita, umatnya yang berjarak lebih dari 14 abad lamanya; kita yang belum pernah berjumpa dengan Nabi SAW?

Karena itu, beliau mengimbau agar doa tersebut sering-sering dipanjatkan kepada Allah SWT. Sebab, hanya Dia satu-satunya Zat yang berkuasa membolak-balikkan hati.

Bagaimana keadaan hati yang ideal? Ibnu ‘Athaillah al-Sakandari menulis tentang “Kalbu Seorang Mukmin.” Menurut salik tersebut, hati yang mengenal Allah dapat diibaratkan seperti cermin milik pengantin yang cantik.

Setiap hari, pengantin itu membersihkan cermin tersebut, sehingga tetap bening dan mengilap. Perumpamaan hati yang lemah seperti cermin milik seorang tua renta yang tidak berminat membersihkannya. Diabaikannya cermin itu, sehingga tidak lagi dipakai untuk melihat wajahnya, apakah rupawan atau tidak karuan.

Berdoa, Bukan Mengukur

Alih-alih hawa nafsu, rasa ikhlas merupakan sesuatu yang ideal bersemayam di hati seorang hamba Allah. Untuk mencapai taraf keikhlasan, perlu perjuangan yang ekstra-besar. Ibnu ‘Athaillah menjelaskan, “Betapa beratnya ibadah yang dikerjakan tanpa dilihat orang. Sebaliknya, betapa ringannya suatu ibadah dilakukan ketika dilihat, dipuji, dan disanjung oleh orang.”

Maka dari itu, cara terbaik untuk mendukung seorang Muslim bukanlah dengan menyiarkan ibadah-ibadah yang dilakukannya, sehingga orang memuji atau menyanjungnya. Cara terbaik untuk menyokong perjuangannya dalam meraih keikhlasan adalah mendoakannya.

Berdoalah, semoga Allah menetapkan hati yang bersangkutan pada iman dan Islam sampai akhir hayatnya. Berharaplah, semoga amal ibadahnya diterima Allah SWT, sehingga perjuangannya mencapai taraf keikhlasan dapat berhasil.

Mengapa perjuangan itu harus didukung? Setiap Muslim pada dasarnya bersaudara. Seorang saudara yang baik tidak akan tega melihat sesamanya jatuh ke dalam bahaya dosa besar.

Nabi SAW bersabda, seperti diriwayatkan Imam al-Baihaqi. “Siapa berpuasa karena riya, berarti telah berbuat syirik. Siapa melakukan shalat karena riya, berarti telah berbuat syirik. Siapa yang bersedekah karena riya, berarti telah berbuat syirik.”

Saat menjelaskan syirik sebagai dosa terbesar, penulis kitab Al-Kabaair Imam adz-Dzahabi mengutip hadits. “Ada seorang laki-laki bertanya kepada Rasulullah SAW, ‘Apa itu keselamatan?’ Beliau menjawab, ‘Janganlah kamu menipu Allah.’ Dia bertanya lagi, ‘Bagaimana seseorang itu menipu Allah?’ Beliau menjawab, ‘Engkau mengerjakan suatu amalan yang telah Allah dan Rasul-Nya perintahkan, tetapi dengannya kamu menghendaki selain wajah Allah.’”

Akhirnya, tulisan ini menyimpulkan, tidak mungkin bagi seorang Muslim untuk mengukur kadar keislaman Muslim yang lain. Sebab, hal itu berkaitan dengan keadaan hati orang yang hendak diukurnya.

Kemustahilan itu tetap berlaku, sekalipun yang hendak diukur adalah keislaman seorang pemimpin.

Bahkan, yang sepantasnya diukur bukanlah keislamannya berdasarkan pengamatan atas ibadah mahdhah-nya, melainkan sejauh mana pemimpin Muslim tersebut menciptakan maslahat di tengah rakyat, termasuk dalam mendistribusikan keadilan, menegakkan kejujuran, serta menunaikan seluruh janji-janji yang pernah diajukannya.

Mengukur kesuksesan (atau kegagalan) seorang pemimpin mungkin saja dilakukan. Misalnya dengan menyaksikan apa-apa yang telah dikerjakannya untuk rakyat. Mengukur kadar keilmuan seseorang juga mungkin dilakukan. Umpamanya dengan meminta penilaian dari orang yang lebih berilmu dan lebih berpengalaman.

Mungkinkah mengukur keislaman seseorang berdasarkan kesaksian atas ibadah-ibadah yang dilakukannya, entah itu ibadah mahdhah ataupun non-mahdhah? Serahkan penilaian itu hanya kepada Allah Ta’ala. Alih-alih ikut menilai, sebaiknya kita bantu orang itu melalui doa supaya dia konsisten dalam upaya mendekatkan diri kepada Rabbnya melalui ibadah-ibadahnya itu.

Dalam sebuah hadits qudsi, sebagaimana diriwayatkan Imam Bukhari, Allah berfirman, “Hamba-Ku tidak bisa mendekatkan diri kepada-Ku dengan sesuatu yang lebih Aku cintai daripada yang telah Aku wajibkan (ibadah mahdhah). Jika hamba-Ku terus-menerus mendekatkan diri kepada-Ku dengan amal kebaikan (ibadah ghairu-mahdhah), maka aku mencintai dia.” Cinta Allah hanya mungkin diraih oleh mereka yang berhati ikhlas. Keikhlasan sering terganggu bilamana diterpa pujian dan sanjungan manusia.

Allah SWT telah menyingkapkan pengetahuan-Nya kepada Nabi Muhammad SAW tentang siapa saja orang di dekatnya yang kelak bernasib sial, dimasukkan ke dalam api neraka—semisal Rajjal bin Unfuwah tadi. Kini, tidak ada lagi nabi atau rasul di tengah-tengah kita.

Tidak seorang pun saat ini mampu menjadi rujukan dalam membanding-bandingkan, si fulan kadar keislamannya lebih murni—bukan pencitraan—daripada yang lain.

Yang bisa kita lakukan hanyalah berdoa. Semoga diri, keluarga, kawan-kawan, serta kaum Muslimin umumnya diteguhkan hatinya di atas iman dan Islam. Semoga!

*) Penulis adalah redaktur republika.co.id

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini

Apa yang paling menarik bagi Anda tentang Singapura?

1 of 7
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement