REPUBLIKA.CO.ID, oleh Gita Amanda*
Beberapa waktu lalu, Purwakarta digegerkan dengan kasus seorang ibu yang mengubur bayinya hidup-hidup di belakang rumah mereka. Masyarakat ramai-ramai mengutuk perbuatan Sang Ibu. Bagaimana bisa, sebagai sosok yang melahirkan ia tega mengubur hidup-hidup buah hatinya sendiri.
Bagi yang pernah melahirkan tentu terbayang bagaimana sakit dan sulitnya melahirkan. Pun bagi yang belum pernah mengalaminya, aksi Sang Ibu tetap di luar nalar dan tak patut jadi contoh.
Tapi kemudian banyak orang dan media lupa, tentu ada sebab musabab Sang Ibu melakukan hal itu. Bupati Purwakarta Anne Ratna Mustika mengatakan, ibu kandung bayi tersebut dikabarkan mengalami depresi hingga melakukan tindakan itu.
"Sepertinya (ibunya), terkena sindrom baby blues," ujar Anne seperti dikutip Republika, saat menjenguk bayi malang tersebut.
Stres pascamelahirkan memang lumrah dialami setiap ibu baru melahirkan. Baik itu anak pertama atau anak ke sekian, setiap ibu pasti pernah mengalami kondisi ini.
Dukungan dari lingkungan terdekat tentu sangat diperlukan. Sayangnya, banyak yang meremehkan hal ini, dan menganggap kondisi stres pada ibu baru melahirkan sesuatu yang "tidak penting". Setiap ibu bisa mengatasinya sendiri dan harus bisa mengatasinya sendiri. Anggapan-anggapan seperti inilah yang perlu diluruskan.
Kita kenali dulu yuk, apa itu baby blues?. Menurut laman Kids Health, baby blues merupakan perasaan sedih dan khawatir yang timbul di diri seorang ibu yang dimulai di hari-hari pertama setelah melahirkan.
Ibu yang mengalami baby blues bisa sedih dan bahagia secara bergantian dalam waktu singkat. Sesaat dia tertawa bahagia melihat tingkah buah hati, tapi menit berikutnya ia merasa sedih bahkan menangis menghadapi bayi kecilnya.
Baby blues terjadi karena perubahan suasana hati efek dari perubahan hormon yang terjadi saat kehamilan dan persalinan. Kadar esterogen dan progesteron yang meningkat saat hamil tiba-tiba menurun setelah melahirkan. Ini tentunya mempengaruhi suasana hati.
Istirahat, nutrisi dan dukungan dari orang-orang di sekitarnya penting sekali untuk mengatasi baby blues. Sebab kelelahan mengurus anak, kurang tidur, dan stres yang dialami ibu ini bisa menimbulkan perasaan sedih. Jika tidak ditangani dengan baik bisa memburuk menjadi depresi.
Depresi berkelanjutan dari baby blues yang tak tertangani ini yang disebut Postpartum Depression (PPD). Namun, para ahli menyatakan PPD bisa diderita ibu bahkan sebelum ia melahirkan.
Seorang ibu yang mengalami PPD merasa sedih, cemas, putus asa, merasa sendiri bahkan merasa tak berharga. Lebih jauh ia bahkan tak tertarik mengurus bayinya. Atau merasa kewalahan dengan situasinya dan merasa tak ada harapan untuk lebih baik.
Menurut Parents.com, depresi pascapersalinan terjadi antara 15-20 persen ibu. Itu mempengaruhi mereka secara berbeda. Sebuah studi baru-baru ini, yang diterbitkan dalam 'Lancet Psychiatry', mengatakan dua per tiga dari 8.200 ibu-ibu yang diteliti diketahu menderita gejala paling ekstrem termasuk pikiran untuk bunuh diri, panik dan kerap menangis.
Berbeda dengan baby baby blues yang hanya terjadi satu hingga dua minggu pascapersalinan, depresi pascapersalinan ini dapat berlangsung selama beberapa bulan atau lebih jika tak diobati. Sementara dengan perawatan, seorang ibu bisa pulih dari depresi ini.
Perawatan tersebut seperti terapi berbicara atau sharing apa yang dialaminya hingga terapi obat. Makan makanan yang sehat, istirahat cukup dan terpenting dukungan sosial.
Sayangnya lagi, di Indonesia pengobatan psikologis bukan sesuatu yang umum dilakukan. Jika seseorang terkena demam akan lebih mudah dirujuk ke rumah sakit ketimbang mereka yang mengalami depresi.
Akses pengobatan terkait kesehatan jiwa juga masih sulit didapat. Terlebih di daerah-daerah yang minim informasi. Atau masyarakat yang belum teredukasi dengan baik dimana mereka harus atau bisa mendapat pengobatan psikis.
Hal-hal ini yang membuat, stres dan depresi yang dialami ibu pascamelahirkan kerap terabaikan. Kondisi semakin parah, ketika setelah adanya kejadian seorang ibu memukuli atau bahkan membuat bayinya tewas, masyarakat justru menyalahkan sang ibu. Pemberitaan yang menyudutkan dan hukuman penjara untuk sang ibu, semakin memperparah kondisi ini.
Edukasi mengenai kesehatan mental sudah selayaknya lebih digalakkan hingga ke lingkungan terkecil seperti keluarga. Pemerintah juga bisa lebih membuka akses untuk masyarakat dari berbagai kalangan mengakses pengobatan terkait kesehatan mental.
Dan untuk kita pribadi, belajar untuk tidak cepat menyalahkan sesuatu. Tingkatkan kepedulian pada lingkungan sekitar. Berikan bantuan sebisa yang bisa dilakukan. Dan lakukan sekarang juga, sedini mungkin, jangan ditunda.
* Penulis adalah wartawan Republika.co.id