REPUBLIKA.CO.ID, oleh Dwi Murdaningsih*
Hampir empat bulan publik dihebohkan dengan harga tiket pesawat. Pada Januari lalu, sebagai awalan, maskapai Lion Air dan Wings Air mulai menerapkan bagasi berbayar. Tak ada lagi bagasi gratis. Hal ini berujung pada naiknya tiket pesawat.
Soal naiknya tiket pesawat ini dampaknya cukup dahysat. Tingginya harga tiket pesawat jadi persoalan bagi percepatan pemulihan sektor pariwisata Nusa Tenggara Barat (NTB), khususnya Lombok. Ini baru di Lombok, belum di daerah-daerah lain.
Berbagai penyedia jasa bandara melaporkan penurunan jumlah penumpang akibat naiknya tiket pesawat. Sebagai contoh, PT Angkasa Pura I (Persero) merasakan penurunan jumlah penumpang yang cukup signifikan sepanjang kuartal I/2019, yakni mencapai 3,5 juta penumpang.
Harga tiket pesawat juga dampaknya ternyata cukup signifikan bagi hitung-hitungan ekonomi makro. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat infasi pada bulan April masih dipengaruhi harga tiket pesawat. Bank Indonesia mencatat inflasi April agak meleset dari perkiraan yakni sebesar 0.44 persen. Tiket pesawat dan bawang menjadi biang keroknya.
Polemik tiket pesawat ini lantas direpons oleh pemerintah. Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi berkali-kali mengatakan dia tidak berwenang soal harga tiket pesawat. Harga tiket pesawat menurut dia murni mekanisme pasar.
Akhirnya, pada Senin (6/5), pemerintah menggelar rapat yang membahas penurunan batas atas harga tiket pesawat. Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution menyebutkan tarif batas atas tiket pesawat akan diturunkan dalam waktu sepekan ke depan.
Penurunan tarif batas atas hanya akan berlaku pada kelas ekonomi dan LCC saja. Melalui kebijakan ini, diharapkan maskapai bisa melakukan penyesuaian harga tiket pesawat.
Kebijakan ini diambil setelah Darmin memanggil Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Rini Soemarno, Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi, dan jajaran direksi Garuda Indonesia dalam rapat koordinasi tentang kebijakan tiket pesawat.
Selain itu, Darmin pun menegaskan bahwa Menteri BUMN selaku pemegang saham Garuda Indonesia sudah sepakat untuk tunduk pada aturan tarif batas atas, bila memang nantinya diturunkan. Bila kebijakan ini benar berjalan, Darmin optimistis tingkat keterisian penumpang pesawat saat arus mudik Lebaran nanti tetap dijaga tinggi.
Sebelumnya, muncul kekhawatiran bahwa mahalnya harga tiket akan menurunkan jumlah pemudik yang menggunakan pesawat terbang.
Soal timeline penurunan batas atas tiket pesawat ini semoga belum terlambat. Sebab kini sudah memasuki bulan Ramadhan. Mudik tentu harus disiapkan jauh-jauh hari, jauh sebelum Ramadhan bila perlu. Kenapa? Karena mudik bukan hanya soal tiket pesawat, tapi persiapannya begitu rumit.
Anggarannya tentu menyesuaikan dengan jarak tempuh, jumlah anggota keluarga yang akan mudik. Kalau baru dihitung-hitung saat Ramadhan (baru membeli tiket) mungkin sudah agak terlambat. Semoga penyesuaian batas atas membawa angin segar bagi para pemudik yang jauh, yang memang pesawat adalah moda transportasi terbaik demi menghemat waktu dan uang.
Bicara soal Ramadhan dan mudik, dua hal ini selalu menjadi pekerjaan besar bagi pemerintah. Masih teringat, beberapa tahun lalu setiap memasuki musim mudik selalu muncul berita perbaikan jalan di jalur pantura atau jalur selatan hingga disebutkan perbaikan menjelang musim mudik adalah proyek abadi. Kini sudah ada alternatif lain yakni tol Trans Jawa yang diharapkan bisa memindahkan penduduk dengan lebih nyaman dan cepat. Begitu pula moda kereta api yang kini di sebagian sudah mulai teraktifkan jalur dwiganda yang diharapkan bisa membuat perjalanan semakin lancar.
Masih cukup jauh, tapi izinkan penulis berharap semoga musim mudik tahun ini, apapun moda kendaraannya, baik jalur darat, laut maupun udara semua berjalan lancar. Bisa berkumpul dengan keluarga dan handai taulan.
*) Penulis adalah redaktur republika.co.id