REPUBLIKA.CO.ID, oleh Bayu Hermawan*
Hampir seluruh liga-liga top di Eropa telah menyelesaikan musim kompetisi 2018/209. Drama-drama pada akhir-akhir musim, semakin menambah menariknya musim kompetisi ini. Mulai dari perebutan juara Liga Primer Inggris antara Manchester City vs Liverpool, hingga aksi-aksi comeback spektakuler para finalis Liga Champions dan Liga Europa.
Salah satu drama yang paling menarik perhatian adalah berakhirnya kebersamaan antara Massimiliano Allegri dengan Juventus. Cukup mengejutkan, karena pelatih yang bergabung bersama bianconerri sejak 2014 lalu, telah banyak mempersembahkan trofi untuk si Nyonya Tua. Salah satu yang paling mengesankan adalah mempersembahkan trofi serie A Italia. Bersama Allegri, trofi Serie A Italia seolah sudah menjadi milik tetap Juventus. Bagaimana tidak, Allegri bisa membawa Juventus meraih trofi Serie A Italia lima kali berturut-turut, mulai musim 2014/ 2015 hingga musim 2018/2019.
Belum lagi trofi Coppa Italia, yang baru musim ini saja terlepas dan super coppa italia. Namun, daftar panjang trofi tersebut tidak lantas membuat Allegri nyaman duduk di bangku pelatih. Sebab, Allegri belum juga mampu mempersembahkan satu trofi yang paling diharapkan Juventini, yakni trofi Liga Champions. Bagi tim sebesar Juventus, yang menguasai liga, gengsi merebut trofi lokal semakin lama memang semakin menurun. Sebab, dengan materi pemain yang di atas rata-rata tim lain di Serie A Italia, bukan hal yang sulit bagi klub asal Turin itu mendominasi liga lokal.
Sehingga ambisi untuk meraih trofi di kompetisi Eropa menjadi penilaian paling utama kesuksesan siapapun yang menjadi pelatih Juventus. Coba lihat saja, sejak menjadi runner up Liga Champions pada 2015 lalu, Allegri terus membenahi timnya. Yang paling terbaru adalah mendatangkan Cristiano Ronaldo yang telah berkali-kali membawa Real Madrid menjadi juara Liga Champions. Namun, ternyata hal itu tidak cukup, Allegri dan Juventus kembali gagal lagi musim ini. Yang menarik diperhatikan, strategi yang digunakan Allegri di Liga Champions nyaris tidak berbeda dengan yang digunakan dalam kompetisi Serie A.
Lalu apa yang salah, entah mungkin memang benar jika Juventus belum benar-benar siap berkompetisi di level Liga Champions, yang berada di atas liga lokal. Hal kedua, mungkin Juventus terlalu berharap banyak dengan Cristiano Ronaldo. Hal ini terlihat dalam beberapa pertandingan di Liga Champions, seolah Juventus hanya mengandalkan Ronaldo saja. Sehingga ketika pemain asal Portugal itu dimatikan, maka mati pula permainan Juventus.
Tentunya ini bisa menjadi pelajaran bagi pelatih baru Juventus nantinya. Bahwa terkadang di level Liga Champions, tidak selamanya pemain bintang di kompetisi lokal akan bersinar terang di level Eropa. Contoh terbaru bisa dilihat dari Liverpool dan Tottenham. Liverpool bisa melaju ke final Liga Champions dengan mengalahkan Barcelona, bukan karena trio Firmansyah atau Firmino, Salah dan Mane. Seperti diketahui, justru Firmino dan Salah tidak dimainkan saat si Merah melakukan comeback fantastis atas Barcelona.
Sebaliknya, Liverpool bermain secara tim. Pemain-pemain seperti Divock Origi yang lebih sering duduk dibangku cadangan, dan Gini Wijnaldum justru yang menjadi pahlawan. Hal serupa juga terjadi pada Tottenham. Lucas Moura yang selama ini berada dibawah bayang-bayang Harry Kane justru menjadi pahlawan kubu London. Origi, Wijnaldum dan Moura bisa bersinar karena ditunjang oleh permainan tim yang kompak dan apik.
Lalu siapa yang pantas menggantikan Allegri?, bursa calon pelatih baru Juventus menarik untuk disimak. Sejumlah nama seperti Pochettino dari Tottenham, Sarri dari Chelsea, Inzaghi dari Lazio hingga Mourinho yang saat ini belum mendapat pekerjaan setelah dipecat dari MU, disebut-sebut bisa menjadi pelatih baru Juventus. Namun, siapapun yang bakal menjadi pelatih baru, mereka sudah tidak perlu mempusingkan lagi materi pemain. Sebab, materi yang dimiliki Juventus saat ini sudah sangat kuat.
Yang perlu menjadi fokus pelatih baru Juventus adalah bagaimana mengangkat prestasi Juventus di luar kompetisi Serie A. Sebab dibandingkan AC Milan yang saat ini masih tertatih-tatih untuk kembali berjaya, jumlah perolehan trofi Liga Champions milik Bianconeri terpaut jauh. Milan telah tujuh kali merebut trofi Liga Champions, sementara Juventus baru dua kali.
Ya, bagi tim-tim besar yang merajai kompetisi liga lokal, bukan hanya Juventus, namun juga Barcelona dan PSG, trofi Liga Champions masih menjadi patokan utama kesuksesan dalam satu musim. Akan menarik disimak, bagaimana sepak terjang Juventus bersama siapapun pelatih baru mereka di Liga Champions, akankah Juventus terus menjadi jago kandang saja?
*) Jurnalis republika.co.id