REPUBLIKA.CO.ID, oleh Esthi Maharani*
Penggunaan skuter listrik dari operator Grabwheels baru-baru ini sempat memakan korban. Sebanyak dua orang pengguna Grabwheels meninggal dunia di kawasan Senayan, Jakarta Pusat karena tertabrak mobil di jalan raya pada 10 November 2019. Tak hanya itu, penggunaan skuter listrik yang tidak bertanggung jawab membuat lantai JPO Sudirman rusak dan kayu-kayunya tergores serta terkelupas.
Di Indonesia, skuter listrik GrabWheels diperkenalkan sejak 9 Mei 2019. GrabWheels diharapkan menjadi solusi bagi mereka yang ingin pergi ke suatu tempat berjarak dekat namun enggan untuk berjalan kaki. Ini karena skuter listrik ringkas dan mudah dikendarai, jarak tempuh yang dapat dicapai juga hanya 3-5 km dari tempat parkir GrabWheels.
Tetapi, setelah peristiwa meninggalnya dua orang pengguna Grabwheels dan rusaknya JPO Sudirman, pemerintah mulai melirik untuk membuat peraturan yang lebih ketat terkait itu. Indonesia, khususnya Jakarta bisa belajar dari negara-negara yang telah menerapkan aturan dan pelarangan skuter listrik beroperasi.
Di beberapa negara, penggunaan skuter listrik diatur cukup ketat bahkan dilarang. Negara tetangga, Singapura mulai 5 November 2019 resmi melarang penggunaan skuter listrik di sepanjang trotoar karena alasan keselamatan. Awalnya, skuter listrik hanya boleh digunakan di dua tempat yakitu cycling paths (jalur khusus pengendara sepeda dan skuter) dan footpaths (trotoar). Aturan bernama Active Mobility Act ini berlaku sejak Mei 2018.
Namun, sejak maraknya kecelakaan antara pejalan kaki dan pengguna skuter, maka sejak 5 November 2019, pemerintah Singapura melarang skuter listrik beroperasi di trotoar. Para pengendara skuter hanya bisa melaju di jalan khusus sepeda sepanjang 440 km di seluruh wilayah Singapura. Negara itu pun akan memberlakukan sanksi bagi pengguna yang melanggar aturan. Dendanya tak main-main, yakni 2 ribu dollar Singapura (setara dengan Rp20,6 juta) atau penjara tiga bulan.
Jika menilik lebih jauh lagi, negara-negara di Eropa sudah memberlakukan pelarangan terhadap penggunaan skuter listrik, seperti Jerman, Prancis, dan Inggris. Di Prancis misalnya, pelarangan penggunaan skuter listrik di trotoar karena diprotes pejalan kaki dan menyebabkan peningkatan kecelakaan. Pejalan kaki justru takut berjalan di trotoar karena banyaknya skuter listrik yang hilir mudik sehingga sering terjadi tabrakan antara pejalan kaki dan pengguna skuter listrik. Jika melanggar, pemerintah Prancis akan mengenakan denda sebesar 150 euro atau sekitar Rp2,3 juta.
Di Jerman, skuter listrik juga dilarang beroperasi di trotoar demi melindungi pejalan kaki. Skuter listrik hanya akan diijinkan di trotoar dalam kondisi luar biasa dan penggunanya harus mematuhi rambu-rambu. Sementara Inggris melarang penggunaan skuter listrik di trotoar dan jalan raya. Skuter listrik hanya bisa digunakan di lahan pribadi. Jika melanggar, pengguna skuter listrik bisa didenda 300 poundsterling atau sekitar Rp5,4 juta.
Lalu bagaimana di Jakarta?
Apabila berkaca pada negara-negara di atas, pemerintah bisa dengan mudah membuat aturan yang serupa. Pertama, mengatur kawasan-kawasan yang boleh dan tidak boleh dilalui skuter listrik. Kedua, batas kecepatan penggunaan skuter listrik. Ketiga, sanksi baik berupa denda atau bentuk hukuman lainnya.
Hal tersebut mulai direaliasasikan sejak 22 November 2019 digelar pertemuan antara Pemprov DKI Jakarta lewat Dinas Perhubungan dan Transportasi (Dishub) bersama Direktorat Lalu Lintas Polda Metro Jaya. Keduanya sepakat mengatur penggunaan skuter listrik dan akan menerapkan sanksi pada 25 November 2019.
Tetapi, kedua pihak belum benar-benar satu suara tentang daerah atau kawasan mana saja yang dilarang dan diperbolehkan untuk menggunakan skuter listrik. Dishub DKI Jakarta masih memperbolehkan skuter listrik beroperasi di jalur sepeda dengan catatan tertentu, sementara Polda Metro melarang penggunaan di jalur sepeda karena bagian dari jalan raya dan khusus digunakan pesepeda sehingga sama membahayakannya.
*) penulis adalah jurnalis republika