REPUBLIKA.CO.ID, oleh Esthi Maharani*
Dari dulu, saya selalu beranggapan warga Jakarta adalah manusia-manusia dengan kekuatan super. Bagaimanapun situasi dan kondisinya, warga Jakarta selalu menemukan cara untuk bertahan hidup dan tetap santuy. Waktu pertama kali saya menginjakkan kaki di Jakarta setelah selesai kuliah di Yogyakarta, rasanya tentu sangat berbeda. Di tahun pertama, saya sudah mengambil kesimpulan bahwa warga Jakarta adalah pejuang sejati.
Kesimpulan sederhana itu saya dapat setelah mencoba berbagai transportasi di Jakarta. Dari angkot, kopaja, transjakarta, KRL Commuter Line, taksi, hingga membawa kendaraan sendiri. Saya masih ingat betul susah payahnya berdesakan di transjakarta atau harus antri di halte dukuh atas ketika hujan angin melanda ibu kota.
Tak cuma di Transjakarta, medan pertempuran untuk bertahan hidup juga ada di gerbong-gerbong kereta commuter line. Saya dulu sempat hampir tak bisa bernafas karena penuhnya manusia di dalam gerbong dengan berbagai aroma yang menyeruak.
Lalu di jalanan ibu kota, ini juga jadi medan pertempuran sengit ketika motor menyalib mobil, ketika pejalan kaki menyebrang tanpa permisi, atau bajaj yang belok kanan kiri tanpa memberi tanda berarti, dan tentu saja suara nyaring klakson bersautan di sana sini.
Itu baru transportasinya, jangan ditanya soal bagaimana cara warga Jakarta mencari cuan untuk kehidupan sehari-hari. Tentu saja perlu perjuangan yang sama kerasnya.
Lalu, musim hujan pun tiba. Saatnya menyapa bencana tahunan yang sudah dihafal bersama: banjir. Tahun ini, banjir datang tepat di pergantian tahun. Banyak daerah yang sebelumnya tidak terdampak banjir, kini merasakan bagaimana rasanya kebanjiran. Tinggi air pun lumayanlah buat berendam hampir seluruh badan.
Jujur saja, waktu banjir mulai datang, pikiran pertama saya: pasti ada yang bahas Anies vs Ahok. Pikiran kedua saya: nanti ada drama saling menyalahkan gak ya?
Ah, rasanya saya ingin berkata kasar.
Saya tak ingin membahas kekisruhan manusia-manusia yang tak selesai juga mengagungkan junjungannya masing-masing atau membahas siapa yang paling salah dan siapa yang paling benar. Saya cuma ingin melihat bagaimana warga Jakarta bertahan dengan bencana yang sudah terjadi di depan mata. Tentu saja warga Jakarta boleh protes, marah, sedih, dengan bencana yang sebenarnya sudah bisa diprediksi.
Tapi pada akhirnya toh kondisi dan situasi itu harus dihadapi juga. Meskipun bumbu pahit tetap bertebaran di sana sini. Misalnya saja pejabat yang meninjau lokasi banjir tapi ogah basah-basahan, komika ‘open minded’ yang berpikir seharusnya semua warga Jakarta ikut berpesta pora di malam tahun baru karena yang berpesta dan yang tidak berpesta sama-sama kena azab banjir, orang-orang yang berusaha pansos dengan twit yang tak berempati, atau ada pula yang sengaja mengunggah foto rumah yang tidak kebanjiran sama sekali.
Duh, boleh gak sih saya benar-benar berkata kasar di sini?
Saya masih percaya warga Jakarta itu luar biasa. Mereka pejuang yang punya kekuatan super karena tak kenal lelah dan bisa menerima dan beradaptasi dengan lingkungan yang ada. Meskipun perjuangan itu terkadang harus dilakukan sendiri. Syukur-syukur bersama orang-orang yang masih punya hati nurani dan menepikan memaki.
*) penulis adalah jurnalis republika.co.id