REPUBLIKA.CO.ID,oleh: Nasihih Masha
Pada Senin (28/5) pekan lalu, Badan Narkotika Nasional (BNN) mengumumkan penangkapan penyelundupan hampir 1,5 juta butir ekstasi. Namun, dua pekan sebelumnya (15/5), Presiden SBY memberikan pengampunan (grasi) pada Schapelle Leigh Corby. Warga Australia itu menyelundupkan 4,1 kg mariyuana pada 2004 dan setahun kemudian divonis hukuman 20 tahun penjara.
Dua peristiwa yang tampaknya kontradiktif, namun sebetulnya justru sejajar. Mengapa sejajar? Karena, di balik penangkapan terbesar tersebut, justru disebut nama Institusi Primer Koperasi Kalta, koperasi yang memiliki kaitan dengan Badan Intelijen Strategis (Bais) TNI. Memang disebutkan bahwa si S hanyalah oknum dari koperasi tersebut. Ia memalsukan dokumen dan tanda tangan pimpinan koperasi.
Kita boleh skeptis bahwa dia hanya oknum. Setidaknya, rasa skeptis tersebut bisa kita pegang sampai ada keputusan resmi dan diumumkan kepada publik apa hukumannya terhadap S. Juga sampai ada keberanian untuk melakukan penyelidikan menyeluruh dari pimpinan Bais dan TNI terhadap kemungkinan bahwa S bukanlah oknum. Jika hal itu terjadi, barulah kita buang rasa skeptis tersebut.
Tapi, jika tak ada langkah apa pun maka kita layak khawatir. Rasa skeptis tersebut layak kita kukuhi saat ini. Kita sudah jarang mendengar vonis kejahatan narkoba setingkat hukuman seumur hidup, hukuman mati, bahkan “cuma” hukuman 20 ta hun penjara sekalipun. Vonis-vonis berat terjadi lebih dari 10 tahun lalu. Saat ini, yang paling sering kita dengar adalah vonis pada kisaran angka lima tahun.
Yang sering kita dengar pula adalah kejahatan narkoba yang dikendalikan dari balik penjara. Yang juga tak pernah kita dengar adalah yang sudah divonis hukuman mati oleh pengadilan itu sudah dieksekusi. Kini, kita justru mendengar bahwa penjahat narkoba memperoleh grasi dari presiden. Luar biasa. Ironis. Kon tradiktif.
Adanya oknum Koperasi Bais dan vonis vonis yang rendah terhadap penjahat narkoba bisa menjadi sinyal tersendiri. Saat ini, data BNN menyebutkan, jumlah pengguna narkoba di In donesia adalah 3,8 juta orang. Kejahatan narkoba—di luar miras—di Indonesia didominasi ganja, ekstasi, shabu, dan psikotropika.
CIA menyebutkan bahwa Indonesia sudah menjadi produsen ganja, ekstasi, dan kethamphetamine. Penghuni penjara juga mulai didominasi penjahat narkoba. Pada keseharian kita juga makin akrab dengan peredaran narkoba. Narkoba makin merangsek ke pedesaan. Pembelian narkoba juga bisa diketeng. Jika ingin murah, ada paket hemat: sudah dicampur dengan bahan lain.
Dua realitas ini—ada oknum Koperasi Bais dan vonis rendah di satu sisi dan masifnya peredaran narkoba—makin memperjelas sinyal bahaya narkoba di Indonesia. Pemberian grasi oleh Presiden SBY terhadap Corby seolah menjadi gong terhadap realitas tersebut. Instrumen hukum makin tak efektif—polisi, jaksa, dan hakim.
Para penegak hukum makin tak steril dari sentuhan bandar narkoba. Akankah kita sedang menuju negeri kartel narkoba seperti Kolombia? Harus diakui, di tingkat dunia, pengguna narkoba di Indonesia relatif masih kecil: ada 3,4 orang dari 100 ribu penduduk. Angka yang jauh lebih kecil dibandingkan dengan angka BNN. Namun, posisi Indonesia sudah meningkat.
Jika semula hanya menjadi konsumen—hanya menjadi satu produsen ganja—kini sudah meningkat menjadi produsen ekstasi, shabu, dan psikotropika. Arah untuk menjadi kartel narkoba makin dekat. Jika mereka makin besar maka mereka mulai menyusun organisasinya secara lebih kuat dan rapi. Dalam kartel narkoba ada pembagian tugas.
Mulai dari sebagai mata dan telinga di lapangan, sebagai pembunuh atau eksekutor operasi, sebagai penguasa wilayah, sampai yang tertinggi sebagai penguasa kartel. Dengan demikian, mereka bisa mengamankan bisnis narkoba dengan leluasa. Saat ini, mereka bukan hanya memproduksi, mendistribusi, dan menjual, tapi juga sudah bisa memengaruhi penegak hukum. Bukan sekadar jaksa, polisi, dan hakim, tapi juga menguasai penjara. Bahkan, melakukan infiltrasi di institusi “Koperasi Bais”.
Pada masa lalu, kita bersyukur jika diri kita tak terkena narkoba. Kemudian, kita bersyukur anak kita tak terkena narkoba. Kini, kita mulai waswas, apakah cucu kita bisa terbebas dari narkoba. Diam-diam kekuatan mafia narkoba makin terlihat. Kita seakan sedang melihat ujung sirip ikan hiu di kejauhan. Kita tak bisa menduga seberapa besar ikan hiu yang sedang bergerak menuju kita.