Rabu 20 Jun 2012 10:00 WIB

Memahami Keindonesiaan (1)

Yudi Latif
Foto: Republika/Daan
Yudi Latif

REPUBLIKA.CO.ID,oleh: Yudi Latif

Banyak orang ingin memimpin Indonesia tanpa memahami hakikat keindonesiaan itu sendiri. Kebangsaan seolah dilihat sebagai sesuatu yang sudah selesai, tinggal menggerakkan roda rutinitas politik dan birokrasi. Tanpa pemahaman mendalam akan kekhasan Indonesia sebagai bangsa, kita cenderung mengopi begitu saja model pembangunan dari negara lain, membuat banyak kalangan di akar rumput merasa teralienasi dari dinamika perkembangan, yang mendorong arus balik ke rumah primordial.

Pertama-tama perlu diingat bahwa kebangsaan Indonesia merefleksikan suatu kesatuan dalam keragaman serta kebaruan dalam kesilaman. Dalam ungkapan Clifford Geertz, Indonesia ibarat anggur tua dalam botol baru, alias gugusan masyarakat lama dalam negara baru. Nama Indonesia sebagai proyek “nasionalisme politik” (political nationalism)memang baru di perkenalkan sekitar 1920-an.

Akan tetapi, ia tidaklah muncul dari ruang hampa, tetapi berakar pada tanah air beserta elemen-elemen sosial-budaya yang telah ribuan bahkan jutaan tahun lamanya hadir di nusantara. Sebagai proyek nasionalisme politik, Mohammad Hatta pernah mengatakan, “Bagi kami, Indonesia menyatakan suatu tujuan politik karena dia melambangkan dan mencita-citakan suatu tanah air pada masa depan dan untuk mewujudkannya setiap orang Indonesia akan berusaha dengan segala tenaga dan kemampuannya.”

Memang diperlukan pengerahan kemauan dan kemampuan yang luar bisa untuk bisa menyatukan keluasan teritorial dan kebinekaan sosio-kultural Indonesia ke dalam kesatuan entitas negarabangsa. Meski begitu, kita tidak perlu gundah dengan pluralitas kebangsaan kita. Toh, Tuhan tidak sedang “bermain dadu” dalam keterlibatan-Nya dengan proses penciptaan negeri ini.

Keragaman tidak selalu berakhir dengan pertikaian asal tersedia sistem pengelolaan negara yang adekuat. Kita juga tidak perlu terobsesi dengan penyeragaman kebangsaan karena keseragaman bukanlah ukuran kedamaian dan kesejahteraan. Pada kenyataannya, realitas sejagat kontemporer menunjukkan hanya sedikit negara yang terdiri dari satu bangsa.

Sebaliknya, suatu negara dengan aneka bangsa lebih jamak ditemukan. Sehingga, yang terakhir ini lebih tepat dikatakan sebagai “ nations-state” ketimbang “ nation state” .Sebutlah contohnya United Kingdom of Great Britain and Ireland dan negara Prancis. Jika orang-orang dari Britania Raya ditanya, “ What is your nationality?” maka jawabannya, bisa jadi English, Wales, Scotish, atau bahkan Irish.

Namun, jika ditanya, “ What is your citizenship?” maka jawabannya adalah British. Tengok juga Prancis. Karena Prancis merupakan hasil pengambilalihan dari bekas kerajaan (dynasty state), seluruh penduduk di wilayah bekas jajahan Prancis mempunyai hak untuk menjadi warga negara Prancis. Dengan demikian, Pran cis dihuni oleh warga negara dengan imajinasi kebangsaan yang beragam.

Singkat kata, suatu negara dengan banyak bangsa bukanlah suatu yang mustahil. Kelangsungannya dimungkinkan asal didukung keberadaan negara yang mampu menegakkan prinsip-prinsip supremasi hukum, keamanan, keter tiban, dan keadilan. Dalam negara seperti itu, hak-hak dan kewajiban politik tidak diikatkan kepada kelompok (etnis, agama, atau status group yang lain) melainkan kepada individu sebagai warga negara yang memiliki kedudukan yang sama di depan hukum.

Wacana tentang integrasi nasional saat ini terlalu sering menempatkan “kebangsaan” da lam posisi terdakwa, dalam taburan ungkapan semacam, “melemahnya rasa kebangsaan”, “bangsa sakit”, “bangsa yang memalukan”, dan sejenisnya. Seolah terkesan bahwa biang keladi dari kemelut sosial-politik saat ini bersumber dari krisis kebangsaan.

Pluralitas kebangsaan lantas dicurigai sebagai bom waktu sedangkan mitos tentang kesatuan dipercaya sebagai kata putus. Cara pandang seperti itu bisa mengaburkan esensi persoalan. Bahwa, kekacauan yang terjadi di jagat kebangsaan tidak mesti bersumber dari rumah tangga kebangsaan itu sendiri. Centang perenang di aras kebangsaan selama ini lebih sering merupakan limbah dari distorsi pengelolaan negara.

Oleh karena itu, kita perlu memeriksa ulang pemahaman tentang persoalan kenegaraan. Konsepsi negara-bangsa mengisyaratkan perlu adanya keserasian (congruency)antara “unit kultural” (bangsa) dengan “unit politik” (negara). Inti persoalannya, bagaimana menemukan bangun dan jiwa kenegaraan yang cocok dengan karakter kebangsaan.

Dasar mengada dari bangsa Indonesia—sebagai kuali peleburan aneka (suku) bangsa ke dalam suatu bangsa—tak lain karena cita-cita politik untuk menghadirkan negara yang dapat mempertemukan nilai, kepentingan, dan cita-cita bersama.

Meskipun faktor budaya memainkan peran penting dalam persatuan bangsa, kunci pokok yang mempersatukan bangsa ini bukanlah kesamaan budaya, agama, dan etnisitas, melainkan karena adanya negara persatuan yang menampung cita-cita politik bersama, mengatasi segala paham golongan dan perseorangan.

Jika negara merupakan faktor pemersatu bangsa maka negara pula yang menjadi faktor pemecah-belah bangsa. Dengan demikian, politik kenegaraan bagi Indonesia sangatlah vital untuk menjaga keutuhan dan keberlangsungan bangsa.

Meskipun Indonesia menganut political nationalism dengan menempatkan negara sebagai unsur pemersatu, konsepsi kebangsaan Indonesia juga mengandung unsur-unsur cultural nationalism dengan kehendaknya untuk mempertahankan warisan historis tradisi kekuasaan dan kebudayaan sebelumnya dari pelbagai kemajemukan etnis, budaya, dan agama.

Dengan demikian, Indonesia memiliki konsepsi kebangsaan yang khas. Konsepsi kebangsaan Indonesia sebagai political/civic-nationalism yang berdiri di atas elemen-elemen cultural/ ethno-nationalism, menempatkan statebuilding dalam posisi yang sangat vital sebagai semen perekat persatuan untuk menghindari arus balik keterpautan warga pada sentimen ethno-nationalism.

sumber : resonansi
Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement