REPUBLIKA.CO.ID,oleh: Azyumardi Azra
Darah masih terus tertumpah dalam jumlah besar di Suriah. Negara yang pernah menjadi sa lah satu kekuatan penting di Dunia Arab dan Timur Tengah kini kian berada dalam tubir pe rang saudara dan kehancuran. Usaha perdamai an yang dilakukan Liga Arab, PBB, Uni Eropa, dan Kofi Annan terus mengalami jalan buntu.
Jika pihak-pihak ini terlihat ingin Presiden Bashar al-Assad segera turun dari kekuasaannya, sebaliknya negara-negara, seperti Rusia, Cina, dan Iran tetap menginginkan Assad bertahan dalam kekuasaannya dan menyelesaikan masalah internalnya. Dengan keterbelahan ke kuatan internasional, Assad merasa masih mendapat dukungan dari kalangan internasional tertentu.
Meski telah diancam bakal diadili pengadilan internasional karena melakukan genosida, Assad bergeming. Sedangkan pihak internasio nal, khususnya Uni Eropa dan AS, kelihatan eng gan campur tangan langsung. Tidak terlihat tanda, mereka ba kal menge rah kan kekuatan mi liter gabung an menghentikan per tumpahan da rah seperti di Libya ketika menghadapi Muam mar Qadafi pada 2011.
Mengapa mereka bersikap demikian? Ini tidak lain karena ne gara-negara Euro Zone ber ha dapan dengan krisis ekonomi di Yunani dan Spanyol yang dapat mewabah ke se luruh Eropa. Sementara itu, AS sibuk dengan persiapan pemilu presiden pada November 2012. Presiden Barack Obama yang ingin terpilih kembali enggan menambah beban keuangan dan politik negaranya yang bisa membuatnya tersingkir dari Gedung Putih.
Selain itu, Suriah bukan negara kaya minyak, gas, atau sumber daya alam lain yang dapat menjadi incaran negara-negara konsumen di Eropa, AS, Cina, Jepang, atau Korea Selatan. Pro duksi minyaknya hanya 379 ribu barel per hari, yang sebagiannya diekspor dan mengha silkan sekitar 25 persen pendapatan negara.
Namun, kekayaan minyak Suriah terus me ni pis dan dalam satu dasawarsa ke depan ne gara ini menjadi pengimpor minyak. Dengan ke kayaan alam yang tidak seberapa, Suriah lebih ba nyak bersandar pada pertanian dan pariwisata. Meski Suriah dalam beberapa tahun terakhir dapat memenuhi kebutuhan pokok melalui pe ngembangan pertaniannya, kekeringan dan ke langkaan air menghalangi ekspansi pertanian.
Krisis politik yang bermula sejak tahun 2000, mengakibatkan peningkatan kemiskinan dan pengangguran di antara penduduknya yang ber jumlah total sekitar 22 juta jiwa. Secara politik, pe merintahan Bashar al-Assad merupakan ku bu terakhir Partai Baath dengan ideologi so sialis me sekuler setelah tumbangnya Partai Baath Irak semasa Saddam Hussein.
Sama seperti rezim Saddam Hussein yang merupakan kekuasaan minoritas Suni di tengah mayoritas Syiah Irak, Assad adalah pemerintah an minoritas kaum Allawi yang sebagian besar adalah Syiah. Meski berjumlah hanya sekitar 12 persen dari total penduduk, kaum Allawi mampu menguasai 74 persen Suni, 10 persen Kristen, dan tiga persen Druze.
Kekuasaan minoritas Allawi ini bermula se jak Suriah menjadi wilayah mandat Prancis se usai Perang Dunia I dan merdeka sejak 1946, yang ditandai sejumlah kudeta militer sampai Hafez Assad menjadi presiden pada 1970. Naiknya Bashar al-Assad menjadi presiden pada 2000 menggantikan ayahnya Ha fez al-Assad yang wafat, mendo rong bangkitnya apa yang sering disebut media Barat sebagai ‘Da mascus Spring’.
Presiden Bashar al-Assad pun memberangus seluruh ke lom pok dan figur prodemokrasi se macam Riad Seif, Kamal al- Labwani, Riyad al-Turk, dan Arif Dalila. Tetapi, gerakan pro de mokrasi tidak terbendung dan muncul di banyak daerah di luar ibu kota Damaskus. Pada saat yang sama, rezim Bashar al-Assad memperketat kontrol media dan internet sehingga hampir tidak tersisa lagi ruang kebebasan ekspresi, yang sudah dibatasi ketat sejak keadaan darurat diberlakukan pada 1963 sampai sekarang.
Quo vadis, mau ke mana Suriah atau tepatnya, mau ke mana Presiden Bashar al-Assad membawa Suriah? Agaknya tidak ada yang tahu pasti. Yang jelas, jika ia tetap melanjutkan aksiaksi militernya yang ganas itu, bisa dipastikan negara-bangsa Suriah terjerumus ke dalam abyss—lubang hitam pekat tanpa dasar.
Dengan tidak menentunya keadaan di Su riah, pihak yang paling mendapat keuntungan ada lah Israel. Berkombinasi dengan keadaan yang tidak atau belum kondusif di Mesir, Libya, Irak, dan banyak negara Arab lainnya, Israel kian tidak terkontrol dalam dominasi dan kesewenangan terhadap Palestina lengkap dengan hegemoninya di Timur Tengah secara keseluruhan.