Kamis 28 Jun 2012 13:55 WIB

Suksesi yang Senyap

Ikhwanul Kiram Mashuri
Foto: Republika/Daan
Ikhwanul Kiram Mashuri

REPUBLIKA.CO.ID, oleh: Ikhwanul Kiram Manshuri

Tatkala sejumlah negara di kawasan Timur Tengah masih terus bergolak, Kerajaan Arab Saudi berhasil melakukan suksesi secara senyap. Dalam arti, pergantian penguasa atau calon penguasa dipersiapkan secara diam diam oleh keluarga kerajaan tanpa diserta gejolak, baik politik, hukum, ataupun keamanan. Hasilnya kemudian diumumkan kepada masyarakat luas.

Berikutnya yang kita dengar dari berbagai saluran berita, rakyat dari seluruh wilayah di Arab Saudi kemudian bergiliran membaiat sang penguasa baru. Baik secara langsung mau pun melalui perwakilan, yang berjalan hingga beberapa hari. Baiat adalah berjanji untuk taat. Dalam hal baiat di Arab Saudi, masyarakat, baik langsung maupun melalui perwakilannya, berjanji taat dan setia kepada raja atau putra mahkota yang baru diangkat. Mereka juga tidak akan menentang sedikit pun kekuasaan sang raja.

Itulah yang terjadi ketika Pangeran Salman bin Abdul Aziz diangkat oleh Raja Arab Saudi, Abdullah bin Abdul Aziz, sebagai putra mahkota pada Senin (18/6) lalu. Penunjukan Salman sebagai calon penguasa negara petro dolar tersebut hanya sehari setelah putra mahkota sebelumnya, Pangeran Nayef bin Abdul Aziz, di ma kamkan. Ia meninggal dunia saat berobat di Swiss.

Pangeran Nayef sendiri menjadi putra mahkota belum genap setahun. Ia diangkat menjadi calon penguasa Arab Saudi pada 27 Oktober 2011 menggantikan abangnya, Pangeran Sultan bin Abdul Aziz, yang beberapa hari sebelumnya meninggal dunia. Dengan demikian, dalam kurun waktu kurang dari setahun telah terjadi dua kali pergantian atau suksesi jabatan putra mahkota. Yaitu, dari Sultan bin Abdul Aziz ke Nayef bin Abdul Aziz dan kemudian ke Salman bin Abdul Aziz sekarang ini.

Kalangan luar Kerajaan Arab Saudi tidak banyak yang tahu bagaimana mekanisme atau undang-undang yang mengatur pergantian penguasa atau kekuasaan di negeri kaya minyak itu. Juga masyarakat Arab Saudi sendiri. Namun, menurut harian Al Sharq Al Awsat yang terbit di London dan dimiliki oleh pangeran Arab Saudi, Raja Abdullah bin Abdul Aziz, telah mendirikan sebuah lembaga yang mengatur mekanisme suksesi penguasa di Arab Saudi.

Lembaga ini bernama Dewan Kesetiaan Kerajaan dengan melibatkan 35 pangeran senior. Namun, mekanisme ini belum diaktifkan selama Raja Abdullah bin Abdul Aziz masih hidup/berkuasa. Ia hanya memberi masukan, tapi kata akhirnya tetap di tangan Sang Raja. Dan yang jelas hingga sekarang, suksesi di Kerajaan Arab Saudi sangat berbeda dengan negara-negara monarki lainnya.

Ia tidak berdasarkan pada keturunan. Dalam arti dari bapak atau orang tua ke anak dan seterusnya. Ia juga bukan dari saudara ke saudara berikutnya berdasarkan urutan kacang. Pendiri Kerajaan Arab Saudi, Abdul Aziz bin Abdul Rahman Al Saud, mempunyai 43 anak laki-laki dan 20 anak perempuan. Raja Arab Saudi sekarang, Abdullah bin Abdul Aziz, adalah anak yang ke-10 dari Abdul Aziz. Ia merupakan raja keenam Arab Saudi sejak 2005 hingga sekarang.

Lima raja sebelumnya adalah Abdul Aziz bin Abdul Rahman (1932-1953), Saud bin Abdul Aziz (1953-1964), Faisal bin Abdul Aziz (1964- 1975), Khalid bin Abdul Aziz (1975-1982), dan Fahd bin Abdul Aziz (1982-2005). Kecuali Abdul Aziz sang bapak, empat raja lainnya dengan embel-embel nama Abdul Aziz di belakangnya, termasuk Abdullah bin Abdul Aziz, menunjukkan bahwa mereka adalah kakak beradik.

Suksesi penguasa di Arab Saudi selama ini bisa berlangsung mulus barangkali lantaran masih sebatas di antara anak-anak Abdul Aziz. Persoalannya bisa menjadi lain ketika anak anak sang pendiri kerajaan yang rata-rata di atas 60 tahun itu nantinya sudah habis dan berganti ke cucu-cucu. Hanya sejarah yang akan membuktikannya.

Dan yang jelas, suksesi yang berjalan mulus, efisien biaya, dan tanpa gejolak serta skandal politik, hukum, dan keamanan tentu merupakan hal yang kita inginkan. Tentu, saya tidak menginginkan Indonesia seperti Arab Saudi. Meskipun, saya sangat iri bagaimana pemerintah negara itu bisa terus meningkatkan kesejahteraan rakyatnya.

Hal yang saya kehendaki adalah bagaimana sistem demokrasi yang kita terapkan bisa memilih pemimpin yang benar-benar pemimpin. Bukan pemimpin yang mengaku-aku pemimpin, padahal dia tidak mampu memimpin. Demokrasi, saya tegaskan, haruslah untuk kesejahteraan rakyat. Demokrasi bukan untuk perebutan kekuasaan orang-orang yang berduit. Apalagi bila kekayaannya adalah hasil menggarong uang negara/rakyat. n

sumber : resonansi
Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement