REPUBLIKA.CO.ID, oleh: Nasihin Masha
Kecil dan ramping. Ramah dan renyah. Pintar dan bersikap. Kritis namun lucu. Itulah gambaran Kang Moeslim—panggilan akrab terhadap Moeslim Abdurrahman. Pada 6 Juli 2012 lalu, cendekiawan itu telah meninggalkan kita semua untuk selamanya. Pria yang dibesarkan dalam tradisi Muhammadiyah itu lebih banyak bergaul di lingkungan Nahdlatul Ulama (NU). Ini karena kedekatannya dengan Gus Dur, dekat secara fisik mau pun secara pemikiran. Karena itu, banyak yang mengira bahwa dia itu NU. Tak salah juga.
Kang Moeslim memang kurang berkiprah di Muhammadiyah. Kemuhammadiyahannya baru dikentalkan lagi ketika dia menggagas Jaringan Intelektual Muda Muhammadiyah (JIMM) pada awal dekade 2000-an mau pun ketika menjadi pengurus Muhammadiyah pada masa kepemimpinan Buya Syafi’i Ma’arif. Walaupun JIMM tak banyak lagi bergiat, namun kaderkader yang ia didik sudah banyak yang mulai moncer. Di kalangan JIMM, nama Kang Moeslim tetap melekat.
Pembentukan JIMM, pada tingkat tertentu, merupakan respons terhadap “kegagalan” Jaringan Islam Liberal (JIL). Dua lembaga anak-anak muda santri ini ingin meneruskan semangat gerakan modernisasi dan liberalisasi Islam. Namun, gaya JIL yang provokatif dan membawa semangat perlawanan terhadap semua membuat gerakan ini mendapat respons yang keras dan menimbulkan gerakan antitesis. Tentu saja hal itu membawa kegagalan sejak di titik start.
JIMM ingin tampil lebih elegan dan dingin. Namun, momentum itu tak berpihak pada JIMM. Suasana yang diciptakan JIL telah membuat JIMM langsung dibungkus para penentangnya dalam keranjang yang sama dengan JIL. Kang Moeslim memang orang yang selalu mencari. Ia gelisah. Gerakannya selalu berada pada level civil society. Ketika para kolega dan seniornya di LSM menggagas pembentukan ICMI, Kang Moeslim memilih tak bergabung. Mitranya, Gus Dur, langsung menggagas Forum Demokrasi— lembaga yang pada tingkat tertentu secara vis a vis melawan ICMI.
Pada masa reformasi, Kang Moes lim menjadi salah satu deklarator Partai Amanat Nasional. Bahkan, ia kemudian bergabung dengan Partai Kebangkitan Bangsa dan juga Partai Republikan. Langkah-langkah politiknya memang aneh. Pria kelahiran Lamongan, Jawa Timur, pada 1948, ini dikenal sebagai pencetus ide Islam Transformatif. Itulah kegelisahan utamanya. Islam harus bisa mentransformasi masyarakat. Terutama karena ada masalah penindasan dan ketidakadilan sosial. Nilai-nilai Islam tak boleh hanya mewujud dalam kesalehan pribadi dan ritual saja.
Nilai-nilai Islam harus menjadi kesalehan sosial yang membebaskan umat dari belenggu kemiskinan, ketertindasan, kebodohan, maupun keterbelakangan. Ide-idenya harus diakui berbau Marxis. Lebih tepatnya ia terpengaruh teologi pembebasan yang berkembang di Amerika Latin. Ide-ide dan langkah-langkah Moeslim ini menimbulkan respons keras dari sebagian aktivis Islam. Hanya saja, dia bukan dosen dan aktivis organisasi seperti Cak Nur, juga bukan pimpinan ormas seperti Gus Dur.
Hal itu menempatkan dirinya tak berada di ruang publik. Karena itu, ia tak banyak mendapat sorotan. Dengan demikian, respons terhadap dirinya pun menjadi tak menonjol. Pada sisi lain, pendapat-pendapatnya yang tajam diungkapkan dengan gaya yang persuasif dan tone suara yang enteng. Itulah sebagian dari kelebihan Moeslim dalam memperjuangkan ide-idenya.