REPUBLIKA.CO.ID,Oleh Azyumardi Azra
Kembali ke Beijing awal 2012 lalu, saya sekali lagi berkesempatan menyaksikan dan mendalami transformasi besar Cina. Menjadi salah satu pembicara dalam Konferensi East-West Center (EWC) East-West Center Association (EWCA) 2012 bertajuk "Community Building and Leaedrship in Asia-Pacific", langit Beijing nyaris tertutup kabut polusi emisi sepanjang hari.
Tetapi, suasana mendung ini tidak dapat menyembunyikan kebangkitan Cina menjadi kekuatan ekonomi global.
Salah satu kunci terpenting kebangkitan Cina adalah inovasi yang menjadi kebijakan pokok pembangunan Cina. Kerangka inovasi itu dikemukakan secara cukup terperinci dalam "Medium-and Long-Term National Plan for Science and Technology Development" (MLP) yang ditetapkan Dewan Negara Cina pada Februari 2006.
MLP memberikan tekanan utama pada akselerasi indigenous innovation- inovasi anak negeri daripada mengimpor inovasi asing seperti dari Amerika Serikat, Jerman, Jepang, atau Korea Selatan. Indigenous innovation dalam berbagai bidang, khususnya teknologi komersial, diyakini dapat menawarkan solusi bagi kebutuhan fundamental percepatan pembangunan Cina.
Indigenous innovation secara lebih spesifik diarahkan untuk mengatasi berbagai masalah, seperti dikemukakan Perdana Menteri Wen Jibao, semacam struktur ekonomi tidak rasional, overproduksi barang berkua litas rendah, nilai tambah tidak memadai, peningkatan hambatan serius karena kelangkaan energi dan sumber daya alam lain, dan degradasi parah lingkungan hidup.
Para pemimpin Cina melihat, inovasi amat penting dalam meningkatkan kualitas ekonomi negeri, yang pada gilirannya menjadi kunci bagi pe ningkatan kesejahteraan rakyat. Hanya dengan inovasi, Cina dapat meningkatkan daya saingnya di dunia internasional dan sekaligus menyusul negara-negara industri global lainnya.
MLP juga menekankan pentingnya bagi Cina melakukan "lompat katak" (leap frogging) dalam riset rintisan menyangkut bidang kunci seperti, bioteknologi dan nanoteknologi.
Jika "inovasi" menjadi "rahasia" kebangkitan Cina, apa sesungguhnya yang dimaksudkan?
Kebanyakan orang jika berbicara tentang "inovasi", yang mereka maksudkan adalah temuan (invention) yang benar-benar baru, yang belum pernah ada sebelumnya, seperti internet atau telepon genggam dalam dua dasawarsa terakhir. Inovasi dalam bidang ini benar-benar baru dan menimbulkan perubahan radikal dalam cara manusia berkomunikasi.
Tetapi, "inovasi" lebih daripada sekadar invention. "Inovasi" kini mencakup pengertian jauh lebih luas. "Inovasi" juga berarti "mengalihkan dan memindahkan gagasan, temuan, dan discoveries menjadi berbagai bentuk baru dalam produk, jasa, proses, dan model bisnis". Dengan demikian, inovasi lebih daripada sekadar riset atau pengembangan produk; tetapi bisa juga saja menawarkan sesuatu tambahan baru atau fitur yang lebih daripada yang ada sebelumnya sehingga orang berlomba membelinya.
Karena itu, inovasi tidak lagi perlu mulai dari nol. Inovasi memerlukan ketajaman pikiran dan imajinasi melalui proses yang kini disebut sebagai "inovasi terbalik" (reverse innovation). Dalam rekayasa "inovasi terbalik" ini, produk baru dari negara lain dibongkar habis, dicopoti seluruh komponen dan seterusnya untuk menemukan prinsip-prinsip pokok cara kerja produk tersebut. Bahkan, "inovasi terbalik" pada batas ter- tentu boleh jadi juga melibatkan "pencontekan" komponen. Karena itu, produk Cina tertentu sering menjadi tertuduh sebagai pelanggar hak cipta produk negara lain.
Lewat reverse innovation, Cina mampu memasarkan berbagai produknya--yang semula merupakan produk negara maju--dengan fitur lebih inovatif dan harga lebih murah.
Untuk percepatan inovasi-dalam hal ini "inovasi terbalik", Pemerintah Cina menanam investasi besar- besaran pada pengembangan pendidikan tinggi dan universitas sebagai pusat penelitian dasar dan terapan. Sejak 1998, jumlah GDP yang diberikan untuk tujuan ini menjadi tiga kali lipat. Sejak itu pula, jumlah perguruan tinggi meningkat dua kali lipat dan jumlah mahasiswa bertambah lebih lima kali lipat dari sekitar satu juta pada 1997 menjadi 5,5 juta pada 2007. Jumlah doktor yang dihasilkan meningkat lebih 10 kali lipat, mencapai lebih 21.000 pada 2006. Bagaimana Indonesia? Memprihatinkan.
Meski di Indonesia juga terdapat banyak lembaga riset bahkan juga Kementerian Ristek, hasilnya masih jauh panggang dari api. Juga ada Komisi Inovasi Nasional, tetapi tidak jelas inovasi apa yang telah dihasilkan lembaga riset tersebut.
Alasan pokoknya sudah klasik: dana yang disediakan pemerintah sama sekali tidak memadai.
Hal sama juga berlaku pada pendidikan tinggi. Riset di perguruan tinggi utamanya hanyalah sekadar "riset DIPA" untuk mendapatkan cuma kenaikan pangkat, bukan riset betulan. Laboratorium pun kebanyakan sudah ketinggalan zaman karena ketiadaan dana. Jika ada anggaran, sebagiannya jatuh ke tangan para koruptur seperti terlihat dalam pengadaan laboratorium di beberapa perguruan tinggi belum lama ini.
Pada saat yang sama, pendidikan tinggi lebih menjadi ajang resentralisasi, birokratisasi, dan lebih celaka lagi, politisasi. Hal ini terlihat jelas dalam UU Pendidikan Tinggi yang mulai diberlakukan pada 2012 ini.