REPUBLIKA.CO.ID,Oleh Yudi Latif
Lebih dari sekadar kriteria usia, kaum muda merefleksikan sikap kejiwaan. Suatu kebaruan cara pandang yang memutus hubungan dengan tradisi kejahiliahan masa lalu, dengan keberanian memperjuangkan visi perubahan yang menjanjikan pencerahan masa depan. Tapi, tak terhindarkan, mereka yang berani mengemban visi perubahan lebih mungkin tumbuh dari mereka yang tidak terlalu digayuti beban masa lalu.
Meminjam pandangan Hatta, generasi baru kaum terdidik dengan kemampuannya untuk membebaskan diri dari hipnosis kolonial lebih mungkin mengambil inisiatif untuk membangkitkan kekuatan rakyat dan menyediakan basis teoretis bagi aksi-aksi kolektif.
Maka, tidak mengherankan, orang-orang muda ada di balik tonggak-tonggak terpenting pembangunan bangsa. Guru-guru belia mulai mengampanyekan gerakan kemajuan lewat pers vernakular dan perkumpulan Mufakat Guru pada akhir abad ke-19; anak-anak STOVIA memelopori gerakan kultural Budi Utomo pada 1908; pemuda-pemuda jebolan berbagai sekolah modern, termasuk Samanhudi yang lulusan sekolah ongko loro (tweede Klasse School) mengembangkan Sarekat Islam sejak 1912 sebagai pergerakan politik proto-nasionalisme; para mahasiswa mengembangkan perhimpunan Indonesia, kelompok-kelompok studi pergerakan serta partai-partai politik nasionalis sejak 1920-an; pemuda-pelajar menggalang Sumpah Pemuda sebagai kode pembentukan blok nasional pada 1928; revolusi kemerdekaan 1940-an dilukiskan Ben Anderson sebagai revolusi pemuda.
Setelah lebih dari setengah abad merdeka, Indonesia sebagai proyek historis kaum muda harus menghadapi kenyataan tua renta, kehilangan elan vital daya muda. Indonesia tanpa jiwa muda (kebaruan-kemajuan) dan kepemimpinan pemuda adalah Indonesia yang menyangkali jati dirinya.
Kehendak membangun daya saing bangsa menuntut kita untuk memudakan kembali Indonesia. Akselerasi alih kepemimpinan nasional di segala bidang menjadi tuntutan.
Kaum muda dalam pergerakan kemerdekaan Indonesia berperan penting dalam ”menemukan politik” (the invention of politics) -yang hingga awal abad ke-20, istilah politik tersebut tak ada padanannya dalam bahasa Melayu-Indonesia. Kaum muda pada masa kini dituntut untuk meraih kembali ”politik” yang hilang dari genggamananya seraya mengembalikannya ke jalur yang benar.
Politik dalam kesadaran kaum muda pergerakan, jauh dari bahasa teori “pilihan rasional”. Rationalitas adalah kepentingan individual yang harus dibayar oleh ketidakrasionalitasan kehidupan kolektif. Politik dalam konsep mereka merupakan usaha resolusi atas problem-problem kolektif dengan pemenuhan kebajikan kolektif. Mirip dengan pemahaman Aristotelian, politik dipandang sebagai seni mulia untuk meraih harapan dan memelihara kemaslahatan umum, terutama kepentingan kaum terjajah dengan jalan menyubordinasikan kepentingan-kepentingan partikular pada kepentingan (kaum terjajah) secara keseluruhan.
Peran politik kaum muda seperti itu kini dipanggil kembali oleh sejarah ketika politik sebagai seni mengelola republik demi kebajikan kolektif mulai tersisihkan oleh politik yang berorientasi parokial. Politik masa kini lebih memprioritaskan kepentingan elite dengan mengatasnamakan “kebajikan publik”.
Dengan demikian, politik menjadi semacam seni memerintah dengan menipu rakyat. Kaum muda harus menyelamatkan kepercayaan rakyat kepada republik dengan mengembalikan politik pada khitahnya.