Rabu 21 Nov 2012 09:03 WIB

Muhammadiyah di Jalan Dachlan

Yudi Latif
Foto: Republika/Daan
Yudi Latif

REPUBLIKA.CO.ID,Oleh Yudi Latif

Setelah satu abad Muhammadiyah berkiprah, ke mana persyarikatan ini harus bergerak? Tetap konsisten menghidupkan spirit dan khitah perjuangan KH Ahmad Dachlan. Bukan berarti mengeramatkan peninggalan beliau, yang konsekuensinya membekukan Muhammadiyah dalam penjara spatio-temporal. Akan tetapi, menghidupkan Ahmad Dachlan bermakna merekonstruksikan hidup dan pemikirannya untuk dijadikan preskripsi aksi. Darinya kita bisa menimba pelajaran.

Pertama, beradalah di luar dunia politik, tapi tetap berpolitik. Muhammadiyah tidak pernah menjadi partai politik atau terlibat dalam politik sebagai satu organisasi, walau secara individual ataupun faksional para kadernya terlibat dalam banyak kegiatan dan partai politik. Bahkan, bila ditilik kembali ke awal masa kolonialisme, kegiatannya berfokus pada aktivitas sosial-budaya di pinggiran politik.

Bukan berarti Muhammadiyah tidak punya kesadaran dan pemihakan politik. Berpolitik tidak harus dengan yang kasat-mata dan konfrontasional. Ada masanya perlawanan yang paling tepat adalah penciptaan kesadaran kolektif tentang kekejian kolonialisme. Kesadaran ini takkan lahir tanpa kecerdasan generasi muda melalui proses pendidikan.

Muhammadiyah menawarkan bentuk berpolitik baru dan memberikan saham dalam perjuangan berjangka panjang yang notabene suatu bentuk berpolitik dari pinggir. Visi yang dikedepankan Dachlan adalah sebuah visi yang berorientasi substansi untuk memberikan sumbangan hakiki. Jika jalan Muhammadiyah dibelokkan menuju politik praktis, tidak hanya akan mencederai catatan sejarahnya yang bersih dari kekisruhan, tetapi juga akan menjadi sebuah lompatan besar menuju daerah tak bertuan. Formalisme kemudian merupakan kosa kata aksi. Aksi akan menjadi sekadar seremoni.

Kedua, sebagai produk urban, tetaplah memperhatikan masalah urban. Biarpun memiliki banyak cabang hingga desa-desa, Muhammadiyah adalah bagian dari fenomena urban. Organisasi yang terlahir melalui tangan kaum pedagang Muslim urban ini memberikan warna Islam berbeda: bersahabat dengan modernitas, mengutamakan kemandirian belajar ketimbang figur, terbuka, egaliter, dan berorientasi keadilan ekonomi.

Karena itu, terbentuklah sebuah pendekatan Islam perkotaan yang berbicara dengan kosa kata urban dan mengatasi masalah urban. Kita tahu urbanisasi memunculkan dislokasi pemikiran dan komunitas, yang berakhir dengan, salah satunya, kaum mustadhafin perkotaan. Buruh berpenghasilan rendah yang dieksploitasi perusahaan asing adalah hal jamak didengar.

Keluarganya kembang kempis memenuhi kebutuhan dapur ataupun pendidikan juga kerap kita simak. Namun, usaha membela dari kaum yang secara historis merupakan bagian dari mereka, masih sayup-sayup terdengar.

Ketiga, berpikir global dan beraksi lokal. Dilahirkan dari rahim urban, tidak terelakkan bila Muhammadiyah terimbas oleh globalisasi. Bahkan, bila mau dirunut, Ahmad Dachlan sendiri adalah produk globalisasi karena proses belajar di Makkah dan pertemuannya dengan Rasyid Ridha ataupun terpengaruhinya oleh pemikiran tokoh-tokoh global pan-Islamisme masa itu, seperti al-Afghani dan Abduh.

Sepulangnya ke Tanah air, alih-alih mempromosikan apa yang dia dapatkan di luar, Dachlan berusaha menerjemahkan apa yang ia pahami dari perjalanan belajarnya ke dalam konteks Indonesia. Solusi yang ia tawarkan memiliki kekhasan pengaruh globalisme, seperti menerima modernisme, memahami geopolitik internasional melalui kolonialisme, dan melihat umat dari wawasan lebih luas.

Namun, aplikasinya benar-benar berhubungan dengan kebutuhan dan kepentingan lokal. Walau globalisasi merupakan bagian integral Muhammadiyah secara historis, tidak lantas berarti ia harus menelannya. Kemampuan kader untuk beranjak dari sekadar mengimpor pemikiran dari luar --berbentuk pengentalan ataupun pencairan Muhammadiyah, baik itu dari Barat maupun dunia Islam--sesungguhnya menunjukkan kemajuan berijtihad dan kedewasaan epistemik. Melihat permasalahan bangsa secara lebih luas masih merupakan tantangan tersendiri bagi Muhammadiyah.

Keempat, layanan sosial adalah kekuatan dan keutamaan Muhammadiyah. Muhammadiyah jika ditilik secara historis dipandang sebagai suatu modal sosial bangsa ini. Ia hakikatnya merupakan aset dan instrumen penting untuk realisasi dan artikulasi ide-ide pedagogikal, egalitarianisme sosial, dan amal ekumenikal.

Namun kini, terdapat indikasi terjadinya kemandekan atau malah kemerosotan fungsi Muhammadiyah sebagai pemberdaya ekonomi dan pemberi layanan sosial. Beberapa aset pendidikan dan sosial Muhammadiyah dalam keadaan yang memprihatinkan. Kepekaan organisasi ini terhadap masalah-masalah sosial, seperti kelangkaan pendidikan bagi warga miskin tak berpunya atau kekurangan gizi, masih dirasakan kurang dari semestinya atau bahkan bila dibandingkan beberapa organisasi lain.

Boleh jadi, intelektual Muhammadiyah sekarang, seperti organisasi besar Islam lain di Indonesia, fasih (well-versed) dalam diskursus multikulturalisme, demokrasi, dan hak-hak asasi manusia (dan memang ini diperlukan); tapi kefasihan mereka berpraksis tauhid sosial, memaknakan diri sebagai ikatan etis terhadap yang lain, terasa masih tertinggal di belakang.

Ada keluhan terjadinya kemerosotan intelektualisme Muhammadiyah yang konon disebabkan oleh penekanan pada aktivisme sosial. Keduanya tidak perlu didikotomisasikan, karena abstraksi (lexis) bisa berkembang dari praksis. Pemahaman ini bersifat universal seperti yang dicerminkan oleh Francis Asisi dan dicontohkan Dachlan sendiri.

Ia tidak sekadar berdiri menceramahi dan ikut berpartisipasi dalam kegiatan Budi Utomo, tapi juga mendirikan fasilitas layanan sosial, seperti panti asuhan dan klinik pada masanya. Problem kemasyarakatan adalah problem Muhammadiyah yang tidak melulu mesti disikapi dengan memprioritaskan penyelesaian intelektual. Aksi berbicara lebih dari sejuta suara.

Kelima, bertahan dengan kelenturan dan posisi di tengah. Walau terlihat sebagai seorang puritan yang menghebohkan Masjid Kesultanan, jauh di dalam diri Dachlan bersemayam kelenturan dan kemoderatan. Jauh dari menolak Barat, juga jauh dari memeluknya; dekat dengan tradisionalisme, tapi tidak menjadi tradisionalis.

Ahmad Dachlan adalah tokoh Muslim liminal, seorang yang berdiri di jalan tengah, mengawinkan tradisi dan inovasi. Keseimbangan adalah kunci yang menjaga kelenturan dan kemoderatan Dachlan. Ber-tajdid menjadi upaya menjaga keseimbangan itu. Tanpa keseimbangan, semua akan runtuh. Singkatnya, Muhammadiyah yang melupakan Dachlan adalah Muhammadiyah yang kehilangan arah.

sumber : Resonansi
Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement