Selasa 22 Jan 2013 18:08 WIB

Tahun 2013: Sebuah Refleksi (2)

Ahmad Syafii Maarif
Foto: Republika/Daan
Ahmad Syafii Maarif

REPUBLIKA.CO.ID,Oleh Ahmad Syafii Maarif

Bagaimana ke depan? Inilah sebuah pertanyaan yang tak mudah dijawab. Dari sisi pemerintahan pusat, mungkin tidak banyak yang dapat diharapkan. Sebab, kita semua sudah tahu gaya kepemimpinan yang tidak efektif, seperti yang berlaku selama tiga tahun terakhir.

Dari lembaga penegak hukum, kinerja KPK merupakan satu-satunya yang bisa diharapkan sekalipun musuhnya datang dari berbagai arah: DPR, kepolisian, dan pengusaha hitam yang memang berharap agar korupsi itu tetap dipelihara. Itulah di antara penyakit sosial yang diderita oleh bangsa dan negara ini.

Presiden yang pernah mengatakan akan memimpin sendiri pemberantasan korupsi tampaknya tidak lebih dari sebuah janji yang melayang begitu saja. Politikus Partai Demokrat (PD) yang terlibat dalam korupsi merupakan cermin buram tentang betapa seorang Ketua Dewan Pembina tidak mempunyai wibawa untuk mengendalikan kelakuan anak buahnya.

Ini tidak berarti bahwa hanya elite PD saja yang tersangkut korupsi, beberapa elite partai lain juga turut dalam perlombaan kelakuan kumuh ini. Sesungguhnya, dari institusi kejaksaan di bawah komando Basrief Arief ada titik terang untuk perbaikan. Tetapi, karena penyakitnya sudah demikian kronis, seorang jaksa agung pasti akan menghadapi tantangan yang luar biasa untuk upaya pembenahan tersebut.

Dalam pembicaraan saya beberapa waktu de ngan petinggi kejaksaan agung ini, tekad untuk pembenahan itu telah mereka miliki. Kesan tersebut saya dapatkan melalui pembicaraan informal dengan mereka, saat saya diminta memberikan ceramah dalam Rakernas Kejaksaan 2012 di Cianjur akhir tahun lalu.

Raker yang dihadiri oleh seluruh petinggi kejaksaan dari tingkat kejaksaan tinggi sampai pimpinan puncaknya ini semestinya mampu memberi energi pencerahan pada institusi tersebut untuk berbenah diri demi mengembalikan wibawa penegak hukum yang sudah telanjur merosot itu.

Kemudian, tentang institusi pengadilan, khususnya MA (Mahkamah Agung), saya mendapat informasi dari kalangan yang sangat dapat dipercaya, keadaannya masih jauh dari harapan. Hanya segelintir hakim agung yang benar-benar setia dengan profesinya. Sebagian besar mereka melakukan business as usual.

Maka demi wibawa di masa depan, tidak ada jalan lain, kecuali melakukan perombakan besar-besaran dalam tubuh MA yang sudah banyak disorot publik ini. Adapun dari lembaga kepolisian yang sarat masalah itu, saya mengusulkan agar posisinya dilepaskan dari lembaga kepresidenan dan kemudian ditempatkan di bawah kementerian kehakiman atau kementerian dalam negeri.

Dengan cara itu kepolisian akan terbebas dari kecemburuan pihak lain yang selama ini sangat dirasakan, kemudian wajah perpolitikan kita secara umum pada 2013.

Dengan mengecilnya jumlah partai yang berhak turut dalam pemilu--mungkin hanya 10--maka sedikit memberi harapan akan terjadinya proses penyederhanaan sistem kepartaian kita.

Yang sangat ditunggu kemudian adalah agar kualitas mereka yang akan duduk dalam DPR, pusat dan daerah, harus benar-benar melalui seleksi yang ketat, tetapi jelas tidak mudah. Proses tarik tambang pasti akan berlaku di sini. Belum lagi kita menyinggung politik uang yang masih sangat marak dalam sistem pemilihan kita. Perlu ada keberanian untuk mengubah kultur yang tidak sehat itu.

Jika kualitasnya tidak ada peningkatan seperti yang kita saksikan selama ini maka wajah perpolitikan kita akan tetap bopeng dan melelahkan. Pertanyaannya adalah 'Apakah partai-partai yang masih bertahan sadar akan masalah serius ini?' Dalam pantauan saya, kenyataan yang berlaku selama ini adalah posisi ketua umum partai terlalu mendikte terhadap jajaran partainya.

Mengapa, misalnya, pengurus partai pada tingkat provinsi ke bawah tidak diberi wewenang untuk menentukan sendiri siapa pemimpinnya, siapa yang mau dicalonkan untuk anggota DPR. Dominasi pusat ini sama sekali tidak mendidik anggota partai menjadi dewasa.

Jika gerakan reformasi sudah menyatakan talak tiga terhadap kultur yang serba - sentralistik, mengapa justru partai-partai melanggengkan kultur yang tidak sehat itu dalam tubuhnya sendiri? Terlalu banyak paradoks yang masih membebani demokrasi Indonesia yang dengan susah payah diperjuangkan 15 tahun yang lalu. Setelah berhasil, kembali disia-siakan lagi.

Itulah di antara upaya perbaikan sistem demokrasi dan agenda penegakan hukum yang perlu mendapat perhatian serius tahun 2013, sebuah tahun kritikal menjelang Pemilu 2014 yang sudah di ambang pintu.

Waktu bergulir demikian kencang, sedangkan kepekaan bangsa ini untuk berubah ke arah perbaikan dan kemajuan begitu lemah dan lamban. Sementara, kebanyakan politisi sudah lama mati rasa. Namun, mereka masih saja merasa sedang berada di jalan yang benar. Quo vadispolitisi Indonesia?

sumber : Resonansi
BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement