REPUBLIKA.CO.ID,Oleh Asma Nadia
Seorang pemuda mencari makna dari sebuah bencana. Berawal dari kemunculan segerombolan serigala lapar yang membuat anak-anak kecil di desanya menjadi korban. Keluarga yang kehilangan berduka.
Kepala desa mengajak semua berdoa agar dijauhi dari bencana. Masyarakat diminta waspada dan siaga, tetapi serigala tak terlihat lagi.
Setelah kepala desa merujuk ke tetua, ternyata di hutan dekat desa tersebut kini tinggal sekelompok serigala buas yang suka menyerang desa-desa sekitar dan memangsa anak-anak kecil.
Waktu berlalu, berangsur desa mulai tenang. Kedukaan pelan-pelan pergi. Kaum ibu yang kehilangan anak kembali mengandung dan melahirkan. Tapi, tepat setahun kemudian gerombolan serigala yang sama menyerang desa, mengambil anak-anak bayi yang baru dilahirkan, dan menghilang dengan cepat.
Suasana gempar. Kepanikan dan duka berulang. Kesedihan akibat anak-anak yang menjadi korban rasanya sulit dilupakan.
Tetapi, hidup terus berjalan. Kecemasan yang menghinggapi para ibu, ketakutan untuk memiliki anak kecil, terlupakan. Janin yang kemudian lahir dirawat dengan cinta sempurna. Kebahagiaan yang teramat singkat, sebab setahun kemudian sekelompok serigala ganas kembali menyerang dan merenggut anak-anak. Tapi, kali ini penduduk desa mulai terbiasa.
Mereka tidak terlalu panik. Sebagian bertekad untuk tidak lagi memiliki anak. Keputusan ini merupakan bentuk penerimaan terhadap nasib bahwa suatu saat serigala yang sama akan datang dan hanya orang dewasa yang mampu menghadapi.
Begitulah, setiap tahun bencana serupa terjadi, hingga akhirnya anak-anak di desa mereka tak lagi tersisa. Benarkah sesuatu yang berulang layak disebut bencana dan tanpa reserve diterima dengan penuh kepasrahan? Pemuda itu berpikir seraya menatap desanya yang terasa mati.
Keresahan si pemuda membawanya berjalan ke desa terdekat. Suasana berbeda ia temukan. Anak-anak kecil terlihat riang bermain, celoteh segar mereka menuai senyum di wajah para orang tua. Padahal, seperti juga desa si pemuda, desa ini pun tak luput dari serangan serigala bengis.
Lalu, mengapa cahaya kebahagiaan tidak sirna di sini? Kepala desa bercerita, awalnya mereka juga kaget saat terjadi serangan. Segera, setelah itu pintu-pintu rumah penduduk diperkuat. Tapi, ketika serangan yang sama datang dan anak-anak yang berada di luar rumah menjadi korban, mereka mulai membuat semacam tanda peringatan. Jumlah korban berkurang, tetapi masih ada.
Akhirnya masyarakat membangun pagar pembatas tinggi di sekeliling desa dan sejak itu desa mereka tidak pernah diganggu serigala lagi. "Anak muda, bencana adalah kejadian alam yang tidak terduga. Tapi, jika musibah serupa berulang, itu merupakan rutinitas alam. Di desa ini, kami semua percaya kalau anak-anak menjadi korban keganasan serigala maka itu adalah kesalahan kami dalam mengelola pemerintahan desa. Karena itu, kami selalu berpikir cara memperbaikinya."
Pemuda itu tertunduk malu, ternyata selama ini penduduk di desanya terbuai dongeng tentang bencana serigala. Seolah tidak ada yang bisa disalahkan. Percaya bahwa yang terjadi murni bencana. Padahal, itu adalah akibat pemerintahan desa yang tidak bersungguh-sungguh mengatasi masalah dan justru menyalahkan keadaan alam.
Dalam perjalanan pulang, si pemuda berhadapan dengan sekelompok serigala yang siap menerkam. Ia berlari sejauh mungkin, tapi serigala terus mengejar. Tak ada jalan lain, si pemuda harus melompat ke dalam sumur sebagai harapan terakhir. Ia terjun dan terbawa arus unik yang mengantarnya ke sebuah kota modern yang sedang dilanda banjir. Kota yang jauh lebih kaya, tapi pola pikir dalam menghadapi bencana mirip aparat di desanya.
Di kota ini, banjir--seperti serigala di desanya--di sebut bencana. Padahal, semua tahu setiap tahun hujan deras selalu datang dengan berbagai kemungkinan akibatnya.
Masa depan anak-anak banyak yang terenggut karena banjir. Segala upaya menyejahterakan keluarga hancur ketika rumah-rumah dan isinya ditenggelamkan genangan air. Penduduk harus bekerja keras menabung dan membeli berbagai kelengkapan hidup yang mungkin akan hancur lagi tahun berikutnya. Mirip para ibu di desanya yang hamil, membesarkan anak, lalu kehilangan lagi.
Ada sedikit perbedaan. Di kota banjir ini, memang ada usaha, tapi selalu tidak sebanding dengan rutinitas alam yang ada. Tidak seperti desa yang ia kunjungi yang setiap tahun terus mengadakan evaluasi dan perbaikan hingga akhirnya benar-benar terbebas menjadi korban.
Sang pemuda bangkit dari perenungan, bergegas mencari pemimpin kota dan pemimpin negeri tempatnya terdampar. Tak sabar ingin bercerita tentang desanya yang pelan-pelan mati. "Jangan salahkan alam,"
batinnya, sambil terus melangkah. "Ini bukan bencana. Sejatinya ini merupakan kesalahan menejemen pemerintahan dalam menyikapi apa yang terjadi."