REPUBLIKA.CO.ID,Oleh Nasihin Masha
Duduk ngangkang atau menyamping? Duduk bersila atau bersimpuh? Bercelana panjang atau mengenakan rok?
Pilihan-pilihan itu seolah dinisbahkan sesuai gender. Laki-laki bersila, perempuan bersimpuh. Laki-laki bercelana panjang, perempuan mengenakan rok. Laki-laki ngangkang, perempuan menyamping. Itulah perilaku umum yang berlaku di masa lalu. Di masa kini, soal celana panjang tak lagi monopoli laki-laki. Perempuan tak lagi dipergunjingkan memakai celana panjang. Di masa lalu, sekitar tahun 1970-an, masih hal yang tak umum perempuan memakai celana panjang. Bahkan di perdesaan Jawa, di masa lalu, perempuan itu identik dengan kain jarik. Perempuan memakai rok sebagai sesuatu yang tak sopan.
Walau tak terjadi perubahan yang masif, kini bukan hal yang tabu bagi wanita duduk bersila. Namun umumnya, kaum wanita lebih banyak duduk bersimpuh. Ini umumnya di Jawa. Karena di Sulawesi atau Sumatra, kaum perempuan duduknya berbeda lagi. Satu kaki dilipat horizontal, dan satu kaki dilipat vertikal. Dengan dua tangan memegang bawah lutut kaki yang vertikal. Justru duduk ngangkang bagi perempuan saat dibonceng sepeda motor kini sudah merupakan hal yang lumrah. Kini, di Lhok Seumawe, Aceh, tiba-tiba ada upaya untuk melarang duduk ngangkang bagi perempuan saat dibonceng bersepeda motor.
Rencana pembakuan aturan itu dalam sebuah peraturan daerah menimbulkan kontroversi di media massa dan media sosial, khususnya twitter. Para aktivis feminis, para Islamofobia, dan para pegiat liberalisme segera saja berteriak. Dari garis mereka ini, umumnya mengaitkan dengan ajaran Islam. Tak salah-salah amat. Aceh adalah provinsi yang diberi otonomi khusus soal pemberlakuan hukum Islam. Selain itu, rencana peraturan itu juga mencoba menggamit ke 'aturan' Islam. Tentu saja para komentator ataupun pengusungnya telah salah alamat. Soal duduk ngangkang atau menyamping, soal duduk bersila atau bersimpuh, juga soal model celana panjang atau kain jarik atau rok sama sekali tak terkait dengan aturan Islam. Itu soal produk budaya.
Namun, komentar berlebihan segera muncul. Di antaranya menyebutkan bahwa kasus perkosaan justru paling banyak terjadi di Arab Saudi. Negeri yang justru mengatur ketat soal pakaian dan perilaku kaum perempuannya. Pernyataan ini jelas ada nada kebencian dan fobia. Selain itu, komentar itu juga salah. Statistik justru membuktikan bahwa kasus perkosaan paling banyak terjadi di negara-negara liberal. Saudi menduduki peringkat ke-115 dan Indonesia ke-109. Urutan pertama diduduki Prancis, disusul Jerman, Rusia, Swedia, Argentina, Belgia, Filipina, Spanyol, Chile, dan Lesotho. Sedangkan Amerika Serikat menduduki peringkat ke-57.
Sebetulnya tak ada yang salah sebuah masyarakat atau bangsa “membudayakan” dirinya dalam hal perilaku dan semacamnya. Justru di era globalisasi kekhasan dan kekuatan budaya akan menjadi kekuatan dan ciri sebuah masyarakat. Bahkan, kebesaran sebuah bangsa akan bergantung pada kedalaman akar budayanya. Ia menjadi tak mudah terombang-ambing. Dulu, Singapura merupakan bangsa yang jorok. Orang meludah sembarangan. Lee Kuan Yew membuat aturan tegas: mendenda rakyatnya yang meludah, membuang tisu, atau membuang sisa permen karet tak pada tempat yang telah disediakan. Kini, Singapura menjadi negeri yang bersih. Walau tak melalui peraturan, imbauan Jusuf Kalla selaku wapres sangat ampuh. Kini berbaju batik tak kalah terhormat dengan berbaju jas.
Yang jadi kontroversi adalah ketika sandaran untuk melarang duduk ngangkang adalah aturan agama. Karena hingga kini tak pernah ada fatwa larangan duduk ngangkang. Bahkan di masa lalu, para pejuang wanita di zaman Nabi, zaman kekhalifahan, ataupun di masa kesultanan, para wanita tak masalah duduk ngangkang saat berkuda.
Membangun budaya dan kearifan lokal lebih efektif dengan keteladanan dan gerakan sosial. Bukan dengan ancaman, apalagi dengan memaksakan sandaran yang salah. Perilaku merupakan wujud dari nilai-nilai dan pandangan hidup, bahkan kadang soal pragmatisme belaka. Duduk ngangkang bagi pembonceng sepeda motor memang lebih aman.