REPUBLIKA.CO.ID,Oleh: Asma Nadia
Sosok di hadapan saya tidak banyak berubah. Masih perempuan dengan penampilan modern yang prinsip dan kemandiriannya menimbulkan decak kagum. Paras ayunya pun tetap menarik, hanya tampak sedikit lelah. Barangkali baru pulang dari perjalanan jauh menemani suami bertugas, pikir saya. Dengan segera kami terlibat obrolan, mengejar tahun-tahun yang berlalu tanpa kabar. “Saya sudah pindah.” Kalimat berikut yang meluncur dari bibir dengan polesan lipstick merah jambu itu, membuat saya terkejut. Rumah yang ditempatinya bukan hanya menyimpan begitu banyak kenangan, sebab merupakan peninggalan satu-satunya sang ayah, juga selalu ditata dan dirawat pemiliknya. Dengan sepenuh hati, perempuan ayu itu bisa memberi sentuhan modern tanpa meninggalkan kesan klasik yang artistik di setiap sudutnya.
Pindah, bagaimana bisa? Sahabat saya tersenyum, meski agak canggung. Dengan suara lebih rendah dia lalu bercerita rumah tersebut dijual setelah bertemu dengan seorang “pintar”yang dituakan. “Kata Eyang, hawanya tidak baik untuk anak-anak.” Saya mencoba menarik ingatan ke beberapa tahun silam. Menghadirkan sudut-sudut rumahnya di kepala. Setahu saya fentilasinya cukup. Jendela-jendelanya besar untuk sirkulasi udara. Lingkungan asri, jauh dari pabrik atau tempat pembuangan sampah. “Syukurlah Eyang membantu penjualan rumah hingga kami tidak berlama-lama mengiklankan.” Obrolan bergulir. Suaranya lebih riang saat bercerita tentang anak-anak. Namun, kembali canggung ketika saya bertanya perkembangan beberapa usaha yang dirintisnya. Dulu, ini salah satu yang menimbulkan rasa iri banyak orang. Menjadi ibu rumah tangga yang nyaris tak pernah absen mendampingi suami, namun masih sempat membuka lapangan pekerjaan bagi orang lain, sungguh luar biasa.
Kami sama-sama memiliki waktu 24 jam, tetapi saya tak bisa membayangkan betapa super dia mengatur waktu. Tidak hanya merintis satu, tetapi beberapa usaha sekaligus, yang bisa dibilang berjalan baik. Keluarga tetap nomor satu dan rumah tak pernah kehilangan sentuhan keibuannya.
Perempuan hitam manis di hadapan saya menundukkan wajah. Lalu menggeleng. Ah, saya mengerti. Mungkin permintaan suami dan anak-anak. Barangkali usaha yang awalnya iseng-iseng kemudian menyita lebih banyak waktu. “Saya banting setir. Kata Eyang atmosfer dari butik, lalu tambak ikan dan kebun yang saya jalankan, tidak bagus. Syukurlah, Eyang juga membantu mempertemukan dengan orang yang auranya lebih tepat untuk menjalankannya. Kata Eyang, manusia harus fokus dalam hidup. Dengan begitu-–kata Eyang--kehidupan menjadi lebih seimbang.”
Kali ini saya tertegun. Baru setengah jam percakapan, dan entah berapa kali “kata Eyang” sudah disebut. “Apa kata Mas Ihsan?” Sepasang mata di hadapan saya menerawang. ''Kami sempat bertengkar. Dulu Mas Ihsan yang khawatir istrinya terlalu sibuk. Sekalinya saya ingin berhenti berbisnis, malah dia yang tidak setuju.”
Romantika rumah tangga. Semua pasangan mengalami. Pernikahan adalah komitmen seumur hidup yang menuntut kesiapan untuk mengompromikan banyak hal.
“Mungkin usahamu diam-diam menjadi sumber kebanggaan Mas Ihsan. Suami mana yang tidak bangga jika istrinya maju. “ Seulas senyum tipis tersungging di paras hitam manisnya.
“Kalau istri maju, pertanda didikan suami berhasil, ya kan?”Tidak ada anggukan, juga gelengan. Wajah sahabat saya yang terkesan lelah mendadak pucat seolah kehilangan darah. Kali ini sosoknya terdiam lebih lama. Hanya sepasang bola mata yang tampak berputar-putar kehilangan cahaya.
Allah, tiba-tiba perasaan khawatir menelusup memekatkan hati. Mungkinkah terjadi sesuatu antara dia dan Mas Ihsan? Mustahil. Pikiran negatif itu langsung saya bantah. Mereka pasangan paling harmonis yang pernah saya kenal. Sama-sama bintang kampus ketika kuliah. Cerdas dan punya prinsip. Orang tua teladan yang diimpikan siapa saja.
Ada senyum, namun entah mengapa terasa tawar, saat dengan terbata dia kemudian bercerita,
“Kami sudah berpisah. Kata Eyang, watak kami sama-sama api. Jika diteruskan, lebih banyak yang terbakar dan menjadi korban. Kata Eyang, sebelum semua terlambat ....”
Saya tersentak. Allah, di mana akal sehat? Di mana iman? Bagaimana Engkau yang Maha, bisa terkalahkan? Tak lagi menjadi rujukan dan tempat meminta? Hingga kami berpisah, kalimat terakhir perempuan ayu yang sudah beberapa tahun ini tinggal bersama enam orang istri Eyang, masih terus bermain-main di benak saya. Kata Eyang. Kata Eyang.