REPUBLIKA.CO.ID,Oleh Azyumardi Azra
Jika ada wabah yang terus kian meluas dalam masyarakat kita sejak dari Merauke sampai ke Sabang, itu adalah premanisme. Premanisme mengambil bentuk sejak dari pemerasan, perampasan dan perampokan, pemerkosaan, dan seterusnya.
Premanisme bisa terjadi dalam kendaraan umum, seperti angkot, taksi, dan bus kota, atau di pasar, perusahaan, kompleks perumahan, di lingkungan pertetanggaan, sampai di perkantoran. Agaknya, tidak ada di antara anggota masyarakat yang terbebas dari premanisme, apa pun bentuknya.
Saya pun tidak bisa lepas dari premanisme.
Berikut salah satu aksi premanisme yang pernah saya alami sendiri. Sekitar dua tahun lalu ketika saya membangun perpustakaan pribadi di kawasan Ciputat, berbagai ormas berbasis etnis dengan segera menancapkan `bendera' masing-masing dan menuntut `uang keamanan'. Sami mawon dengan kepala lingkungan pertetanggaan yang minta uang bulanan.
Tak cukup sampai di situ, ketika truk yang membawa material bangunan sampai di depan proyek, dengan segera beberapa preman yang selalu berjaga juga nongol dan memaksa menurunkan material dengan upah sangat mahal. Padahal, toko bahan bangunan telah menyediakan anak buah yang bertugas menurunkan material tersebut; tidak perlu lagi bantuan siapa-siapa, apalagi preman.
Ketika aparat kepolisian setempat dilaporkan tentang aksi premanisme tersebut, alih-alih menegakkan hukum melawan premanisme, malah ada oknumnya yang juga minta uang kepada mandor tukang. Sang mandor tidak bisa berbuat lain kecuali memenuhi permintaannya.
Kasus lain. Sekitar lima tahun lalu ketika ada sedikit rehab di Kompleks Program Pascasarjana IAIN Imam Bonjol, Padang, tukang-tukang asal Jawa mengeluh kepada saya. Masalahnya ketika truk kecil pembawa material masuk kampus Pasca, segera saja preman-preman di sekitar berdatangan meminta uang. Lagi-lagi para tukang tidak berdaya selain tunduk pada pre- manisme yang selalu mengintai.
Premanisme jelas menimbulkan banyak dampak negatif. Lebih daripada sekadar gangguan kenyamanan bekerja dan berusaha, premanisme menciptakan gangguan keamanan dan ketakutan dalam masyarakat. Pada saat yang sama, juga mengakibatkan `ekonomi biaya tinggi'. Pengusaha atau siapa saja yang membangun fasilitas untuk usaha harus mengeluarkan biaya `siluman' dalam jumlah cukup besar.
Menghadapi premanisme, tidak jarang pemilik, mandor bangunan, sampai perusahaan konstruksi `memasang' aparat: polisi atau tentara yang sudah purnawirawan atau masih aktif. Sangat sering pula mereka memasang stiker aparat tertentu. Kelihatannya preman keder dengan cara ini dan cukup efektif membentengi mereka untuk tidak menjadi korban premanisme.
Menghadapi premanisme berlapis-lapis, masyarakat umum tidak berdaya. Mereka hanya bisa menggerutu dan menyumpah serapah; atau membisu dalam kemarahan. Mereka tidak bisa mendapat perlindungan dari pihak manapun. Tidak juga dari aparat keamanan dan penegak hukum karena mereka melihat dan mengalami sendiri adanya `oknum' aparat yang kelakuannya setali tiga uang.
Karena itu, tidak mengherankan ketika para petinggi TNI AD mengakui bahwa 11 anggota Kopassus yang menyerang Lapas Cebongan, Sleman, DIY, dengan menewaskan empat preman (23/3/13), banyak kalangan masyarakat memberi `tepuk tangan' kepada Kopassus.
Dalam berbagai talk showdi radio dan TV, kalangan masyarakat setuju dan mendukung tindakan para oknum prajurit Kopassus yang menewaskan keempat preman tersebut sebagai pembalasan atas tewasnya seorang anggota Kopassus di tangan para preman.
Bahkan, ada juga kalangan masyarakat yang menghendaki kembalinya `petrus' (penembak misterius) yang membasmi preman pada masa Orde Baru. Jelas masyarakat semakin tidak peduli dengan tindakan main hakim sendiri oleh pihak aparat yang terlatih dan memegang senjata. Mereka juga tak mau tahu bahwa tindakan tersebut merupakan pelanggaran terhadap ketentuan hukum dan HAM. Mereka sudah sangat muak dengan premanisme; bagi mereka penewasan preman adalah tindakan yang perlu dan ditunggu- tunggu.
Baik premanisme dan perilaku (oknum) aparat maupun gejala sikap masyarakat seperti itu, sama-sama mencemaskan. Pada satu pihak, keadaan itu menunjukkan bukan hanya kian merajalelanya kriminalitas dan ketidakmampuan aparat penegak hukum, melainkan sekaligus kegagalan negara (pemerintah) menegakkan hukum dan ketertiban demi melindungi rakyat.
Karena itu, pemerintah tidak lagi bisa bersikap permisif terhadap premanisme dan tindakan main hakim sendiri oleh kalangan aparat. Pemerintah wajib mengambil langkah tegas terhadap kedua bentuk pelanggaran hukum dan kesewenang-wenangan. Jika tidak, negara Indonesia dapat kian terjerumus ke dalam hukum rimba. Masyarakat pun kian terperangkap ke dalam pembenaran atas tindakan main hakim sendiri oleh kalangan aparat. Atau lebih parah lagi, mereka juga semakin lebih percaya pada hukum rimba daripada hukum negara dan aparat negara itu sendiri.