REPUBLIKA.CO.ID,Oleh Azyumardi Azra
Sejauh menyangkut filantropi Islam Indonesia yang terwujud melalui zakat, infak, sedekah, wakaf (Ziswaf) dalam kaitan dengan negara dan masyarakat madani (civil society), kajian Amelia Fauzia PhD, Faith and the State: A History of Islamic Philanthropy in Indonesia (Leiden-Boston: Brill, 2013) menawarkan preposisi menarik. Menurut Amelia, “jika negara lemah, filantropi (Islam) menguat”; sebaliknya, “jika negara kuat, filantropi (Islam) melemah”.
Preposisi ini benar dalam kaitannya dengan kerajaan-kesultanan sebelum kedatangan kolonial Belanda. Entitas politik Islam yang penuh dengan riwayat bangkit dan runtuh di hampir seluruh nusantara tidak memiliki kapasitas dan struktur memadai untuk mengontrol filantropi Islam. Keadaan ini mendorong kian menguatnya penguasaan filantropi Islam oleh masyarakat Muslim sendiri.
Tetapi, preposisi tersebut tidak dapat diterapkan untuk masa kolonial Belanda. Perlahan tapi pasti Belanda menguasai wilayah demi wilayah nusantara sehingga menjadi “negara kuat”. Tetapi, pada saat yang sama praktik filantropi Islam juga menguat karena Pemerintah kolonial Belanda pada dasarnya “tidak mau campur tangan” dalam urusan keagamaan kaum Muslimin. Selama individu, kelompok, dan komunitas Muslim tidak melakukan kegiatan yang dapat mengancam status-quo kekuasaan Belanda, selama itu pula kaum Muslimin dibiarkan menjalankan urusan keagamaannya-termasuk filantropi.
Hemat saya, masa kolonial Belanda adalah periode krusial dan menentukan perjalanan masyarakat Muslim Indonesia selanjutnya dalam hubungan dengan negara. Boleh dikatakan, sikap “netral” Belanda dalam urusan keagamaan kaum Muslimin justru memberikan peluang besar bagi kebangkitan filantropi yang menjadi tulang punggung bagi pertumbuhan fenomenal masjid, langgar, mushala, pesantren. Perkembangan ini mendorong proses Islamisasi dan santrinasi yang terbukti tidak bisa dihentikan dan dimundurkan.
Ketika organisasi-organisasi Islam berkecambah sejak dasawarsa pertama abad 20, mulai dari SI, Jami'at Khayr, Muhammadiyah, dan kemudian NU dan banyak ormas Islam lain, tradisi filantropi yang bebas dari campur tangan negara kian menguat. Penguatan ini tidak hanya membuat kian berkecambahnya lembaga-lembaga Islam yang dibangun lewat filantropi Islam, seperti madrasah, sekolah, klinik, panti asuhan, dan seterusnya, sekaligus pula memperkuat Islamic-based civil society.
Masyarakat madani berbasis Islam ini independen vis-à-vis negara, mengatur dan membiayai diri sendiri. Mereka tumbuh dan berkembang nyaris tanpa keterlibatan dan bantuan negara. Sebuah tradisi dan sekaligus warisan (legacy) Islam Indonesia yang sangat kaya dan berurat berakar kian memapankan diri. Dengan tradisi dan warisan inilah kaum Muslimin Indonesia tidak mudah dikooptasi negara. Mereka terlalu besar untuk bisa dikuasai negara. Di sini, kaum Muslimin Indonesia berada dalam posisi yang sangat distingtif jika dibandingkan dengan banyak negara berpenduduk mayoritas Muslim lain.
Tradisi dan warisan itu jika tidak menguat, setidaknya stabil sepanjang masa pemerintahan Presiden Sukarno. Rezim Orde Lama pada dasarnya mengikuti kebijakan “netral” dalam bidang agama. Karena itu, Presiden Sukarno yang sibuk dengan berbagai retorika politiknya membiarkan belaka aktivisme filantropi Islam di tangan masyarakat Muslim sendiri. Dalam ungkapan Amelia, “Kelompok yang menyerukan agar zakat dikelola negara tidak punya tempat dalam rezim Orde Lama”. Meski demikian, gagasan baru tentang modernisasi filantropi Islam mulai muncul di kalangan masyarakat Muslim sendiri sejak 1950-an. Di sinilah muncul kembali wacana tentang perlunya keterlibatan negara dalam ikhwal zakat dan waqaf, misalnya.
Pemerintahan Orde Baru di bawah Presiden Soeharto tidak menjalankan kebijakan netral dalam urusan agama. Menurut Amelia, pemerintah Orde Baru sebaliknya memainkan “kartu zakat” dan juga wakaf untuk memenangkan dukungan kaum Muslimin dan sekaligus membuat zakat cocok dengan ideologi pembangunan.
Pemerintah Soeharto mendukung aktivitas filantropi Islam, yang secara tidak langsung memajukan Islamisasi atau santrinisasi. Sejak 1968, pemerintah Orde Baru mensponsori pembentukan BAZ. Karena itu, meminjam teori sejarawan MC Ricklefs, sejak masa awal pemerintahannya, rezim Orde Baru mempromosikan Islamisasi masyarakat akar rumput. Cerita selanjutnya sudah banyak diketahui, Presiden Soeharto kemudian mengambil inisiatif membantuk Yayasan Amal Bakti Pancasila dengan program pembangunan 1.000 masjid dan pengiriman 1.000 da'i. Banyak kalangan Muslim meratapi ketika program filantropi ini dihentikan Presiden BJ Habibie dalam interegnum-nya.
Pemerintahan demi pemerintahan pasca-Soeharto jelas lemah. Sebaliknya, pertumbuhan //civil society// dan filantropi Islam menjadi sangat fenomenal. Tetapi, pada saat yang sama, kontestasi di antara figur-figur dan lembaga filantropi Islam juga meningkat. Isunya tetap sama: apakah negara perlu atau tidak mengatur atau campur tangan dalam pengelolaan filantropi Islam? Bisa dipastikan, tarik tambang di antara pihak-pihak yang terlibat dalam kontestasi ini bakal terus berlanjut.