Jumat 24 May 2013 06:59 WIB
Resonansi

Indonesia yang Tumbuh Tapi Tak Berubah

Nasihin Masha
Foto: Republika/Daan
Nasihin Masha

REPUBLIKA.CO.ID,Oleh Nasihin Masha

Darmin Nasution ingin membangun tradisi baru. Ia merintis adanya pidato pertanggungjawaban (farewell address) bagi setiap gubernur Bank Indonesia yang mengakhiri masa tugasnya. Pekan ini ia harus menyerahkan singgasana penguasa moneter itu kepada penggantinya, Agus Martowardoyo. Pidato itu dilakukan di hadapan publik. Ia memaparkan apa saja yang telah dilakukannya dan apa tujuannya. Ia mengaku, apa yang dilakukannya ibarat membangun gorong-gorong dan drainase. Musuh utama jalan di Indonesia adalah air. Namun pembangunan infrastruktur jalan itu tak selalu diiringi pembangunan gorong-gorong dan drainase. Akibatnya jalan selalu rusak dan biaya menjadi mahal. Sehingga kita terjebak melakukan hal yang sama setiap saat dan tak beranjak ke mana-mana.

Membangun sistem, kelembagaan, dan tata nilai bukanlah pekerjaan menarik. Ia sunyi dari pujian dan jauh dari hasil instan. Kita cenderung untuk melakukan sesuatu yang cepat terlihat ujung akhirnya. Pekerjaan semacam itu bersifat instan, manipulatif, dan pasti tak berkesinambungan. Tentu itu jalan yang buruk. Karena itu, Darmin memilih jalan yang sunyi. Latar belakangnya sebagai peneliti selama 22 tahun serta pengalamannya di pemerintahan yang panjang dan di berbagai jabatan menjadi faktor kunci pilihan tak populer itu. Ia mendapati masalah yang dihadapi Indonesia dari dulu hingga kini tetap sama. Padahal kita sudah bangga bahwa telah banyak kemajuan yang telah diraih Indonesia. Itulah kebanggaan semu. Karena itu ia berkesimpulan, kita memang growth but without change (tumbuh tapi tak ada perubahan).

Pada titik ini kita menemukan konfirmasi bahwa setelah 15 tahun reformasi segala indeks kualitatif kita tak banyak kemajuan, bahkan sebagian malah menurun. Kita khawatir gerakan reformasi hanya mengulang kegagalan Orde Baru. Koreksi yang digempitakan tak mencapai sasaran. Semua orang tak ada yang berpikir strategis. Semua hanya berpikir jangka pendek dan sektoral. Jika rezim Soeharto bertahan 32 tahun, akankah reformasi bisa berakhir lebih cepat? Pada saatnya daya dukung sistem akan ambrol ketika energi tekanan terakumulasi. Persis seperti jalan yang remuk digerus air karena tanpa gorong-gorong dan drainase. Indonesia akan ambruk lagi dan ambruk lagi. Kita mulai dari bawah lagi dan kerja kuantitatif kita lenyap.

Struktur industri kita saat ini tetap sama seperti dulu. Kehadiran KPK tak mengurangi korupsi, tapi malah berbiak. Lahirnya MK seiring dengan kualitas produk legislasi di parlemen yang makin buruk. Demokrasi justru memekarkan politik dinasti dan kolusi. Kenaikan fantastis GDP diiringi melebarnya kesenjangan ekonomi. Konsistensi pertumbuhan ekonomi tak mendorong pemerataan. Ekspor yang melonjak dikejar impor yang membengkak. Ini karena presiden, menteri, dirjen, gubernur, bupati, walikota hanya mengejar tujuan akhir secara instan. Hal yang sama terjadi dalam skala mikro, misalnya di perusahaan atau lembaga sosial. Orang tak menghargai proses, pengembangan sistem, dan pembangunan kelembagaan. Semua hanya puas pada hasil akhir, tak peduli bagaimana cara meraihnya, termasuk melalui pencitraan dan kemasan (gincuisme). Orang tak peduli pada kedalaman isi dan kelanggengan prestasi.

Ada beberapa faktor yang membuat kita tak berubah. Business as usual, tak ada kepemimpinan, penyuka kekuasaan serta jabatan, gemar menerabas serta menjilat, dan sebagainya. Kita jadi teringat pada teori Koentjaraningrat tentang mentalitas manusia Indonesia atau 10 karakter manusia Indonesianya Mochtar Lubis. Kita masih belum beranjak dari temuan pada 1970an itu.

Situasi ini beriringan dengan pudarnya watak kenegarawanan para tokoh kita. Di kalangan intelektual juga mekar-massal budaya intelektual tukang, seperti yang pernah disitir Gus Dur di masa Orde Baru dulu. Pers kita hampa wacana. Pragmatisme dan monetizing juga merasuk di segala lini masyarakat. Semuanya begitu paripurna. Seolah kita sedang menuju titik yang sama. Titik sempadan lempeng tektonik. Setelah energi terakumulasi maka kita tinggal menunggu gempa belaka. Akankah lahir gerakan reformasi jilid kedua?

Kita berharap tak ada revolusi politik lagi. Harganya sangat mahal. Semua capaian kita akan musnah. Dan kita akan kembali lagi ke titik nol seperti tahun 1966 atau 1998. Kita berharap ada orang-orang yang bersedia bekerja dalam sunyi. Kita sudah melihat Darmin melakukan itu. Ia tak takut dituduh anti-korporasi, anti-pemodal, dan anti-asing. Ia menyeret BI untuk tak menjadi menara gading dan harus membumi. Baginya, semua harus didedikasikan untuk kesejahteraan dan kemakmuran rakyat banyak. Ia berhasil menurunkan BI Rate ke kisaran 5-6 persen, suku bunga KPR sudah single digit, ia berhasil membatasi ruang gerak fund manager asing agar tak leluasa melakukan spekulasi, ia memaksa korporasi untuk melaporkan devisa hasil ekspor, melakukan intervensi untuk kredit usaha kecil, dan sebagainya.

Indonesia harus berubah, tak cukup hanya tumbuh. Perubahan bisa mulai dari atas, tapi juga bisa dari bawah. Namun dalam masyarakat berkembang dan paternalistik seperti Indonesia, perubahan dari atas jauh lebih efektif dan lebih efisien. Seperti kata Darmin, kita sering berpikir terlalu tinggi dan rumit sehingga tak nyambung dengan kenyataan.

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement