REPUBLIKA.CO.ID,Oleh Yudi Latif
Munculnya aspirasi di kalangan Partai Keadilan Sejahtera (PKS) untuk keluar dari koalisi partai pendukung pemerintah mencerminkan kecenderungan koalisi pragmatis tanpa kesamaan visi dan nilai ideologi. Tanpa kesamaan visi dan ideologi, koalisi mudah pecah ketika kepentingan pragmatis unsur koalisi terancam.
Kecenderungan politik tersebut menggembirakan sekaligus menyedihkan. Menggembirakan karena pragmatisme bisa meredakan konflik berdarah. Menyedihkan karena politik berkembang tanpa jangkar nilai dan orientasi perjuangan yang jelas.
Kita saksikan, betapa pun pemilihan umum yang lalu ditandai oleh berbagai skandal, kekecewaan elite politik Indonesia atas pelaksanaan pemilu itu dinetralisasi oleh melemahnya “konflik visi” dalam politik digantikan oleh menguatnya “konflik kepentingan”. Dalam konflik visi, yang dipertaruhkan adalah gagasan yang bersifat tak teraba, mengandung asumsi-asumsi dasar yang menuntut konsistensi logis, kesetiaan, dan pengorbanan jangka panjang.
Oleh karena itu, ketika konflik visi yang terjadi, daya ledaknya bisa membuat para penganut perbedaan visi terpecah dalam kesiagaan siap mati yang memengaruhi rentang panjang sejarah bangsa. Dalam konflik kepentingan, yang dipertaruhkan adalah hal-hal teraba, mengandung kejelasan untung-rugi yang bersifat pragmatis jangka pendek. Karena sifatnya yang cetek dan menyangkut kepentingan orang per orang, terlalu konyol jika orang banyak mempertaruhkan jiwanya di altar pengorbanan. Oleh karenanya, durasi konflik kepentingan biasanya berjangka pendek.
Meski peredupan konflik visi bisa mencegah kekacauan dan perpecahan bangsa, politik tanpa visi tak menyediakan basis nilai dan harapan. Dampaknya segera terlihat dalam pola koalisi. Para pemimpin partai sibuk bermanuver politik secara zig-zag tanpa beban berganti-ganti posisi etis. Partai-partai yang bercorak liberal rela bersanding dengan partai-partai bercorak illiberal. Rujukan koalisi bukanlah titik temu dalam nilai dan visi, melainkan semata-mata berdasarkan alokasi sumber daya dan kursi. Platform yang disusun secara serabutan diajukan sekadar alat justifikasi.
Tanpa kejelasan visi, politik kehilangan peta jalan ke arah mana masyarakat akan diarahkan, prioritas nasional apa yang akan dipilih, fokus pembangunan apa yang akan disasar, dan akhirnya pengorbanan apa yang dituntut dari rakyat. Politik tanpa visi sekadar kemeriahan pesta pora yang menyesatkan; memberi harapan semu dengan biaya mahal tanpa arah ke depan, tanpa perenungan mendalam, dan tanpa komitmen pada penyelesaian masalah-masalah mendasar.
Namun, ada luapan bawah sadar yang mencerminkan kejenuhan banyak orang dengan politik permukaan dan mulai berpaling ke politik pendalaman. Meski untuk sementara waktu, bagi kebanyakan rakyat yang dibelit kesulitan hidup, perhatian pada segi-segi pendalaman-struktural ini masih bisa terpalingkan oleh godaan stimulasi permukaan-inkremental. Tendensi ini bisa dilihat dari kecenderungan figur politik yang di awal era Reformasi menjadi pesakitan, sekarang diperlakukan bak pahlawan, karena kekecewaan publik kritis terhadap figur lain yang berpopularitas tinggi, tetapi tak menjanjikan pendalaman.
Untuk mengantisipasi ekspektasi publik pada substansi demokrasi, tantangan politik ke depan bagaimana mengembangkan pendalaman visi sambil mengendalikan potensi pertikaian yang ditimbulkannya lewat penataan institusi elektoral yang bergaransi kompetensi, kenetralan, dan keadilan.
Pintu masuk ke arah itu bisa dimulai lewat penataan kerangka koalisi. Pembentukan koalisi tidak hanya berdasarkan pertemuan kepentingan atau segi-segi sentimentil dalam relasi antarelite, melainkan berbasis komitmen bersama dalam kerangka nilai dan visi. Dalam kerangka ini, kompetisi politik bukanlah sekadar pertarungan popularitas figur, melainkan pertarungan dalam pasar gagasan.
Jika visi yang dipertaruhkan, para kandidat tak perlu merasa kecil atau tinggi hati. Mereka perlu menghayati dirinya sebagai pahlawan yang memperjuangkan nilai luhur apa pun risikonya. Jika visi ini secara jujur diperjuangkan dengan kemampuan komunikasi politik yang bersambung dengan pemahaman publik, rakyat punya kepekaan nuraninya tersendiri. Sekalipun kalah, secara moral menang.
Kontestasi politik, ujar Winston Churcill, sama bahayanya dengan peperangan, bahkan lebih berbahaya. Dalam peperangan, orang hanya bisa mati satu kali, sedangkan dalam kontestasi politik orang bisa saja mati berkali-kali.
Kematian politik selalu menyisakan harapan hidup dan menghidupkan. Bagi si pecundang, kekalahan bisa saja kemenangan yang tertunda. Bagi si pemenang, pihak yang kalah menghadirkan tekanan yang bisa membangkitkan kreativitas daya hidup.
Dalam demokrasi yang bervisi, pihak-pihak yang kalah tidak harus mencari kehormatan dengan harga murah kepada sang (calon) pemenang. Mengonsolidasikan diri sebagai oposisi untuk mempersiapkan kemenangan esok hari jauh lebih terhormat.
Demokrasi adalah kemenangan semua pihak. Yang menang dan yang kalah punya perannya sendiri, punya ruang kehormatannya sendiri-sendiri. Semuanya bekerja untuk tuan yang sama; sang demos (rakyat).