REPUBLIKA.CO.ID,Oleh Ikhwanul Kiram Mashuri
Recep Tayyib Erdogan jarang berbicara mengenai Islam selama ia menjadi perdana menteri (PM) Turki dalam tempo 10 tahun terakhir ini. Ketika ia dan wakil-wakil partainya--Partai Keadilan dan Pembangunan (AKP)--di parlemen berupaya mengegolkan sebuah rancangan undang-undang yang membolehkan jilbab (busana Muslimah) masuk ke institusi pemerintahan, misalnya, mereka juga tidak bicara tentang Islam meskipun partainya berhaluan Islam.
Dalih yang mereka pakai adalah hak asasi manusia (HAM). Yaitu, melarang mereka yang berbusana Muslimah masuk ke kantor pemerintah, pengadilan, istana negara, dan perguruan tinggi adalah melanggar HAM.
Hingga pengesahan amendemen undang-undang yang membolehkan busana Muslimah masuk kantor-kantor pemerintahan tahun lalu, istri PM Erdogan dan Presiden Abdullah Gul tak pernah memasuki kantor suami mereka di istana negara maupun rumah dinas mereka. Karena, istri sang PM dan sang Presiden berbusana Muslimah. Dan, dengan alasan jilbab ini pula, Erdogan terpaksa menyekolahkan kedua anak perempuannya ke Amerika dan Bosnia.
Begitu pula saat mereka--pemerintah dan parlemen Turki--mengegolkan undang-undang yang membatasi konsumsi alkohol, mereka tidak pernah menyebut alasan syariat atau ajaran Islam. Alasan yang mereka sampaikan adalah untuk melindungi kepentingan anak-anak dari kebiasaan buruk. Itu sebabnya aturan itu juga mencakup larangan penjualan minuman beralkohol dalam radius 100 meter dari sekolah dan masjid.
Erdogan tampaknya sadar betul Turki adalah negara republik sekuler, meskipun hampir seluruh rakyatnya (99,8 persen) beragama Islam. Sebagai pengakuan kesekuleran negaranya, ia pun berziarah ke makam Mustafa Kemal Attaturk begitu ia dilantik menjadi PM pada 10 tahun lalu. Attaturk merupakan pendiri Republik Turki yang berhaluan sekuler (1923).
Namun, lawan-lawan politik Erdogan, terutama dari kaum sekuler dan liberal, tetap saja menuduh sang PM dan partainya ingin memaksakan keyakinan mereka di Negara Turki. Atau, lebih tepatnya, Erdogan dan partainya dituduh ingin mengislamkan Turki alias menjadikan Turki sebagai negara Islam (as sakyu ila aslimatil al mujtama’). Bahkan, Erdogan juga didakwa ingin mengembalikan Turki ke masa kejayaan Khalifah Usmaniyah. Tuduhan-tuduhan yang kemudian dibantah tegas oleh Erdogan dan para pemimpin Partai AKP.
Karena itu, yang bisa dibaca dari aksi-aksi demonstrasi yang beberapa hari ini marak di Turki adalah bukan persoalan penebangan pohon di Maidan (alun-alun) Taksim (Istanbul), yang konon akan diubah menjadi pusat perdagangan (mal) dan masjid. Maidan Taksim adalah sebuah jalan luas yang setiap hari dilalui mobil, pejalan kaki, dan pedagang kaki lima menjajakan dagangannya. Semua bercampur baur di sana.
Pemerintahan Erdogan, melalui Wali Kota Istanbul, ingin menjadikan Taman Gezi yang berada di tengah Maidan Taksim hanya untuk para pejalan kaki. Sedangkan, untuk jalan mobil dibuatkan terowongan persis di bawah Maidan Taksim. Untuk merealisasikan proyek tesebut tentu saja harus memindahkan atau menebang beberapa pohon dan bangunan kuno di atas Maidan Taksim.
Pada awalnya, para pendemo memang meneriakkan soal penebangan pohon. Namun, kemudian cepat berkembang pada tuntutan lain, yaitu pengunduran diri PM Erdogan. Yang terakhir inilah tuntutan sebenarnya dari para pengunjuk rasa. Mereka tampaknya paham betul untuk menjatuhkan Erdogan dan pemerintahannya tidak mungkin melalui kotak suara pada saat pemilu empat tahunan. Dalam 10 tahun terakhir, dengan tiga kali pemilu, Partai AKP selalu menang. Kemenangan yang terus meningkat di setiap pemilu, dari hanya menang mayoritas hingga mayoritas mutlak.
Kemenangan yang sebenarnya sangat wajar karena di era PM Erdogan kesejahteraan rakyat Turki meningkat pesat. Pendapatan per kapita yang 10 tahun lalu hanya 3.000 dolar AS, kini--dalam masa 10 tahun pemerintahan Erdogan--sudah mencapai 11 ribu dolar. Pertumbuhan ekonomi Turki rata-rata di atas 6 persen per tahun. Bandingkan dengan negara-negara Eropa yang kini enonominya sangat terpuruk.
Bahkan, Turki yang 10 tahun lalu dijuluki oleh Barat sebagai negara sakit kini sudah menjadi kekuatan ekonomi ketujuh di Eropa. Angka pengangguran juga sangat rendah. Begitu juga dengan data mengenai korupsi. Selama menjadi PM, Erdogan memang sangat keras terhadap tindak pencurian uang negara, apalagi bila pelakunya adalah orang-orang dari partainya.
Dengan kinerja pemerintahan seperti itu para lawan politik Erdogan--kelompok sekuler dan liberal--sepertinya tahu bahwa akan susah menggulingkan Erdogan melalui sistem demokrasi pemilu. Karena itu kemudian mereka menempuh cara lain, yaitu melalui unjuk rasa. Dengan demonstrasi besar-besaran mereka berharap akan seperti yang terjadi di Lapangan Tahrir (Kairo) dan Lapangan Tunis (Tunisia) yang telah berhasil menggulingkan Presiden Husni Mubarak dan Presiden Zainal Abidin bin Ali.
Namun, Erdogan dan pemerintahannya sangat percaya diri menghadapi aksi-aksi demonstrasi di negaranya. Ia menganggap kaum demonstran itu hanya sekadar ngrecokin pemerintahannya. Ia yakin Turki tidak akan seperti negara-negara Arab yang baru saja dihantam angin revolusi rakyat. Kondisi Turki lebih baik dalam banyak hal, terutama yang menyangkut kesejahteraan rakyat dan demokrasi.
Apalagi, jajak pendapat yang diselenggarakan lembaga riset Turki, Andiyar, beberapa hari lalu memperlihatkan bahwa lebih 50 persen rakyat Turki mendukung kebijakan PM Erdogan. Perinciannya, sebanyak 52,5 persen menjawab "tidak" untuk pertanyaan "Apakah Anda mendukung aksi demo yang diawali di Lapangan Taksim?" Sebanyak 24,3 persen menjawab "ya" (mendukung) dan hanya 7,5 persen yang menyatakan akan terus mendemo pemerintahan Erdogan.
Bahkan, ketika para responden ditanya apakah akan mendukung Partai AKP pimpinan Erdogan apabila pemilu diselenggarakan sekarang, sejumlah 49,6 persen menyatakan mendukung AKP, 23,3 persen mendukung Partai Republik Rakyat, dan 15,9 persen mendukung Partai Pergerakan Nasional. Partai Republik Rakyat merupakan partai oposisi berhaluan sekuler dan yang menggerakkan aksi-aksi demonstrasi dalam beberapa hari terakhir ini. Jajak pendapat diselenggarakan di 21 kota, antara 5 Juni hingga 10 Juni. Jumlah responden 3.643 orang.