Senin 09 Sep 2013 06:30 WIB
Resonansi

Robohnya Pusat Studi Islam Kami di Timur Tengah

Ikhwanul Kiram Mashuri
Foto: Republika/Daan
Ikhwanul Kiram Mashuri

REPUBLIKA.CO.ID,Oleh Ikhwanul Kiram Mashuri

Dalam sebuah diskusi persoalan Mesir di Jakarta beberapa waktu lalu, novelis Habiburrahman El Shirazy mengemukakan kekhawatirannya tentang runtuhnya pusat-pusat peradaban Islam di Timur Tengah. Termasuk di dalamnya kampus-kampus terkemuka di mana banyak mahasiswa Indonesia menuntut ilmu di sana.

"Saya sungguh khawatir dengan apa yang terjadi di Timur Tengah sekarang ini. Bukan hanya soal konflik yang telah memakan korban ribuan jiwa tak berdosa, tapi juga hancurnya pusat-pusat peradaban Islam, terutama beberapa universitas Islam tempat banyak mahasiswa kita menimba ilmu," ujar Habib di depan para ulama dan tokoh Islam peserta diskusi.

Sebelum ngetop sebagai novelis, Habib sempat belajar beberapa tahun di Universitas Al Azhar, Kairo. Ia lulus sarjana jurusan hadis, fakultas ushuluddin. Sejumlah novelnya mengambil setting suasana belajar mahasiswa Indonesia di Kairo, terutama di Universitas Al Azhar.

Berkat dua novelnya yang best seller yang kemudian juga difilmkan-Ayat-ayat Cinta dan Ketika Cinta Bertasbih-jumlah mahasiswa/mahasiswi Indonesia pun meningkat tajam. Kini, ada sekitar 5.000 pelajar Indonesia di Mesir. "Tapi, dengan kondisi Timur Tengah seperti sekarang, saya juga bingung ke mana nanti anak-anak saya kuliahkan agama?" ujar Habib yang kini mempunyai dua anak laki-laki yang masih kecil.

Sebagai alumnus Al Azhar, saya juga merasakan kegalauan yang sama dengan Habib. Kegalauan yang bersumber pada fakta bahwa selama ini sejumlah kampus di Timur Tengah merupakan kiblat yang baik buat memperdalam berbagai disiplin ilmu keislaman. Di Irak, misalnya, ada Universitas Baghdad yang salah seorang alumnusnya pernah menjadi presiden RI, yaitu almarhum KH Abdurrahman Wahid, yang dikenal luas dengan panggilan Gur Dur.

Di Suriah ada Universitas Damaskus. Di sini para mahasiswa selain kuliah di fakultas keagamaan, juga banyak yang mondok di Mujamma' Sheikh Ahmad Kuftaro (Ahmad Kuftaro Center). Di samping tempat belajar agama (pesantren), Mujamma' Kuftaro juga menjadi pusat studi perbandingan mazhab dan kepercayaan (interfaith dialogue) serta pengamalan Tariqat Naqsabandiyah. Yang terakhir ini banyak pengamalnya di Indonesia, terutama di kalangan Nahdliyin.

Beberapa mahasiswa yang lain ada juga yang belajar secara pribadi ke sejumlah ulama Sunni terkenal di Damaskus. Seorang di antaranya adalah Prof Dr Sheikh Wahbah Zuhaili. Bahkan, Sheikh Zuhaili juga memberi 'ijazah' kepada ulama-ulama tertentu di Indonesia. Ijazah yang dimaksud berupa tulisan tangan di kover dalam buku karya sang sheikh yang ditujukan kepada ulama Indonesia.

Intinya, sang ulama Suriah mengizinkan kepada ulama Indonesia yang ditunjuk untuk mengajarkan isi buku tersebut kepada murid-murid di Indonesia. Ada puluhan buku yang telah ditulis Sheikh Zuhaili, utamanya dalam bidang hukum/fikih.

Di Arab Saudi juga banyak universitas yang menjadi tujuan mahasiswa Indonesia. Ada Universitas Ummul Quro di Makkah. Alumnusnya, antara lain, KH Aqil Siroj (ketua umum PBNU) dan KH Said Aqil Munawar (mantan menteri agama).

Ada Universitas Islam Madinah. Di antara lulusannya, KH Maftuh Basyuni (mantan menteri agama), Dr Hidayat Nurwahid (ketua Fraksi PKS di DPR dan mantan ketua MPR), KH Bachtiar Nasir (Sekjen MIUMI), Dr Salim Segaf Aljufri (Mensos), dan KH Hasan Sahal (pengasuh Pondok Gontor). Lalu, di Riyadh ada Universitas Islam Muhammad bin Saud yang lulusannya, antara lain, KH Ali Musthafa Ya'qub, imam akbar Masjid Istiqlal yang dikenal juga sebagai ahli hadis.

Nama-nama tersebut sekadar menyebut sebagai contoh. Tentu, masih banyak alumni dari universitas-universitas di Arab Saudi yang kini menjadi tokoh masyarakat di pusat maupun daerah, formal ataupun informal. Apalagi bila ditambah dengan ulama-ulama dan kiai terdahulu yang pada umumnya pernah belajar agama (mukim) di Makkah dan Madinah selama puluhan tahun.

Berikutnya, yang menjadi tujuan paling banyak para mahasiswa Indonesia untuk menuntut ilmu adalah Mesir, terutama Universitas Al Azhar. Kini, diperkirakan ada sekitar 5.000 pelajar Indonesia di Mesir. Alumninya yang sudah terjun di masyarakat ditaksir lebih dari 50 ribu orang. Mereka tersebar di berbagai daerah.

Mereka, antara lain, sekadar menyebut contoh, Prof Dr Quraish Shihab (mantan menteri agama), Dr KH Tuan Guru Muhammad Zainul Majdi (gubernur NTB), KH Syukri Zarkasyi (pimpinan Pondok Gontor), KH Athian Ali Dai (ketua Forum Ulama Umat Indonesia/FUUI), KH Surahman Hidayat (ketua Dewan Syariah PKS/Ketua Badan Kerja Sama Antarparlemen DPR), dan KH Azman Ismail (imam besar Masjid Raya Baiturrahman, Banda Aceh).

Tentu, ada juga pelajar Indonesia yang menuntut ilmu di negara lain di Timur Tengah, seperti di Yordania, Maroko, Aljazair, Tunisia, Sudan, Qatar, dan Kuwait. Namun, jumlah mereka sedikit dan pengaruh alumninya masih terbatas.

Itulah peta pusat-pusat studi Islam di Timur Tengah yang selama ini menjadi kiblat menuntut ilmu keislaman para mahasiswa/mahasiswi Indonesia. Mereka, seperti dikatakan dalam Alquran, adalah yang pergi untuk memperdalam pengetahuan agama dan memberi peringatan kepada kaumnya apabila telah kembali (QS 9:122).

Suasana kehidupan umat beragama di negeri kita yang sangat harmonis dan penuh kedamaian tidak bisa dimungkiri sedikit banyak atas pengaruh para alumni Timur Tengah yang kini telah terjun di tengah masyarakat. Selain menekuni profesi masing-masing, mereka juga aktif berdakwah dan mengabdi kepada umat.

Namun, seperti dikhawatirkan Habib, konflik di negara-negara Arab sedikit atau banyak pasti berpengaruh pada pusat-pusat peradaban Islam, utamanya universitas-universitas tempat menuntut ilmu mahasiswa Indonesia. Bila konflik berkepanjangan dan kondisinya terus memburuk, saya sungguh khawatir akan terjadi, meminjam judul cerpen AA Navis, “Robohnya Pusat Studi Islam Kami di Timur Tengah”. Cerpen AA Navis berjudul “Robohnya Surau Kami”.

Tentu, bukan dalam arti harfiah roboh yang berarti ambruk. Namun, lebih bermakna bahwa kampus-kampus di Timur Tengah tidak lagi nyaman sebagai tempat belajar Islam yang rahmatan lil'alamin. Wallahu a'lam bisshawab.

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement