REPUBLIKA.CO.ID,Oleh Ahmad Syafii Maarif
Penulis Jamal D Rahman dalam kritik sastra di bawah judul "Raja Ali Haji: Paduka Kakanda Dibawa Bertahta” tertanggal 28 Januari 2010 telah memberi ulasan komprehensif tentang peran sentral pujangga Riau-Bugis ini dalam pembaruan kebudayaan Melayu, khususnya puisi, yang pada abad ke-19 itu seperti mengalami lesu darah. Kepercayaan Raja Ali Haji (RAH) kepada kekuatan kata melebihi pedang terbaca, misalnya, dalam Bustanul Katibin: “Beberapa ribu dan laksa pedang yang sudah terhunus, maka dengan segores qalam (pena) jadi tersarung.”
Bukankah Napolean Bonaparte lebih takut kepada pena tinimbang meriam? Bukankah pula sastrawan pemenang hadiah Nobel Rusia sangat ditakuti oleh rezim komunis Uni Soviet sebelum Mikhail Gorbachev memberikan “kata putus” dalam bentuk “perestroika” (penataan kembali) dan “glasnost” (keterbukaan) yang kemudian menyebabkan hancurnya sistem politik antikemanusiaan itu?
Ada yang unik dalam karier RAH. Sekalipun dikenal sebagai seorang antikolonialisme, RAH punya hubungan khusus dengan Hermann von de Wall, asisten residen Belanda di Tanjung Pinang. Mengapa? Karena De Wall punya minat kuat pada kebudayaan Melayu. Maka bersama De Wall, RAH menyusun Kitab Pengetahuan Bahasa, semacam ensiklopedia Melayu yang tidak sampai rampung ditulis.
Demikian eratnya persahabatan keduanya, sampai-sampai masalah pribadi diceritakan kepada De Wall, seperti penyakit yang diderita, lemah syahwat, dan lain-lain. Karena RAH punya hobi berburu burung, De Wall telah menghadiahkan kepadanya sebuah bedil untuk keperluan itu. Ternyata, hubungan antarmanusia tidak bisa hanya dibaca melalui kaca mata hitam putih. Ada dimensi-dimensi lain yang terlibat di dalamnya.
Hubungan RAH dan Universitas Maritim RAH (UMRAH); dengan berdirinya sebuah Universitas Maritim dengan menyandang nama besar RAH, kita berharap agar dalam perjalanan waktu yang tidak terlalu lama, di lingkungan kampus ini akan diciptakan pula sebuah lembaga studi kebudayaan Melayu. Dalam lembaga ini, karya-karya RAH dan karya para penulis Melayu lainnya, baik yang berasal dari Indonesia maupun Malaysia dan Brunei, dikaji secara mendalam.
Masalah dana bisa saja dirundingkan antara tiga bangsa serumpun itu. Untuk mengawali, saya punya saran agar Prof Dr Abdul Hadi WM, asli Madura tetapi pakar dalam kultur Melayu, diminta untuk turut merancang proyek kultural yang strategis ini.
Dalam kondisi sekarang, UMRAH baru punya lima fakultas dengan sembilan program studi. Fakultas Ekonomi dengan Program Studi Akuntansi; Fakultas Teknik dengan Program Studi Elektro dan Teknik Informatika; Fakultas Fisip dengan Program Studi Ilmu Pemerintahan dan Ilmu Administrasi Negara; Fakultas Kelautan dan Perikanan dengan Program Studi Ilmu Kelautan dan Manajemen Sumber Daya Perairan; Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan dengan Program Studi Pendidikan Bahasa Indonesia. Dengan menciptakan sebuah lembaga kemelayuan, maka UMRAH akan punya corak khusus bagi Riau Kepulauan.
Peran Riau Kepulauan ini untuk perkembangan bahasa Melayu dan bahasa Indonesia sungguh dahsyat. Dari pulau-pulau kecil inilah dulunya asal-usul bahasa Malaysia, bahasa Brunei, dan bahasa Indonesia, yang kini dipercakapkan oleh sekitar 300 juta umat manusia di belahan bumi Asia Tenggara. Tanpa punya sebuah pusat studi kemelayuan, UMRAH terasa bak gulai kurang garam dan arwah RAH pasti berontak karena kerja kerasnya untuk kemajuan kultur Melayu kurang dihargai justru di Riau Kepulauan. Diharapkan agar saran ini terbaca oleh kalangan yang luas, termasuk tokoh Bugis di atas (di tulisan sebelumnya--Red) yang saya lupa namanya.