REPUBLIKA.CO.ID,Oleh Asma Nadia
Pemerintah DKI Jakarta kabarnya berencana memberlakukan 'jam malam' atau 'jam wajib belajar' untuk pelajar. Secara umum konsepnya adalah setelah pukul 18.30 pelajar tidak dibolehkan keluyuran.
Jika ini diterapkan, aparat bisa melakukan razia malam. Kalau ada pelajar yang setelah pukul 18.30 masih berada di luar, risikonya berhadapan dengan peraturan daerah yang konsep pelaksanaannya saat ini (mungkin) sedang disiapkan.
Pihak yang mendukung kebijakan jam malam beralasan. Dengan demikian, pelajar akan punya banyak waktu bersama keluarga, lebih terkontrol aktivitasnya, dan dapat mengisi waktu dengan belajar di rumah. Pun, angka kriminalitas yang dilakukan atau menimpa anak-anak yang sedang menjalani aktivitas malam hari bisa diminimalisasi.
Kelihatannya baik? Belum tentu.
Pertama, hidup anak-anak bukan hanya untuk sekolah. Begitu banyak minat bagi masa depan yang tidak terwakili oleh pelajaran atau kegiatan di sekolah. Padahal, selama minat tersebut bernilai positif, anak-anak berhak untuk mendalami, termasuk di luar jam sekolah.
Realitasnya saat ini, diakui atau tidak, banyak hal penting dalam hidup yang tidak didapat dari sekolah, sebaliknya banyak juga hal tidak penting yang harus dipelajari anak-anak di sekolah. Adanya penghapusan mata pelajaran tertentu membuktikan bahwa kita masih berbenah dan menunjukkan adanya hal 'tidak penting' dalam kurikulum.
Jika demikian, tentu tidak adil memaksa anak hanya hidup untuk sekolah. Secara pribadi saya keberatan anak-anak belajar di sekolah sampai pukul tiga sore setiap hari, juga keberatan dengan banyaknya pekerjaan rumah (PR) yang diberikan sehingga pelajar kurang memiliki waktu untuk mengembangkan minat terhadap hal lain.
Jam malam mungkin bisa menghambat pelajar yang membuang waktu atau menekan angka kriminalitas. Namun, jam malam juga akan mengekang para pelajar yang mengerjakan kegiatan ekstrakurikuler hingga larut atau yang harus berlatih intensif untuk pertandingan olahraga. Selain juga akan menghambat anak berprestasi yang membutuhkan kegiatan hingga malam di luar rumah.
Konon kebijakan ini muncul, salah satunya karena peristiwa tabrakan maut yang disebabkan oleh anak berusia 13 tahun (putra seorang musisi terkenal) yang mengakibatkan enam orang tewas dan beberapa orang menderita luka serius. Peristiwa ini sangat memilukan dan menjadi pembelajaran semua pihak, tapi siang atau malam, tetap berbahaya membiarkan anak di bawah usia menyetir sendiri.
Untuk ini, penegakan hukum yang tegas harus diberlakukan. Bisa jadi diperlukan pasal tambahan yang melibatkan tanggung jawab orang tua jika anak berkendara, baik motor maupun mobil, tanpa surat izin mengemudi (SIM).
Bagaimana dengan pelajar yang menghabiskan waktu di warnet hingga malam hari? Apalagi banyak anak menggunakan warnet sebagai ajang penjelajahan pornografi. Ingat, Indonesia adalah penjelajah pornografi terbesar di dunia maya.
Untuk mengatasinya, kita bisa belajar dari Australia yang menerapkan semacam aturan setiap warnet harus menyusun layar monitor menghadap ke tengah dan pengguna warnet menghadap ke dinding. Jadi, ada kontrol sosial sebab mereka yang menggunakan internet untuk pornografi akan terlihat pengunjung lain.
Jam malam bukan solusi, bahkan bisa mengekang pelajar yang tidak punya komputer, tapi harus mengerjakan tugas sampai malam di warnet.
Sementara, bagi pelajar yang suka nongkrong di kafe hingga larut, menghabiskan malam dengan berhura-hura hingga menjelang dini hari? Tantangannya adalah membuat peraturan dengan sanksi ketat memastikan mereka tidak bersentuhan dengan barang-barang yang menjadi konsumsi orang dewasa atau bahkan terlarang.
Dengan kata lain, jalan keluarnya bukan membatasi seluruh aktivitas anak-anak dengan ikatan waktu. Sebab, jika itu dilakukan, sama saja dengan mencari tikus, tapi membakar semua isi lumbung. Di sisi lain, kurikulum pendidikan juga harus diformulasikan agar bisa menghasilkan anak-anak berpikiran matang yang memiliki visi jelas akan masa depan.
Buat saya dan mungkin banyak orang, malam adalah momen bersama keluarga. Kadang di rumah, kadang dimanfaatkan untuk menguatkan kebersamaan dengan ananda. Sekadar ke toko buku, membeli kebutuhan bulanan keluarga bersama ke mal atau bioskop sebagai pelepas penat sekaligus pembelajaran anak-anak tentang kepenulisan, mengingat kedua ananda saya memiliki beberapa buku yang telah diterbitkan.
Semoga Pemerintah DKI punya solusi lebih tepat terkait jam malam sehingga apa yang diinginkan tercapai tanpa mengorbankan hak pelajar mengembangkan minat dan bakat mereka di luar sekolah. Juga agar banyak orang tua yang bekerja tidak khawatir kehilangan hak untuk berjalan bersama anak-anak ke luar rumah di malam hari.