Kamis 24 Apr 2014 06:00 WIB

Balkanisasi dan Islam (1)

Azyumardi Azra
Foto: Republika/Daan
Azyumardi Azra

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Azyumardi Azra

Ingat istilah ‘Balkanisasi’? Istilah ini menjadi momok di banyak kawasan dan negara dunia, termasuk Indonesia—boleh jadi sampai sekarang. Ketika mengalami proses transisi dari otoritarianisme Soeharto, khususnya antara 1998-1999, Indonesia sempat diramalkan kalangan pengamat Barat sebagai juga bakal mengalami ‘Balkanisasi’. Indonesia ternyata tidak hanya selamat dari bahaya Balkanisasi, bahkan berhasil menjalani transisi relatif lancar menuju demokrasi.

Istilah Balkanisasi terkait dengan terceraiberainya kawasan Semenanjung Balkan—Eropa Timur, khususnya Yugoslavia pada awal 1990an. Dalam konteks itu, Balkanisasi muncul dari gelombang demokratisasi yang tidak hanya mengakhiri kekuasaan rejim komunisme, tetapi sekaligus mengobarkan semangat nasionalisme yang tumpang tindih atau bahkan bersatu dengan etnisitas dan agama.

Balkanisasi kemudian menjadi istilah umum yang sering digunakan untuk menyebut kebangkitan ‘etno-nasionalisme’ yang mencabik negara yang terdiri dari banyak kelompok etnis dan agama. Sebagian pakar yang menyebut fenomena ini sebagai ‘etno-tribalisme’ bernyala-nyala dalam bentuk paling kasar, paduan antara etnisitas dengan sektarianisme antaragama membakar degan sangat cepat.

Hasilnya adalah munculnya tujuh negara di bekas wilayah Yugoslavia: Serbia, Kroasia, Bosnia dan-Hercegovina, Slovenia, Macedonia, Montenegro, dan Kosovo. Perang etnis-agama sejak 1991-1995 di Semenanjung Balkan berhasil diakhiri melalui Persetujuan Perdamaian Dayton (Ohio, AS) pada 21 November 1995. Tetapi perang beralih ke wilayah Kosovo sepanjang 1998-1999; dan pasukan Serbia hanya menyerah setelah militer NATO membom ibukota Beograd, yang memberikan jalan bagi kemerdekaan Kosovo dari Serbia pada 17 Februari 2008.

Hampir 25 tahun setelah eksplosi ‘etno-tribalisme’, sisa-sisa konflik dan perang masih terlihat di banyak wilayah Semenanjung Balkan. Dalam perjalanan darat bersama delegasi Dialog Antaragama Kementerian Agama dari Zagreb, Rijeka, dan Split (semua di Kroasia) menuju Sarajevo, Bosnia-Herzegovina antara 11-17 April 2014 saya menyaksikan kepahitan dan kepedihan. Hal ini terlihat jelas dalam masih banyaknya bangunan kosong yang ditinggalkan penghuninya atau setengah rubuh atau menampakkan banyak lubang bekas peluru. Semua ini adalah saksi bisu dari kebrutalan konflik dan perang.

Tetapi konflik dan perang tidak hanya menyisakan kepiluan lingkungan hidup. Kepahitan juga masih melekat dalam batin dan psyche banyak orang Kroasia di kota Zagreb, Rijeka, atau Split. Kepedihan yang sama juga masih kental dalam masyarakat Bosnia-Hercegovina yang pernah menghadang maut tidak hanya di Sbrenika—yang kemudian menjadi monumen kematian—tetapi juga di Sarajevo, ibukota Bosnia-Hercegovina.

Banyak orang etnis Kroasia yang umumnya pemeluk Katolik Roma dan etnis Bosnia-Hercegovina, penganut Islam menjadi korban keganasan militer etnis Serbia—dari kelompok etnis beragama (Gereja) Ortodoks. Tumbang tindih identitas etnis-agama, di antara ketiga kelompok etno-relijio ini menghasilkan ‘ethnic cleansing’—tepatnya ethno-religious cleansing yang dilakukan pemerintah dan militer Serbia berikutan pecahnya Yugolavia ketika Kroasia mendeklarasikan kemerdekaan pada 25 Juni 1991 disusul langkah yang sama oleh Bosnia-Hercegovina pada 1 Maret 1992.

Etnis Serbia yang merupakan kelompok terbesar di seluruh bekas wilayah Yugoslavia segera ingin menguasai kawasan. Pemerintah Serbian di bawah pimpinan Presiden Slobodan Milosevij merespons pernyataan kemerdekaan itu dengan melancarkan perang terhadap Slovenia (1991—menyatakan kemerdekaan juga pada 25 Juni 1991), Kroasia (1991-1995) dan Bosnia-Hercegovina (1991-1995). Militer Serbia juga menyerbu Kosovo (1998-1999) yang berpenduduk mayoritas Muslim (1998-1999).

Perang etno-relijio di Semenanjung Balkan mengakibatkan kerugian sangat besar; sekitar 130 ribu tewas, ratusan ribu pengungsi yang sebagian besar sampai sekarang belum kembali ke kampung halaman masing-masing. Selain itu lebih 200 miliar dolar kerusakan infra-struktur dan bangunan. Perang juga mengakibatkan menciutnya ekonomi di Semenanjung Balkan antara 30 sampai 50 persen.

Tak kurang pentingnya, 161 orang menjadi tersangka dan terpidana penjahat perang; sekitar 132 orang telah disidangkan di Mahkamah Kriminal Internasional di Den Haag. Mereka terdiri dari 94 orang Serbia, 29 orang Kroasia, masing-masing sembilan warga Albania dan Bosnia, dan dua orang masing dari Macedonia dan Montenegro. Tokoh terpenting yang Slobodan Milosevij, mantan Presiden Yugoslavia dan Serbia, Rodovan Karadzic, mantan Presiden Republik Spraska—wilayah yang kini menjadi anggota Federasi Bosnia-Hercegovina.

Perang Balkan adalah adalah tragedi kemanusiaan, yang terus membayangi negara-negara Semenanjung Balkan hari ini dan ke depan. Pada saat yang sama, negara-negara yang muncul pasca-Perang Balkan sedikit banyak telah mengubah format relijio-politik Eropa secara keseluruhan.

Dalam konteks itu, kini terdapat dua negara yang dapat diasosiasikan dengan Islam. Pertama, Bosnia-Hercegovia berpenduduk sekitar 4,6 juta jiwa dengan 40 persen Muslim, 31 persen Ortodoks, dan 15 persen Katolik. Lalu, Kosovo dengan penduduk sekitar 1.740.000 mencakup 95,5 persen Muslim, dan 3,5 Kristiani (Ortodoks dan Katolik).

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement