Jumat 25 Apr 2014 06:00 WIB

NPWP untuk Pemilu Terbrutal

Nasihin Masha
Foto: Republika/Daan
Nasihin Masha

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Nasihin Masha

George Bernard Shaw adalah seorang satiris. Ia penulis esai dan juga novel. Ia aktivis politik dan juga dramawan. Ia meraih hadiah nobel sastra sekaligus meraih Piala Oscar untuk sebuah skenarionya. Pria berdarah Irlandia yang lahir akhir abad ke-19 dan meninggal tahun 1950 ini adalah pendiri perguruan tinggi yang sangat bergengsi: London School of Economics. Salah satu satirnya sangat pas menggambarkan pemilu legislatif 2014 ini. Pemilu yang dinilai sangat brutal.

Kata Shaw, “Demokrasi adalah suatu bentuk pemerintahan yang dipergilirkan melalui pemilu, di mana orang banyak yang tak kompeten menunjuk sedikit orang yang korup.”

Untuk saat ini, gambaran itu lebih banyak pasnya dibandingkan melesetnya. Pemilu legislatif kali ini mengenalkan pola baru. Pada pemilu sebelumnya memang sudah dikenalkan aturan peraih suara terbanyak yang bakal lolos. Namun ada syaratnya, yaitu jika mampu melewati bilangan pembagi. Jika tak sampai ke batas itu maka yang lolos tetap yang ada di nomor urut atas. Kali ini, siapapun yang meraih suara terbanyak, asal jumlah raihan suara partai di daerah pemilihan (dapil) itu sudah melewati bilangan pembagi, maka dia yang akan meraih kursi. Bilangan pembagi adalah jumlah suara untuk satu kursi di suatu dapil.

Pola ini banyak memberikan warna pada pemilu kali ini. Warna lainnya adalah makin brutalnya money politics. Bukan hanya antara pemilih dan calon tapi juga antara calon dengan penyelenggara pemilu, saksi, lurah, camat, dan juga kepala daerah. Semua dilakukan secara terang-terangan. Formulir C1 bisa berseliweran bebas. Jumlah suara yang diraih caleg bisa jauh berbeda dengan coblosan di kertas suara. Semua ditentukan di kertas formulir. Ini hanya soal kesepakatan antara saksi dan penyelenggara pemilu. Atau bisa saja ada saksi yang tak awas sehingga tak mengetahui pergeseran suara. Pada pemilu 2009, hal ini hanya dilakukan sedikit orang. Ada orang yang tak kampanye tapi tiba-tiba meraih suara tertinggi. Namun saat itu belum massif. Ini karena banyak caleg yang belum paham modus atau karena pemegang uang banyak masih sedikit orang. Kini, hal itu sudah menjadi hal lumrah.

Warna lainnya adalah ingatan pemilih yang pendek. Ada calon yang sudah lama bekerja merawat pemilih. Ia menyantuni secara rutin, membantu pembuatan jalan dan jembatan, juga membantu pembangunan rumah ibadah. Namun ibarat kemarau setahun hilang oleh hujan sehari. Di saat akhir, ada orang baru datang dan langsung membagikan uang ke pemilih dengan jumlah dua kali lipatnya. Biasanya cukup sekali, dan diakhiri menjelang pemilihan. Calon yang merawat lama dan dengan total biaya yang jauh lebih besar hanya gigit jari. Karena itu muncul seloroh NPWP, bukan nomor pokok wajib pajak tapi nomer piro wani piro (nomor berapa, berani [bayar] berapa)

Tak heran jika ada sejumlah nama besar yang diperkirakan akan kalah. Padahal mereka dikenal sebagai anggota dewan yang baik, bukan hanya pemikiran dan moralnya tapi juga kinerjanya dalam memperjuangkan aspirasi rakyat. Inilah pemilu yang brutal dan kejam.

Pemilu kali ini juga memberikan kejutan lain. Orang yang memiliki kemiripan nama dengan tokoh terkenal bisa terpilih. Padahal calon-calon seperti ini tak cukup memiliki uang. Ternyata nama benar-benar memberikan keberkahannya tersendiri. Ada pula calon yang hanya mengeluarkan sedikit uang namun bisa lolos semata-mata karena sudah memiliki basis sosial sebelumnya. Padahal semua itu sama sekali tak terkait dengan performa tertentu.

Dalam pemilu, ada hal yang lebih penting. Theodore Roosevelt, mantan presiden AS, mengingatkan, “Suara itu seperti senapan: manfaatnya tergantung pada karakter penggunanya.” Ada hal yang lebih mendasar dibandingkan soal pengaturan dan teknis pemilu lainnya, yakni karakter sebuah bangsa. Bangsa yang memiliki karakter yang lembek akan membayar kehidupannya dengan biaya yang sangat mahal. Pemilu 1999 hanya menghabiskan Rp 1,3 triliun. Pemilu kali ini diperkirakan akan menghabiskan Rp 16 triliun. Membengkaknya pengeluaran juga diderita para caleg. Memang ada caleg yang hanya menghabiskan biaya cuma jutaan, tapi tak sedikit yang menghabiskan dana hingga Rp 3 miliar sampai Rp 8 miliar. Namun dana yang besar itu menjadi sia-sia jika hanya menghasilkan anggota dewan yang korup, anggota dewan yang tak memiliki karakter.

Publik sudah muak dengan politisi. Keputusasaan publik terhadap politisi dibayar tuntas oleh pemilih maupun penyelenggara pemilu. Seperti kata Imelda Marcos, istri mantan presiden Filipina Ferdinand Marcos, “Menang atau kalah, setelah pemilu kita pergi belanja.” Para pemilih bisa belanja setelah mencoblos, para caleg tetap kaya setelah menumpuk uang korupsi. Brutalitas pemilu merupakan akibat brutalitas politisi dalam mengemban amanah.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement