Kamis 03 Jul 2014 06:00 WIB

Islam dan Demokrasi di Indonesia (I)

Azyumardi Azra
Foto: Republika/Daan
Azyumardi Azra

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Azyumardi Azra

Meski Indonesia telah menerapkan demokrasi multipartai yang dapat dikatakan liberal selama 15 tahun terakhir-sejak 1999 masa pascaotoritarianisme Presiden Soeharto-masih banyak kalangan, khususnya luar negeri, yang belum yakin dengan masa depan demokrasi di negeri ini.

Masih bertahan semacam skeptisisme di antara mereka, khususnya menyangkut hubungan antara Islam dan demokrasi di negara yang berpenduduk mayoritas Muslim seperti Indonesia. Dalam konteks itu, tidak mengherankan jika pembicaraan tentang Indonesia, Islam, dan demokrasi menjelang dan pascapilpres 2014 masih menjadi agenda percakapan dalam berbagai konferensi dan seminar, khususnya di luar negeri.

Sebagai contoh adalah 'Round Table Seminar' tentang subjek tersebut yang diselenggarakan Indonesia-Nederland Society (INS) bekerja sama dengan KBRI untuk Negeri Belanda di Den Haag pada 26 Juni lalu di Gedung Senat Belanda.

Presiden Senat Belanda (Mrs) Ankie Broekers-Knol dalam pembukaan Seminar Meja Bundar menyatakan, mengingat hubungan historis Belanda-Indonesia yang panjang, tidak mengherankan jika ada kalangan masyarakat Belanda yang ingin mengetahui perkembangan terakhir demokrasi di Indonesia. Meski di negeri Belanda sendiri juga terdapat warga Indonesia, tidak banyak informasi tentang dinamika demokrasi Indonesia, khususnya Pemilu 2014.

Apalagi, banyak warga Belanda yang tidak yakin tentang kompatibilitas Islam dengan demokrasi di Indonesia. Melihat perkembangan beberapa negara Arab pasca-Arab Spring, skeptisisme tentang kompatibilitas Islam dalam masyarakat Belanda umumnya tidak bisa lain hanyalah kian menguat.

Pembicaraan tentang Islam dan demokrasi, khususnya dalam konteks Indonesia, menghadirkan dua pembicara, yaitu Dr Nikolaos van Dam dan penulis “Resonansi” ini. Van Dam adalah mantan dubes Belanda di Indonesia, Jerman, Turki, Mesir, dan Irak (1988-2010).

Selain itu, Van Dam juga pernah bertugas sebagai diplomat di Libya, Lebanon, Yordania, wilayah pendudukan Palestina, Siprus, Azerbaijan, dan Timor Leste. Sarjana-cum-diplomat dengan disertasi tentang sejarah dan politik Suriah yang sampai 2011 lalu telah dicetak ulang sampai empat kali.

Agaknya karena latar belakang keilmuan dan pengalaman sebagai diplomat Belanda di banyak wilayah kaum Muslimin, Van Dam memiliki pandangan lebih objektif dan empati pada Islam dan kaum Muslim. Karena itulah, ia pernah mendapat kritik sengit dari Geert Wilders, figur politik ultrakanan anti-Islam dan Muslim yang menganggapnya terlalu berpihak kepada Islam dan kaum Muslimin.

Memulai presentasinya, Nikolaos van Dam mengajukan pertanyaan hipotetis kepada dirinya sendiri dan audiens, apa yang berkecamuk dalam pikiran kita masyarakat Eropa jika ada ormas besar Islam Indonesia seperti Muhammadiyah, misalnya, mengadakan konferensi di Jakarta dengan topik: “Apakah Kristen Kompatibel dengan Demokrasi?” Apakah masyarakat Eropa tidak tercengang jika ada orang atau organisasi Islam Indonesia bertanya dengan mengambil kasus dan pengalaman Eropa? Apakah Kristianitas cocok dengan demokrasi atau tidak?

Dalam pikiran Van Dam, merespons pertanyaan itu, masyarakat Eropa bakal berkata Kristianitas dan demokrasi berjalan beriring sangat baik di Eropa. Karena itu, tidak perlu lagi diskusi akademik guna membuktikannya. Apalagi kalau yang mempersoalkan itu adalah “orang luar” seperti kaum Muslimin Indonesia. “Bahkan, dalam hal ini agaknya kita (masyarakat Eropa) akan berpikir tanpa argumen panjang, demokrasi bertumbuh subur di Eropa terlepas dari apakah demokrasi itu menghasilkan pemerintah sekuler atau diilhami agama,\" tegas Van Dam.

Memperjelas argumennya, Van Dam kembali mengajukan pertanyaan retorik: Apakah demikian kenyataannya dalam sejarah Eropa? Bukankah kita (Eropa) memiliki kediktatoran paling jelek di Eropa-di negara-negara yang pada waktu itu penduduknya adalah mayoritas penganut Kristianitas paling taat? Bukankah masa Hitler di Jerman, Mussolini di Italia, dan Jenderal Franco di Spanyol merupakan bukti nyata bahwa Kristianitas (atau menjadi seorang pemeluk Kristianitas) dan diktatorisme dapat sejalan seiring?

Menurut Nikolaos van Dam, contoh-contoh itu menampakkan bagian-bagian besar penduduk Kristianitas di Eropa secara antusiastik mendukung rezim-rezim diktator yang jelas nondemokratik yang berujung pada tewasnya jutaan orang. “Berdasarkan contoh-contoh pengalaman ini, saya dapat pula menyatakan bahwa Kristianitas dan demokrasi tidak kompatibel. Tapi, saya pasti diolok-olok dengan menyatakan seperti itu karena saya dianggap mengucapkan suatu nonsense, hal tidak masuk akal”.

Tentu saja sekarang ini-setelah melalui berbagai pengalaman tadi-sebagian besar Eropa adalah demokrasi, dan mayoritas terbesarnya tetap pemeluk Kristianitas. Karena itu, menurut Van Dam, orang tidak perlu lagi pergi ke Bible atau teks suci Kristianitas lain untuk membuktikan tesis bahwa Kristianitas dan demokrasi kompatibel.

Dengan logika yang sama, orang juga tidak perlu mengkaji Alquran atau teks Islam lain untuk meyakinkan kita bahwa Islam dan demokrasi dapat seiring sejalan. Kenyataan ini terlihat di negara-negara dengan mayoritas penduduk Muslim seperti Indonesia, Pakistan, Bangladesh, dan Turki. Bahkan, Indonesia adalah negara demokrasi terbesar ketiga setelah India dan AS.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement