REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Azyumardi Azra
Percakapan tentang Islam dan demokrasi di dunia Muslim, khususnya Indonesia, di Gedung Senat Belanda 25 Juni 2014 merupakan kesempatan sangat baik untuk melihat sejarah dan dinamika demokrasi dalam perspektif komparatif. Perspektif ini perlu bukan hanya di antara negara-negara di dunia Muslim, tetapi juga antara negara Muslim tertentu seperti Indonesia dengan kawasan Muslim lain dan sekaligus juga dengan Barat.
Dalam konteks itu terletak signifikansi Nikolaos van Dam, mantan dubes Belanda di Indonesia dan sejumlah negara dan kawasan dunia Muslim lain. Penilaian dan kritik from within, dari orang dalam sendiri, terhadap realitas historis dinamika demokrasi di Eropa lebih bisa masuk akal dan lebih mungkin diterima masyarakat Eropa sendiri daripada, misalnya, diberikan orang luar (from without), seperti penulis Resonansi ini, yang kemudian tidak perlu lagi memberikan penjelasan panjang lebar.
Setelah mengkritik sejarah demokrasi Eropa yang juga diwarnai diktatorisme Hitler, Musolini, dan Jenderal Franco, van Dam mengkritik kecenderungan sikap tidak konsisten masyarakat Kristen Barat ketika sampai ke Islam dan masyarakat Muslim. Menurut dia, banyak contoh negara-negara Barat yang menyeru warga Palestina untuk menjalankan pemilu demokratis. Tetapi, ketika Hamas menang, negara-negara Barat memboikot hasil pemilu tersebut dan menolak berhubungan dengan pemerintahan lokal Hamas karena posisinya yang anti-Israel.
Ia menambahkan, kasus yang hampir sama juga terjadi sebelumnya ketika Front Islamique de Salut (FIS) menang pemilu di Aljazair. Kemenangan FIS ditolak militer yang umumnya didukung Barat. Pihak terakhir ini khawatir jika Hamas atau FIS berkuasa, mereka menyalahgunakan demokrasi untuk memerintah dan memaksakan kekuasaannya secara tidak demokratis.
Bagaimana pengalaman Indonesia? Nikolaos van Dam melihat prasangka Barat bahwa demokrasi dan Islam tidak kompatibel tidak berdasar dalam konteks Indonesia. Orang tak bisa memasukkan semua organisasi dan kelompok berorientasi Islam sebagai tidak cocok dengan demokrasi.
Jelas terdapat sejumlah organisasi dan kelompok Islam berorientasi demokrasi, misalnya, ormas besar Muslim seperti Muhammadiyah dan NU yang mewakili bagian terbesar umat Islam Indonesia. Pada pihak lain ada pula organisasi jauh lebih kecil seperti JI atau HTI yang berorientasi tidak demokratis. Mereka hanya ingin memanfaatkan dan menyalahgunakan sistem demokrasi untuk mencapai tujuan mereka yang tidak demokratis, bahkan mereka menolak politik demokratis dan negara-bangsa.
Dalam konteks Indonesia, berikut adalah poin sangat penting dari Van Dam, yaitu Muhammadiyah dan NU [beserta ormas-ormas semacamnya di seluruh Indonesia] adalah unik. “Mereka unik dalam pengertian bahwa kita tidak dapat menemukan organisasi besar semacam itu di bagian dunia Islam lain manapun. Mereka sekarang ini menjadi kekuatan stabilisasi yang membantu transformasi demokratis lebih lanjut negara-bangsa Indonesia."
Hal spesial lain tentang Indonesia bagi mantan dubes Belanda yang sebagian besar umurnya dihabiskan di berbagai kawasan dunia Muslim ini adalah respek pada kesatuan dalam keragaman. “Fenomena spesial di Indonesia ini tidak saya temukan di negara Arab manapun ... hal ini diabadikan dalam slogan nasional Bhinneka Tunggal Ika."
Lebih jauh, bagi van Dam, fenomena penting lainnya adalah kebiasaan mengucapkan salam (greetings) yang berasal dari berbagai agama berbeda. Berbagai salam itu kemudian disempurnakan dengan ucapan ‘salam sejahtera bagi kita semua’ yang lebih netral dan inklusif tanpa mengecualikan siapa pun.
Nikolaos van Dam mengamati banyak gejala budaya lain khas Indonesia yang membuat kaum Muslim negeri ini berbeda dengan kaum Muslimin lain di manapun. Misalnya, yang cukup khas Indonesia itu pembacaan ayat Alquran oleh perempuan [qari’ah] dalam pembukaan acara resmi dan penting. “Saya tidak melihat fenomena seperti ini di negara Muslim atau Arab manapun. Ini benar-benar tradisi Indonesia yang mencerminkan posisi perempuan dalam masyarakat.\"
Hal khas lain adalah bahwa di negara mayoritas Muslim lain, penggunaan nama Arab Islam sangat populer. Sebaliknya di Indonesia, khususnya di Jawa, lebih umum orang menggunakan nama tradisional Jawa. Karena alasan itu, sering sulit memastikan identitas keagamaan orang yang bersangkutan.
Mengamati berbagai gejala itu, Nikolaos van Dam berkesimpulan, bagian besar Islam Indonesia telah mengadaptasikan diri atau telah menyatu (embedded) ke dalam budaya dan tradisi lokal. Bukan sebaliknya mengadaptasi budaya dan tradisi Semenanjung Arabia.
Akhirnya, untuk membuat cerita panjang menjadi singkat, ujar van Dam, Islam dan demokrasi atau secara simultan menjadi Muslim dan demokrat, sepenuhnya kompatibel di Indonesia. “Dengan mengatakan hal ini, saya harus menambahkan bahwa kelangsungan demokrasi bukanlah sesuatu hal yang taken for granted [sudah selesai, tidak perlu dipersoalkan lagi], baik di Indonesia maupun di negara lain manapun di dunia ini.