Sabtu 26 Jul 2014 21:20 WIB

Pilpres dan Piala Dunia

Asma Nadia
Foto: Republika/Daan
Asma Nadia

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Asma Nadia

Di kantor saya, bisa dibilang perempuan makhluk minoritas. Selain saya, seorang layouter dan mbak Dewi yang selalu sumringah saat menjaga toko di lantai bawah, karyawan lain semua laki-laki.

Dengan kondisi itu, kami yang perempuan tidak bisa menolak ketika para karyawan setiap pekan mengadakan pertandingan futsal, internal mereka. Atau ketika isi toko yang selama ini dominan busana muslimah, mulai disesaki kaus jersey. Bagian lain dari mengakomodir minat karyawan, selama piala dunia yang lalu, obrolan bola menjadi prioritas, bahkan rencana nobar final sudah diagendakan sejak lama.

Setelah menimbang berbagai hal, nobar kami sekeluarga dan pegawai akhirnya disepakati berlangsung di sebuah pusat perbelanjaan.

Supir mengenakan baju Argentina, saya dan anak-anak memakai baju Jerman. Begitu juga pegawai, ada yang mengenakan kostum Argentina dan ada yang memakai memakai kaos Jerman. Karyawan terbagi dua kubu, hampir berimbang.

Sepanjang pertandingan saya dan anak-anak serta beberapa pegawai membela Jerman, sedangkan supir dan pegawai lainnya “mati-matian” memihak Argentina.

Ketika Argentina mencetak goal, barisan pendukung Argentina kontan meloncat kegirangan dan mencemooh. Keceriaan terpancar jelas di wajah mereka, kontras dengan kesedihan yang mewakili wajah kami, para pembela kesebelasan Jerman yang berduka.

Tapi suasana berubah. begitu wasit menyatakan goal Argentina tidak sah karena off side, berbalik saya, anak-anak dan staf pendukung Jerman bersorak dan memanasi pendukung Argentina yang terlalu dini menikmati kebahagiaan.

Sepanjang kurang lebih dua jam kami saling berteriak, mendukung dan kadang meledek satu sama lain. Meski begitu, semua menyadari bahwa perbedaan ini hanya sebentar sekali. Karenanya, selama pertandingan, nuansa berbagi tetap ada. Kacang kulit, dan berbagai snack dari satu bungkus besar beredar dari satu tangan ke tangan lain. Begitupun setelah acara usai, anak-anak meledek supir kami yang kalah karena membela Argentina namun semua pulang bersama-sama, dengan kendaraan yang sama.

Kadang saya berpikir atau lebih tepatnya berharap, kenapa hal serupa tidak terjadi dalam pilpres yang lalu?

Pilihan memang berbeda, masing-masing mendukung yang mereka percaya, tetapi seharusnya hubungan baik tetap terjaga, dengan siapa pun yang memilih posisi berhadapan dalam pemilu pilpres tersebut.

Kenapa masih banyak yang tidak menyadari bahwa pilpres hanyalah proses demokrasi, dan setelah itu bagaimanapun hanya ada satu pemenang. Kesadaran yang jika benar-benar dipahami, akan membuat semua pemilih, selain ingin menang juga siap kalah.

Pilpres seharusnya tidak menjadi alasan suami dan istri yang berbeda pilihan bersitegang berkepanjangan.

Pilpres seyogyanya tidak membuat anak dan orang tua yang berbeda pilihan berdebat keras, hingga menjelma pertengkaran. Kakak dan adik bermusuhan. Teman dan sahabat saling bully di sosial media.

Yang memprihatinkan bagi saya pribadi, olok-olok dan bully berketerusan itu, menghiasi sejumlah timeline figur masyarakat, maupun mereka yang pernah, atau masih berniat berkecimpung dalam dunia politik. Mau tidak mau saya berpikir, kemuliaan macam apa yang bisa diperoleh seseorang dengan membuat lontaran yang menjatuhkan atau merendahkan pihak lain?

Kebersamaan, persahabatan tak harus hilang hanya karena pilihan yang berbeda. Bukankah selama menjalani kehidupan, seringkali cara pandang, keputusan dan sikap kita berbeda, baik antar keluarga maupun dengan teman? Jika selama ini hal tersebut tidak menjadi alasan berpecah, kenapa harus terjadi sekarang?

Padahal perbedaan adalah rahmat, kata Rasulullah. Perbedaan membuat orang tidak mudah lupa diri, terjadi proses saling mengkoreksi dan mengisi. Perbedaan hanya akan menjadi bencana jika tidak disikapi dengan dewasa.

Dalam waktu dekat presiden baru akan memimpin bangsa Indonesia. Suka tidak suka, pilihan kita atau bukan, tetap merupakan fakta yang akan terjadi.

Terima dengan hati lapang. Dekap perbedaan dengan saling menghargai. Saatnya rakyat menatap ke depan, mengisi keseharian dengan produktivitas dan karya, kembali bergandeng tangan, menghilangkan jarak yang sempat terentang. Bersatu dalam tekad membangun Indonesia.

Buat pemimpin terpilih, saatnya membuktikan pada rakyat, baik yang memilihnya ataupun tidak bahwa ia akan berjuang untuk seluruh rakyat Indonesia. Bahwa janji-janji yang diucapkan, semoga bukan sekadar upaya menambah perolehan suara, melainkan benar dari niat tulus dan tekad, memajukan Indonesia.

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement