Senin 15 Sep 2014 06:00 WIB

Laikkah ISIS Dikeroyok 40 Negara?

Ikhwanul Kiram Mashuri
Foto: Republika/Daan
Ikhwanul Kiram Mashuri

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Ikhwanul Kiram Mashuri

ISIS dan bosnya, Abu Bakar al-Baghdadi, bukan hanya nakal. Juga kejam. Dan, kekejamannya telah membuat marah masyarakat internasional. Bayangkan: dua wartawan AS dipenggal lehernya. Suku minoritas Yazidi yang sudah tinggal ribuan tahun di Irak Utara diusir, dibunuh, dan dikejar-kejar. Beberapa perempuannya dijadikan budak seks. Alasannya, karena mereka non-Muslim.

Warga minoritas lain, umat Nasrani, diwajibkan membayar jizyah (pajak) sebagai ongkos perlindungan dan jaminan keamanan. Kalau menolak mereka diusir dari wilayah ISIS.

Sedangkan bagi kelompok lain yang lebih besar seperti Sunni, Syiah, Kurdi, dan lainnya yang menolak bersumpah setia kepada ISIS dan ogah berbaitat kepada sang khalifah, mereka akan dianggap sebagai musuh. Nasib mereka bisa seperti 13 ulama Sunni yang pada 12 Juni lalu dieksekusi mati lantaran alasan tadi.

Pendek kata, sepak terjang ISIS dan al-Baghdadi memang telah membuat warga dunia gusar bin marah. Lalu pertanyaannya, apakah mereka lantas laik dikeroyok oleh sebanyak 40 negara yang tergabung dalam koalisi yang dipimpin AS?

Pada 10 September lalu, Presiden Barack Obama -- dalam pidato yang disiarkan televisi -- berjanji negaranya akan memimpin sebuah koalisi besar untuk memukul balik ISIS. Koalisi ini, menurut keterangan juru bicara Kementerian Luar Negeri AS dua hari sebelumnya, akan melibatkan lebih dari 40 negara -- baik secara langsung maupun dalam bentuk lain.

Sejumlah negara Arab – Mesir, Arab Saudi, Kuwait, Qatar, Uni Emirat Arab, Bahrain, Oman, Lebanon, Yordania, dan Irak – sudah menyatakan ikut dalam koalisi. Juga negara-negara yang tergabung dalam  NATO (Pakta Pertahanan Atlantik Utara). Sedangkan negara-negara lain diperkirakan akan ikut dalam koalisi dalam bentuk lain, misalnya sekadar memberikan pernyataan dukungan.

Gabungan kekuatan militer AS, NATO, dan negara-negara Arab tentu sangat dahsyat. Belum ada negara yang diinvasi oleh koalisi yang dipimpin AS bisa bertahan. Kalau ada perlawanan itu hanya menunggu waktu untuk kemudian akan KO (knock out) alias fight ending atawa menyerah kalah. Lihatlah apa yang terjadi pada Afghanistan Taliban, Irak Saddam Husein, dan Libia Muammar Qadafi.

Sementara itu, yang dihadapi koalisi besar itu adalah Islamic State of Irak and Syria, yang baru dideklarasikan Juni lalu. Wilayah ISIS  hasil mengcaplok daerah-daerah di dua negara, Irak dan Suriah. Sebagai negara baru, kekuatan militer ISIS  tentu tak sebanding dengan koalisi. Bahkan bila dibandingkan dengan jumlah tentara satu negara saja, misalnya Mesir  468.500 personil atau Arab Saudi 233.500 personel. 

Apalagi bila dibandingkan dengan kekuatan militer AS yang berjumlah 2.580.255 personel.  Jumlah ini adalah tentara aktif, belum termasuk tentara cadangan dan paramiliter.

Badan Inteligen AS, CIA, memperkirakan ISIS hanya mempunyai kekuatan antara 20 ribu hingga 31.500 milisi. Menurut juru bicara CIA, Ryan Trapani, perkiraan mengenai jumlah kekuatan ISIS dihimpun dari data laporan inteligen dari Mei hingga Agustus 2014. Sebelumnya, kekuatan ISIS diperkirakan hanya 10 ribu hingga 15 ribu personel.

Peningkatan ini lantaran perekrutan besar-besaran sejak Juni lalu,  menyusul kesuksesan ISIS di medan pertempuran, deklarasi kekhalifahan, dan intelijen atau propaganda. Dari jumlah 20 ribu-31.500 milisi, menurut Trapani, sebanyak 15 ribu orang di antara mereka merupakan orang dari luar Irak dan Suriah, termasuk 2.000 orang dari negara-negara Barat.

Meskipun jumlah milisi ISIS sudah bertambah, namun tetap kecil dibandingkan dengan kekuatan koalisi. Bahkan seandainya setiap negara yang tergabung dengan koalisi hanya mengerahkan sebagian kecil personel militernya. Namun, bila dijumlah akan tetap besar. Apalagi pasukan koalisi didukung dengan persenjataan yang pasti lebih modern.

Saya sepakat dengan pengamat Timur Tengah, Abdurrahman al-Rasyid, seperti dimuat di media al-Sharq al-Awsat bahwa untuk menghabisi ISIS hanya cukup dengan mengirimkan pasukan khusus yang terlatih dari beberapa negara berkerja sama dengan militer setempat. Bisa dengan pasukan Irak atau pasukan oposisi Suriah. Apalagi bila serbuan  darat ini dibantu dengan serangan udara yang mematikan. Hasilnya bisa dipastikan cespleng untuk mempereteli kekuatan para pengikut Abu Bakar al-Baghdadi.

Karena itu, kekuatan keroyokan besar koalisi ini semustinya tidak hanya digunakan untuk menghabisi ISIS, tapi juga kelompok-kelompok teroris lain yang kini tumbuh subur di berbagai penjuru dunia. ISIS hanya salah satunya. Kelompok radikal lain masih lebih banyak, yang bila dibiarkan berpotensi membesar seperti ISIS. Dari Jabhatu an-Nasroh dan Ahroru as-Syam di Suriah, Bako Haram di Mali, Anshoru as-Syari’ah di Libia, al-Qaida dan al-Hautsiyun di Yaman, hingga kelompok Abu Sayyaf di Filipina dan lainnya.

Kelompok-kelompok radikal -- yang menggunakan kekerasan untuk mencapai tujuan -- di mana saja berada, seperti halnya ISIS, telah membuat masyarakat internasional terteror. Dengan kata lain, terorisme adalah masalah global.   Untuk melumpuhkan eksistensi mereka, tidak bisa lagi masing-masing negara bekerja sendiri-sendiri. Harus ada kerja sama internasional.

Namun, koalisi yang sekarang tidak boleh seperti di masa lalu. Koalisi kini dan di masa mendatang harus mencakup kerja sama di berbagai bidang. Tidak hanya dengan pengerahan pasukan dan bantuan militer atau inteligen, tapi juga harus mengepungnya dalam bentuk lain. Misalnya dalam bentuk undang-undang yang memungkinkan pencegahan aliran dana kepada kelompok-kelompok radikal.

Yang juga harus diingat, radikalisme adalah sebuah ideologi. Ia tidak bisa hanya ditumpas dengan kekuatan militer. Sebutlah al-Qaida misalnya.  Lebih dari sepuluh tahun lalu mungkin kita hanya tahu satu kelompok radikal yang didirikan dan dipimpin oleh Usamah bin Ladin itu.

Ketika al-Qaida dihantam oleh kekuatan pasukan  Koalisi yang dipimpin AS di Afghanistan, organisasi berhaluan garis keras itu justeru beranak-pihak dengan nama macam-macam. ISIS hanya salah satunya. Ia sesungguhnya sama dengan al-Qaida dengan bentuk dan nama lain.   

Sekali lagi, Negara Islam di Irak dan Suriah itu mungkin akan mudah ditumpas oleh kekuatan koalisi. Namun, pertanyaannya kemudian, bagaimana bila ada kelompok radikal lain, sebut al-Hautsiyun di Yaman atau Anshoru as-Syariah di Libia melakukan hal yang sama atau lebih kejam daripada ISIS? Apakah setiap muncul kelompok radikal yang kemudian membesar dan mengancam keamanan dunia lalu dibentuk lagi yang namanya koalisi?

Karena itu, akan lebih baik bila koalisi yang sekarang dibentuk adalah untuk memerangi semua kelompok garis keras yang mengancam keamanan dunia. Solusi militer hanya salah satunya. Yang tidak kalah penting adalah bagaimana mencegah ideologi radikal berkembang-biak di masyarakat. Dan, ini adalah tugas para ulama dan tokoh agama. Para ulama dari berbagai negara juga perlu membentuk koalisi untuk mencegal ideologi radikal menjalar di masyarakat.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement