REPUBLIKA.CO.ID Oleh: Ikhwanul Kiram Mashuri
Nama ISIS (Islamic State of Iraq and Syria) menjadi terkenal sejak didekarasikan pada 29 Juni lalu. Dalam bahasa Arab, mereka menyebut negara itu dengan Daulah Islamiyah fi al-Irak wa as-Suriyah/as-Syam. Namun, sebutan ISIS lebih populer bagi masyarakat internasional lantaran pengaruh media Barat, terutama Amerika Serikat (AS).
Para politisi dan media di AS pada awalnya kebingungan menyebut nama negara yang dipimpin Abu Bakar al-Baghdadi itu. Yakni, apakah disebut ISIS (Islamic State of Iraq and Syria), ISIL (Islamic State of Iraq and Levant) atawa cukup IS (Islamic State). Presiden Barack Obama dalam beberapa pidatonya terkadang menyebutnya ISIS dan kadang pula ISIL.
Sedangkan al-Baghdadi dan pengikutnya membedakan penamaan negara mereka antara sebelum dan sesudah dideklarasikan. Sebelumnya, mereka menyebutnya Daulah Islamiyah fi al-Iraq wa as-Suriyah. Namun, setelah dideklarasikan mereka menyebutnya cukup dengan Daulah Islamiyah. Yang terakhir ini dimaksudkan bahwa sebagai negara khilafah adalah tanpa batas. Dengan kata lain, negara mereka suatu saat nanti bisa saja bukan hanya di wilayah Irak dan Suriah, tapi juga wilayah-wilayah lain yang dikuasainya.
Dalam sesi sidang di lembaga hubungan luar negeri di Kongres AS beberapa waktu lalu -- yang juga dihadiri Menteri Luar Negeri AS, John Kerry --, sejumlah senator tampaknya juga kebingungan. Ada yang menyebut ISIS, ISIL, dan ada pula yang mengatakan IS. Sedangkan John Kerry, sebagaimana Obama, terkadang menyebut ISIS dan di waktu lain ISIL.
Bukan hanya ISIS, penulisan al-Qaida juga pernah jadi persoalan. Pada 2001, setelah al-Qaida menyerang menara kembar World Trade Center di New York, politisi AS menggunakan kata ‘Base’ sebagai terjemahan dari ‘al-Qaida’. Namun, lantaran kata itu dianggap kurang tepat, mereka kemudian menggantinya dengan nama asli yang digunakan oleh organsiasi yang didirikan Usamah bin Ladin itu. Yaitu al-Qaida. Nama ini kemudian diikuti oleh seluruh media di dunia.
Yang semakin membingungkan buat para politisi dan jurnalis AS, ISIS sendiri dalam perjalanannya sering mengubah nama organisasinya. Pada 1999 misalnya, ketika cikal-bakal ISIS mulai dibentuk, ia bernama Jamaah at-Tauhid wa al-Jihad. Orang-orang AS kemudian menyebutnya JTJ, yang merupakan huruf pertama dari nama organisasi tersebut.
Lalu, pada 2004, Abu Musab al-Zarkawi (terbunuh pada 2006), pendiri organisasi radikal itu, mengubah nama organisasinya menjadi al-Qaidah fi Bilad ar-Rafidin. Anehnya, media AS tidak menyebutnya dengan huruf pertama dari nama organisai itu. Juga tidak menerjemahkannya ke dalam bahasa Inggris. Tapi, menyebutnya sebagai ‘The Organization of Jihad's Base in the Country of Two Rivers’ atau ‘The Organization of Jihad's Base in Mesopotamia’. Mesopotamia adalah sebutan untuk Irak sebelum datangnya Islam.
Namun, karena dianggap kerang cocok, pada 2005 Kemenlu AS mengubah penyebutan organisasi tadi dengan al-Qaeda in Iraq (AQI). Padahal, al-Zarkawi sendiri tidak pernah menggunakan nama itu. Ia menyebut organisasinya sebagai al-Qaidah fi Bilad ar-Rafidin. Bilad ar-Rafidin adalah sebutan Irak pada masa Kekhilafahan Bani Abbasiyah yang meliputi banyak wilayah, termasuk wilayah negara asal al-Zarkawi, yaitu Yordania.
Apapun sebutan yang dilakukan oleh para politisi dan media di AS tehadap kelompok-kelompok radikal di negara-negara Islam, yang jelas mereka akan selalu menjadi kiblat. Kalau mereka menyebut negara yang dideklarasikan oleh al-Baghdadi dengan ISIS, ISIL atau IS, seluruh dunia akan mengikutinya, termasuk kita di Indonesia.
Penyebutan Islamic State of Iraq and Syria, Islamic State or Iraq and Levant atau Islamic State saja, tentu mengandung ‘maksud tertentu’, meskipun hanya mengikuti terjemahan dari nama asli yang digunakan al-Baghdadi. Seringnya penyebutan ‘Islamic State, Daulah Islamiyah, dan Negara Islam untuk negara al-Baghdadi, bisa dipastikan akan memperburuk citra Islam dan umat Islam di mata masyarakat dunia.
Karena itu, Darul Ifta al-Misriyyah, sebuah lembaga keagamaan (Islam) tertinggi di Mesir, pada akhir Agustus lalu menyerukan kepada seluruh umat Islam agar tidak lagi menyebut negara al-Baghdadi sebagai Islamic State atawa Negara Islam. Sebagai gantinya, Darul Ifta al-Misriyyah meminta untuk menyebutnya sebagai ‘al-Qaida Separatist in Irak and Syria’ yang disingkat QSIS. Alasannya, Darul Ifta menyebut tindakan dan kelakuan al-Baghdadi dan pengikutnya justeru bertentangan dengan Islam.
Hal senada disampaikan oleh lebih dari 120 ulama dan intelektual Muslim dari berbagai negara yang membuat ‘Surat Terbuka’ di Washington pada 24 September lalu. Surat Terbuka itu ditujukan kepada seluruh umat Islam, terutama ke al-Baghdadi dan pengikutnya, ditandatangai antara lain oleh grand mufti Mesir Prof Dr Sheikh Syauqi Ibrahim Abdul Karim ‘Allam dan mufti Jerusalem dan Palestina Sheikh Muhammad Ahmad Hussein.
Dalam Surat Terbuka yang mengandung 24 poin itu, antara lain disebutkan: Islam melarang kekerasan dan penyiksaan serta melarang berbuat jahat kepada sesama manusia. Di dalam Islam juga dilarang menuduh orang lain kafir hingga yang bersangkutan mengumumkannya sendiri (kekafirannya). Poin-poin ini merujuk kepada tindakan dan sikap al-Baghdadi dan pengikutnya yang mereka nilai telah bertentangan dengan ajaran Islam.
‘Surat Terbuka’ itu juga menyerukan kepada umat Islam agar tidak menyebut negara al-Baghdadi sebagai Islamic State alias Negara Islam. Penyebutan Islamic State terkandung makna seolah mereka melindungi kepentingan Islam dan umat Islam. Padalah, tindakan al-Baghdadi selama ini justeru bertolak belakang dengan ajaran Islam.
Sementara itu, sejumlah media mainstream di Timur Tengah -- antara lain Aljazeera dan al-Sharq al-Awsat -- tidak lagi menggunakan nama Daulah Islamiyah untuk menyebut negara al-Baghdadi. Mereka memakai nama Da’isy atau Tandzimu ad-Da’isy. Meskipun Da’isy sebenarnya singkatan dari Daulah Islamiyah fi al-Iraq wal as-Suriyah, namun mereka tak penah menyebut kepanjangan dari kata itu. Da’isy seolah sudah menjadi kata atau nama tersendiri untuk menyebut negara al-Baghdadi.
Yang mengherankan, umat Islam di Indonesia yang biasanya sangat sensitif dan reaktif terhadap simbul-simbul, nama, sebutan, atau istilah-istilah lain yang melecahkan Islam dan umat Islam, kali ini adem ayem saja. Kita tidak tersinggung sedikit pun dengan penyebutan Negara Islam, Daulah Islamiyah ataupun Islamic State terhadap negara yang dideklarasikan al-Baghdadi.
Saya khawatir bila hal ini dibiarkan, maka istilah, nama, atau sebutan-sebutan lain yang terkait dengan Islam dan umat Islam, lama kelamaan akan berkonotasi negatif. Misalnya bank Islam, sekolah Islam, ekonomi Islam, busana Muslim, makanan halal, sesuai syariat, dan sebagainya. Wallahu a’lam bi as-shawab