REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Ikhwanul Kiram Mashuri
Awal Oktober lalu masyarakat internasional dikejutkan dengan pengumuman Swedia yang akan segera mengakui Palestina sebagai sebuah negara merdeka dan berdaulat. Pengumuman itu disampaikan Stefan Lofven dalam pidato pelantikannya sebagai Perdana Menteri (PM) Swedia yang baru di depan parlemen pada 3 Oktober 2014. Lofven menggantikan PM sebelumnya, Fredrik Reinfeldt, yang telah berkuasa selama delapan tahun.
Keterkejutan masyarakat internasional itu lantaran ‘tidak ada angin dan tidak ada hujan’ tiba-tiba Sang PM Swedia yang baru dilantik itu mendukung penuh terhadap Palestina sebagai negara merdeka dan berdaulat. Apalagi ia tak sedang mengumbar janji-janji pemilu. Keterkejutan yang kemudian mengundang pertanyaan atau tepatnya keraguan, apakah pengumuman itu benar-benar akan dilaksanakan?
Pertama, sebagai negara anggota Uni Eropa, politik luar negeri Swedia tentu akan segaris lurus dengan negara-negara Eropa lainnya, atau minimal sehaluan dengan negara-negara Eropa Barat yang selama ini mempunyai pengaruh besar terhadap stabilitas di kawasan Timur Tengah. Dalam hal konflik Israel-Palestina, negara-negara Eropa pada umumnya cenderung mendukung kepentingan negara dan bangsa Israel.
Kedua, selama ini peran Amerika Serikat (AS) dan masyarakat Zionis internasional sangat kuat mempengaruhi politik luar negeri Uni Eropa, terutama terhadap negara-negara di Timur Tengah. Ketiga, Swedia boleh dikatakan tidak mempunyai kepentingan yang berarti dengan negara-negara Arab. Sebagai misal, Swedia merupakan negara yang paling minim mengambil keuntungan ekonomi dalam hubungannya dengan dunia Arab dibadingkan dengan negara-negara Eropa lainnya. Negara-negara Arab tidak termasuk 10 besar patner bisnis Swedia.
Keempat, di Swedia tidak ada masyarakat Arab yang bisa memberi pengaruh atau kekuatan menekan kepada pemerintah negara itu. Kelima, Swedia termasuk negara kaya. Jumlah penduduknya hanya sepertiga keseluruhan warga Arab Saudi, namun besaran APBN kedua negara hampir sama. Dengan begitu ia tidak perlu bantuan dari negara lain, terutama dari negara-negara Arab.
Karena itu, ketika Swedia -- lewat menteri luar negerinya, Margot Wallstrom -- pada 30 Oktober lalu benar-benar mengakui kemerdekaan dan kedaulatan negara Palestina, kita pun perlu mengacungkan jempol, seraya meneriakkan, ‘’Bravo Swedia!’’
Menurut Wallstrom, pengakuan resmi negaranya terhadap kemerdekaan dan kedaulatan negara Palestina merupakan sumbangan bagi masa depan yang lebih baik di kawasan yang telah lama diwarnai kehancuran dan frustasi. Ia mengatakan pengakuan terhadap negara Palestina karena mereka telah memenuhi segala persyaratan sebagai sebuah negara berdasarkan hukum internasional. Yaitu: ada wilayah, rakyat, dan pemerintah.
Wallstrom menolak reaksi AS yang mengatakan sikap negaranya terlalu cepat. Sebaliknya, ia justeru menegaskan pengakuan terhadap kemerdekaan dan kedaulatan negara Palestina sudah sangat terlambat. Karena itu, Wallstrom pun berharap sikap negaranya akan diikuti oleh negara-negara Eropa lainnya.
Sebelum pengakuan ini pun, Swedia sebenarnya telah menunjukkan pembelaannya terhadap nasib bangsa Palestina. Salah seorang perdana menterinya, Sven Olof Joachim Palme (30 Januari 1927-28 Februari 1986), beberapa kali mengecam kebiadaban Zionis Israel terhadap bangsa Palestina. Ia pun tewas ditembak menjelang tengah malam pada 28 Februari 1986.
Kini Swedia telah melangkah lebih jauh lagi, yaitu mengakui secara resmi kemerdekaan dan kedaulatan Palestina. Pengakuan ini jelas merupakan peringatan keras kepada PM Israel Benjamin Netanyahu, bahwa para pemimpin dunia yang ‘waras dan mempunyai hari nurani‘ seperti halnya PM Swedia Stefan Lofven akan selalu menentang kesewenang-wenangan Zionis Israel. Pemimpin seperti Lofven tidak akan bisa ditekan oleh siapa pun, termasuk intimidasi yang sering dilakukan oleh lobi-lobi Zionis internasional.
Sejauh ini Swedia merupakan negara maju pertama anggota Uni Eropa yang mengakui kemerdekaan Palestina. Sedangkan negara lain di Eropa yang sudah mengakui kemerdekaan Palestina adalah Islandia, Malta, dan Siprus. Namun, ketiga negara ini merupakan negara kecil yang tidak banyak pengaruhnya dalam percaturan politik dunia.
Kini Swedia masuk dalam jajaran 135 negara yang telah mengakui kemerdekaan Palestina. Pengakuan yang diharapkan bisa segera merealisasikan kemerdekaan Palestina yang berdaulat di wilayah Tepi Barat dan Gaza. Pengakuan internasional terhadap kemerdekaan Palestina ini juga sekaligus sebagai kekuatan penekan kepada Israel untuk segera mengakui negara Palestina.
Tanpa pengakuan terhadap negara Palestina, PM Benjamin Netanyahu dan penguasa Israel selanjutnya akan terus menjajah wilayah Palestina dan menjadikannya sebagai bagian dari Israel. Watak bangsa Israel yang ekspansionis hanya bisa diberhentikan dengan kekuatan besar dari masyarakat internasional. Pengakuan internasional ini sekaligus membuktikan bahwa Negara Palestina betul-betul ada dan eksis di muka bumi, sehingga Zionis Israel tidak bisa berbuat semena-mena terhadap bangsa dan negara Palestina.
Bila mereka terus menjajah dan tidak mengakui kemerdekaan Palestina, maka mereka akan berhadapan dengan kekuatan masyarakat internasional. Inilah arti penting dari pengakuan Swedia dan bangsa-bangsa waras lainnya terhadap kemerdekaan dan kedaulatan Palestina. Sekali lagi, bravo Swedia!