REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Asma Nadia
Belum lama ini, saya baru kembali dari perjalanan singkat ke Korea Selatan yang menjadi kunjungan ketiga sejak delapan tahun lalu. Begitu banyak perubahan terjadi, Korea Selatan maju pesat dan dikenal dunia.
Yang menakjubkan adalah masa depan seperti ini tampaknya sudah dipersiapkan sejak lama, sudah ada dalam bayangan pemimpin bangsa Korea sejak puluhan tahun lalu. Nanti akan saya ceritakan mengapa.
Paket kunjungan ke Korea Selatan yang memberangkatkan saya bertema Wisata Hikmah Bersama Asma Nadia. Digagas sebuah agen travel milik dai ternama di Tanah Air. Melalui Wisata Hikmah, diharapkan jalan-jalan akan bernilai lebih, menjadi media tadabur akan kekuasaan Allah dan penambah syukur. Selama perjalanan, makanan halal dan waktu shalat sangat diperhatikan.
Yang mengejutkan, begitu menjelajahi pusat wisata, saya dan rombongan menemukan banyak sekali turis dari Indonesia, bukan hanya pelajar. Bahasa Indonesia menjadi tidak asing terdengar, apalagi bukan satu-dua orang Korea yang menguasai bahasa Indonesia, termasuk tour leader yang menyambut kami. Tampaknya, Korea benar-benar menjadi tujuan wisata impian bagi warga Indonesia. Peluang yang dengan baik direspons berbagai pihak di Korea.
Demam K-Pop dan berbagai hal berbau Korea, mulai dari drama, musik dari berbagai boyband serta girlband, gaya hidup, aneka merek kosmetik dan teknologi, mendorong masyarakat kita untuk melihat Korea. Jumlah orang Indonesia yang berlibur ke Korea Selatan melonjak sekitar 30-40 persen. Tidak hanya berasal dari Jakarta, bahkan tak jarang dari berbagai pelosok daerah, termasuk Papua.
Usia turis yang berkunjung pun bukan hanya anak-anak muda. Tour leader kami, misalnya, pernah menemani rombongan turis Indonesia yang berusia rata-rata 70 tahun. Korea Tourism Organization menargetkan jumlah kunjungan wisatawan asal Indonesia mencapai hingga satu juta orang.
Kondisi ini terasa kontras dengan suasana ketika pertama saya datang ke Korea pada 2006 saat diundang sebagai penulis tamu untuk tinggal di Seoul selama enam bulan. Selain rombongan penulis, Korea mengundang orang-orang dari bermacam profesi. Seorang chef asal Indonesia juga ikut dalam program tersebut. Peserta lain ada yang dari Filipina, Bangladesh, Jepang, Malaysia, dan negara lain.
Saya teringat ketika di sana, seorang ajumma--sebutan bagi kalangan ibu setengah baya--meneriaki saya teroris saking jarangnya melihat orang berjilbab. Guru bahasa Korea di kelas yang saya ikuti mengakui awalnya takut melihat wajah saya yang serius ketika belajar. Selain itu, banyak orang memandang aneh saya yang mengenakan jilbab rapat--bahkan meminta saya membukanya saja--apalagi memasuki musim panas, ketika masyarakat lokal berpakaian lebih terbuka.
Berbeda dengan saat ini, meski belum banyak, kita bisa mendapati turis maupun masyarakatnya yang mengenakan jilbab, termasuk di media sosial, seperti Instagram. Ini bukan menyoal perkembangan Islam di Korea, melainkan merupakan bukti betapa Korea berhasil membangun minat turis asing untuk datang ke Negeri Ginseng itu, bahkan dari negara-negara mayoritas Muslim.
Ketika saya menceritakan hal tersebut sepulang perjalanan, suami tidak tampak kaget. Ia merasa fenomena yang terjadi adalah buah dari rencana jangka panjang yang sudah disiapkan sejak lama.
Kepada saya dia bercerita tentang kunjungan pertamanya ke Korea 30 tahun lalu, mewakili Palang Merah Remaja Indonesia untuk mengikuti track camp di Seoul. Selain Indonesia, delegasi dari Jepang, Taiwan, Filipina, Amerika, Australia, dan beberapa negara juga diundang.
Dalam berbagai perbincangan, suami bercerita bagaimana anak muda Korea saat itu menunjukkan kebencian terhadap Jepang yang pernah menjajah mereka. Namun, kebencian tersebut tidak diikuti tindakan kekerasan, tapi menjadi motivasi berprestasi yang menasional untuk mengimbangi Jepang.
Masa itu Korea sedang mempersiapkan diri menjadi tuan rumah olimpiade. Mereka mengajak para delegasi melihat megahnya stadion tempat berlangsungnya gelaran olahraga internasional itu. Bagi Korea, olimpiade merupakan bukti pencapaian besar karena sebelumnya hanya Jepang, bangsa Asia yang dipercaya menyelenggarakannya.
Sepatu bermerek juga sedang marak-maraknya dibajak oleh home industry Korea. Intinya, ekonomi mulai bergeliat. Mobil Hyundai sudah ada meski suami awalnya mengira hanya pelesetan Honda, tapi kini merek kendaraan tersebut telah mendunia.
Drama Korea sudah beberapa waktu mengalahkan popularitas drama Jepang, K-Pop mengungguli J-Pop, dan merek Samsung Mobile kini mendunia ketika Jepang belum mempunyai handset yang mendominasi pasar global.
Jika 30 tahun lalu suami sudah diperkenalkan berbagai makanan Korea, ketika saya datang ke negara itu sebagai penulis, teman saya sang juru masak justru mendapat pelajaran memasak makanan tradisional setempat. Tidak hanya itu, seluruh undangan diharuskan belajar bahasa Korea selama enam bulan sampai setahun di berbagai universitas di sana.
Tak ada yang kebetulan. Semua sudah direncanakan dan diperhitungkan dengan matang sejak lama. Tahap-tahap telah disusun teratur dan tidak hanya menjadi rencana, tapi jelas dilaksanakan. Korea sudah menyiapkan diri untuk tidak hanya unggul di Asia, tetapi menjadi salah satu global leader. Rasa nasionalisme yang tinggi merupakan salah satu kunci.
Sebuah perubahan memang seharusnya didesain bukan dinanti. Bagaimana dengan kita, bangsa Indonesia?