Jumat 23 Jan 2015 06:00 WIB

#JeSuisInsultant

Nasihin Masha
Foto: Republika/Daan
Nasihin Masha

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Nasihin Masha

Ada nada yang sama yang justru datang dari negeri bertolak belakang. Suara itu datang dari Tiongkok dan Amerika Serikat. Mereka menyebut serangan ke Charlie Hebdo, majalah mingguan yang terbit di Paris, Prancis, sebagai dampak kolonialisme Prancis.

Global Times adalah surat kabar -- oleh kantor berita AFP (Prancis) disebut sebagai milik pemerintah – yang terbit di Beijing, Tiongkok. Sebuah tajuknya, pada edisi 13 Januari 2015, atau enam hari setelah serangan berdarah terhadap Charlie, berjudul Post-Rally Reflection on Culture Clash Needed. Tajuk ini hanya sehari sebelum majalah itu terbit lagi dengan sampul – lagi-lagi tentang – Nabi Muhammad SAW. Atau hanya dua hari setelah aksi dukungan terhadap kebebasan berbicara (freedom of speech) di Paris yang menghadirkan sejumlah kepala negara dan diperkirakan diikuti lebih dari satu juta orang.

Tajuk itu justru menyinggung aksi unjuk rasa dan penerbitan kembali tersebut. “Aksi massif di Paris pada Ahad itu seperti mengobati orang sakit keras dengan obat penghilang rasa sakit,” tulisnya. Sama sekali tak menyelesaikan akar masalahnya.

Bagi Global Times, serangan terhadap Charlie adalah sebuah bayaran yang harus diterima masyarakat Barat terhadap masa lalunya yang melakukan perbudakan dan kolonialisme. Hal ini tecermin pada struktur demografi masyarakat Prancis. Ada imigran dari negeri bekas jajahannya yang berada di strata terbawah dengan segala kemiskinan, ketertinggalan, bahkan diskriminasi yang mereka terima.

Hal serupa juga diungkapkan oleh Mark LeVine. Profesor sejarah Timur Tengah di Universitas Kalifornia, AS, itu menulis di Al Jazirah, pada 10 Januari. Artikelnya berjudul Why Charlie Hebdo Attack is not About Islam. Pria yang menguasai 8 bahasa dan pandai memainkan musik itu mencatat, “Dari mana kita memulai cerita ini? Sangat sederhana, ini soal kolonialisme.” LeVine marangkum sejarah yang panjang dan tragedi yang multifaset itu dalam tulisan yang relatif ringkas.

Ia tak hanya bercerita tentang sejarah kolonialisme Prancis terhadap negara-negara di Afrika Utara – dua bersaudara penyerang Charlie lahir di Paris tapi berdarah Aljazair – tapi juga mengaitkannya dengan globalisasi, penguasaan ekonomi, terorisme, dan kolonialisme wajah baru (ia menyebut IMF dan Bank Dunia).

Menurutnya hadirnya Islam radikal hanyalah cermin dari kapitalisme radikal. Penyerangan terhadap kantor Charlie memiliki banyak wajah – ini tak berarti membenarkan terorisme ataupun tindak kekerasan lainnya. Wajah itu tak hanya soal kebebasan pers, tapi juga ada masalah krisis ekonomi Prancis, integrasi imigran, hadirnya radikalisme agama seiring dengan radikalisme liberalisme, globalisasi, dan seterusnya.

Kemunculan tagar #JeSuisCharlie, aksi massif freedom of speech, dan penerbitan kembali Charlie yang massif (satu juta, kemudian 3 juta, dan kabarnya kemudian menjadi 6 juta eksemplar memuat kartun Nabi Muhammad SAW) merupakan bentuk keangkuhan, kemunafikan, dan kepura-puraan Barat terhadap pluralitas.

Pada Senin (19/1), kementerian luar negeri Indonesia mengadakan diskusi dengan tokoh lintas agama dan sejumlah wartawan senior. Para pembicara -- termasuk menlu, menteri agama, dan menkominfo – memiliki pendapat yang sama: menghormati kemerdekaan pers dan kebebasan berbicara namun semua itu tetap ada batasnya. Memang ada satu pembicara yang kukuh dengan kebasan tanpa batas.

Sifat dasar jurnalistik adalah kritikal, tanpa itu bukan lagi bernama jurnalisme. Namun sifat kritis itu bukan berarti menghinakan dan merendahkan. Pers tidak hadir di ruang hampa. Ia berpijak pada masyarakat, beserta seperangkat nilai dan budayanya. Bukan hanya menghinakan dan merendahkan itu tak bermartabat, tapi juga merupakan bentuk kekerasan lain. Kasus Charlie ini telah menghilangkan nyawa tak hanya di Paris, tapi juga di Pakistan dan Nigeria. Kita bisa mengatakan mereka adalah orang-orang bodoh, sama seperti bodohnya kartunis Charlie.

Sikap Barat yang mengukuhi kebebasan tanpa batas itu mengingatkan debat kolonialisme di masa lalu. Sebelum hadirnya Konferensi Asia Afrika, kolonialisme adalah keniscayaan. Barat mengukuhi itu sebagai kebenaran, bukan sebuah dosa dan kesalahan.

Bagi mereka kolonialisme itu membawa masyarakat Timur pada kemajuan, pengetahuan, dan tata nilai baru yang modern. Hal itu untuk mengubah Timur yang tertinggal, bodoh, dan tradisional. Padahal, seperti kata Bung Karno, “maksud yang sedalam-dalamnya ialah urusan rezeki.”

Yakni perluasan wilayah, tenaga kerja, pasar, dan sumberdaya alam, yang merupakan keniscayaan kapitalisme yang membutuhkan ruang gerak lebih luas. Kolonialisme membuat bangsa-bangsa Timur tak bisa tumbuh dengan baik, bahkan sejumlah suku punah dibantai seperti suku-suku Indian dan Aborigin. Hanya negeri yang memiliki agama dan keyakinan kuat yang bisa bertahan, termasuk negeri-negeri berpenduduk muslim.

Setelah bangsa-bangsa di Asia dan Afrika mencapai kemerdekaan, Barat mengubah strategi. Bung Karno mengingatkan perubahan itu dengan menyebut hadirnya nekolim (neo-kolonialisme imperialisme). LeVine menyebut jika di masa lalu Barat meruntuhkan Timur, seperti kekaisaran Turki Usmani, dengan bank-bank internasional, maka di zaman baru ini mereka menggunakan IMF dan Bank Dunia.

Para negeri penjajah itu tetap mengkavling wilayah Timur dengan jejak sejarahnya: negeri-negeri merdeka itu tetap dalam 'tanggung jawab' bekas negara penjajahnya. Mereka tetap mengekspliotasi bekas jajahannya: sumberdaya alam, tenaga kerja murah, pasar yang luas, dan wilayah untuk geopolitik.

Kolonialisme lahir bukan hanya faktor kebutuhan ekonomi, tapi juga karena tiadanya rasa hormat sesama umat manusia dan hampanya penghormatan terhadap nilai-nilai dan keyakinan orang lain. Dulu, di pagar kantor Gubernur Jenderal Hindia Belanda dipasang tulisan “Anjing dan Pribumi Dilarang Masuk”.

Jika kita melihat film-film Mandarin, kita juga akan menemukan hal yang sama di negeri itu. Rupanya semua kolonial memiliki bahasa yang sama. Itu belum terlalu lama. Mereka gemar menghina dan merendahkan siapapun.

Tagar #JeSuisCharlie lebih tepat menjadi #JeSuisInsultant (Saya Penghina). Sebagai pengimbangnya adalah tagar #VousEtesVraimentInsultants (Kalian Memang Penghina).

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement