Ahad 25 Jan 2015 06:00 WIB

Harus Ada yang Bertanggung Jawab!

Asma Nadia
Foto: Republika/Daan
Asma Nadia

REPUBLIKA.CO.ID,Oleh: Asma Nadia

Sebuah berita di Cina tidak begitu menjadi perhatian masyarakat luas sekalipun sangat penting bagi pembelajaran bangsa Indonesia. Satu tim investigasi kota Shanghai memecat 11 pejabat distrik Huangpu karena dianggap lalai. Pemecatan ini terkait dengan insiden terinjak-injaknya warga saat perayaan tahun baru yang menewaskan 36 orang warga dan 49 orang luka-luka, 3 di antaranya masih dirawat di rumah sakit.

Dalam sebuah jumpa pers, ketua tim investigasi menyimpulkan bahwa pemerintah Distrik Huangpu kurang serius menjaga keamanan publik, pun soal persiapan pencegahan, lalu respon yang terasa minim , selain peringatan dini malam itu dianggap lemah, dan langkah respons tidak sesuai.

Kepala daerah, kepala kepolisian daerah, wakil kepala kepolisian daerah, pimpinan partai Distrik Huangpu  dipecat bersama tujuh pejabat lainnya. Selain memecat pejabat yang dianggap lalai, pemerintah Kota Shanghai juga memberi kompensasi pada keluarga korban. Kantor berita Xinhua memberitakan setiap keluarga korban akan menerima kompensasi sebesar 800 ribu yuan atau setara dengan Rp 1,6 miliar.

Peristiwa tersebut tidak terlalu terekspose di media karena sebelumnya pemerintah menahan informasi dan menekan keluarga untuk tidak bicara pada media. Lalu apa pelajaran yang bisa diambil oleh bangsa Indonesia?

Di Indonesia begitu banyak terjadi peristiwa yang memakan korban, salah satunya akibat kelalaian pihak berwenang atau pejabat publik, akan tetapi nyaris tidak ada budaya pertanggungjawaban.

Di negara maju seperti Jepang, Jerman, budaya mundur sudah lazim, lalu bagaimana dengan Indonesia atau Cina yang tidak punya budaya tersebut? Jawabannya seperti di Cina. Ketegasan, pertanggungjawaban, pemecatan dan jika perlu hukuman.

Dengan kasat mata kita bisa melihat deret kelalaian pihak berwenang yang berujung jatuhnya  korban jiwa tapi nyaris tidak ada yang bertanggung jawab, tidak ada yang dipecat, seolah tidak ada yang bersalah dan murni bencana belaka.

Yang  menarik dari peristiwa di Cina tersebut, media dibungkam tapi pemerintah tetap mencari siapa yang paling bertanggung jawab. Sebaliknya, di Indonesia media bebas mengungkap dan mengkritik tapi terkesan pihak terkait tidak malu dan tetap tidak maksimal mencari siapa yang bertanggung jawab. Tidak ada yang dipecat, tidak ada yang dianggap gagal. Sungguh ironi.

Setiap tahun saat mudik sekitar 900 sampai 1.000 orang meninggal. Terus terjadi, berulang setiap tahunnya. Apakah itu bencana? Bukan. Rutinitas mudik adalah peristiwa yang bisa diantisipasi. Toh tetap memakan korban. Alasan ada jutaan orang melakukan mobilitas bersamaan pada waktu yang sama sungguh tidak bisa diterima.

Di musim haji,  jutaan orang bergerak dalam waktu bersamaan tapi tidak memakan korban sebanyak itu. Dari puluhan tahun haji tidak banyak korban akibat terinjak injak, hanya sekali peristiwa tragedi Mina yang dipicu listrik mati. Tapi setelah itu pemerintah setempat melakukan evaluasi dan (semoga) sampai saat ini tidak terjadi lagi.

Belum lagi banyak kecelakaan yang dipicu oleh jalan berlubang. Sesuatu yang seharusnya selalu dipantau,  namun  kenyataannya terus berlangsung. Ketika terjadi peristiwa tanggul yang bobol dan memakan korban jiwa, juga tidak ada yang dipecat atau bertanggung jawab. Seolah merupakan kejadian alamiah. Padahal jauh sebelum bobol sudah ada retakan yang mengindikasikan tanggul sudah rentan.

Begitu juga longsor yang terjadi dan memakan korban jiwa. Tidak ada yang dipecat, tidak ada yang salah. Padahal jauh hari sebelumnya pihak berwenang setempat sudah diingatkan potensi longsor dilihat dari keretakan tanah, histori longsor, dll. Tapi tetap tidak diantisipasi.

Bencana asap yang terjadi hampir tiap tahun juga tidak ada yang bertanggung jawab. Tidak ada yang salah, tidak ada yang dipecat. Seolah merupakan bencana alam belaka. Padahal dari peta satelit terlihat jelas di mana titik api muncul, yang sebagian besar bersumber di wilayah pekebunan milik swasta. Tapi mereka tidak membayar kompensasi, tidak ada sanksi, bahkan tidak ada langkah serius untuk mengetahui apakah ini sepenuhnya bencana alam atau fenomena alam, adanya unsur kelalaian antisipasi atau bahkan pemicu kebakaran.

Bagaimana mungkin aparat, pejabat publik, atau swasta akan bersungguh-sungguh mengantisipasi sebuah bencana, sedangkan ketika terjadi bencana atau kesalahan pun tidak ada konsekuensi yang dihadapi.

Semoga apa yang dilakukan pemerintah Cina bisa menjadi pembelajaran. Harus ada yang bertanggung jawab atau sebuah kesalahan dan kelalaian. Tanpa tanggung jawab, hal serupa akan terus terjadi dan layaknya rutinitas yang hanya dipandang sebelah mata.

Kecuali Indonesia tidak malu dan ingin melestarikan kelalaian sebagai sebuah tradisi.kelalA

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement