Selasa 27 Jan 2015 06:00 WIB

Alquran, Umat Islam, dan Persaudaraan Universal (III)

Professor Ahmad Syafii Maarif
Foto: Republika/Daan
Professor Ahmad Syafii Maarif

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Ahmad Syafii Maarif

Kita kutip makna ayat 13 surat al-Hujurat secara lengkap, “Wahai manusia! Kami ciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, dan Kami jadikan kamu beberapa bangsa dan puak agar kamu saling mengenal satu sama lain. Sesungguhnya yang termulia di antara kamu di sisi Allah adalah yang paling takwa. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui, Mahasadar.”

Yang dipanggil oleh ayat bukan hanya orang beriman. Mufasir Muhammad Asad dalam The Message of the Qur'an (1980, halaman 792) memberi ulasan tentang etika sosial yang terkandung dalam ayat 13 ini. Kita kutip, “Bermula dengan penghormatan yang ditujukan kepada Nabi (dalam ayat 2-7) dan implikasinya kemudian atas kepemimpinan umat yang benar sesudahnya, diskursus ini mencapai puncaknya pada prinsip persaudaraan di antara orang-orang beriman (ayat 10), dan dalam pengertian yang terluas, persaudaraan seluruh umat manusia (ayat 13).”

Panggilan “Wahai Manusia!” dengan sendirinya bersifat umum, satu iman atau dalam lintas iman, lintas bangsa, dan lintas puak, atau lebih luas dari itu. Muhammad Asad dengan mengutip pendapat para mufasir Zamakhshari, Razi, dan Baydhawi bahwa penciptaan manusia dari seorang ayah dan seorang ibu mengandung prinsip “persamaan asal-usul biologis yang merefleksikan persamaan martabat manusia yang bercorak umum buat semua” (halaman 792 catatan no 15). Tetapi posisi termulia di mata Allah tetaplah diberikan kepada mereka yang paling bertakwa, sebuah posisi yang terbuka untuk semua manusia berdasarkan ayat 13 itu.

Dalam bacaan saya atas Alquran, memang banyak perintah agar manusia itu beriman yang terdapat dalam belasan ayat karena dengan iman itu manusia akan punya urat tunggang sebagai pegangan batinnya yang paling kuat. Tetapi, ada sebuah ayat dalam surat al-Nisa' (4): 136 yang memanggil orang yang sudah beriman untuk beriman, “Wahai orang-orang yang beriman! Berimanlah kamu kepada Allah dan rasul-Nya dan [kepada] Kitab yang diturunkan atas rasul-Nya dan [kepada] Kitab yang telah Ia turunkan sebelumnya. Dan barang siapa yang tidak percaya kepada Allah dan malaikat-Nya dan kitab-kitab-Nya dan para rasul-Nya dan hari akhir, maka sesungguhnya ia telah sesat dengan kesesatan yang jauh.”

Jelas di sini bahwa seorang yang sudah beriman pun masih diperintahkan agar bersungguh-sungguh dalam imannya, tidak boleh bermain-main dengan iman itu. Tetapi karena manusia diberi kemauan dan pilihan bebas untuk beriman atau tidak beriman dengan segala risikonya, maka terbacalah ayat berikut, “Berimanlah kamu kepadanya atau janganlah kamu beriman.” (QS al-Isra': 107); juga ayat ini, “Apakah engkau [Muhammad] ingin memaksa manusia agar mereka semuanya beriman?” (QS Yunus [10]: 99).

Selengkapnya makna ayat itu adalah sebagai berikut, “Dan jika Allah menghendaki, sungguh berimanlah seluruh umat manusia, apakah engkau ingin memaksa manusia agar mereka semuanya beriman?” Ada lagi ayat dalam surat al-Baqarah (2): 256, “Tidak ada paksaan dalam agama.”

Rupanya masalah iman ini bukanlah masalah sederhana. Rumit dan penuh misteri! Memerlukan izin Allah untuk beriman itu (lihat ayat 100 surat Yunus). Terus terang saja, saya gamang karena tidak tahu pasti apakah iman saya ini sudah benar atau belum. Ada doa untuk itu, “Ya Muqalliba al-qulub, tsabbit qalbi 'ala dinika wa 'ala tha'atik” (Wahai Zat yang membolak-balik hati! Teguhkan hatiku atas agama-Mu dan dalam sikap taat kepada-Mu).

Berdasarkan pengalaman empirik manusia sepanjang sejarah, ternyata tidak semua orang mau beriman di atas Planet Bumi ini. Ayat-ayat di atas membenarkan fakta itu semua. Dengan perkataan lain, pilihan bebas manusia telah membawa mereka kepada iman atau tidak beriman. Pertanyaan krusial yang muncul dari sini adalah apakah mungkin tercipta sebuah persaudaraan universal antara kelompok manusia beriman dan kelompok mereka yang tidak beriman?

Mungkin pandangan selintas akan mengatakan: persaudaraan antara orang beriman saja sulit diwujudkan, apalagi persaudaraan antara mereka yang beriman dan mereka yang tidak beriman. Agak masuk akal juga pandangan ini, tetapi menyesatkan jika kita mengacu kepada Alquran.

Penciptaan persaudaraan universal sangat mungkin dengan syarat kita menyepakati beberapa prinsip etika sosial yang dihormati semua pihak. Pertama, harus diakui dulu bahwa Planet Bumi ini adalah untuk seluruh manusia, beriman atau tidak beriman. Tak seorang pun yang punya hak monopoli atasnya dengan alasan apa pun. Kedua, harus ada pengakuan atas prinsip kesatuan umat manusia, sekalipun terdiri dari berbagai suku, bangsa, dan latar belakang sejarah. Pengakuan ini harus disertai dengan kesediaan menegakkan keadilan dan persaudaraan yang tulus antarmanusia. Ketiga, harus dikembangkan kultur toleransi yang luas di antara sesama umat manusia.

Saya sadar sepenuhnya bahwa cita-cita besar di atas sangat sulit untuk direalisasikan, tetapi pilihan di depan kita hanya dua: bersaudara atau terus bermusuhan dengan “memaksa” bumi ini untuk semakin menjadi membara. Alquran tidak diragukan lagi memerintahkan agar umat manusia menggiring bola sejarah ke arah pilihan yang pertama: mewujudkan persaudaraan universal! Bagi saya, pada akhirnya, demi keamanan ontologis manusia, maka persaudaraan universal adalah sebuah keharusan metafisis.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement