REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Nasihin Masha
Republika memang bagian dari korban sebagian situs-situs yang diminta untuk diblokir Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT). Ada dua isu yang dikenakan pada Republika: fitnah Syiah dan fitnah milik Yahudi. Namun, publik tetap waras, tak mudah ditelan fitnah semacam itu.
Tak ada upaya klarifikasi dari mereka, sebagaimana standar jurnalistik. Juga tak ada upaya mencabut berita karena berita itu jelas-jelas tak ada faktanya. Satu syarat utama sesuatu disebut berita adalah manakala ada faktanya.
Jika tidak faktual, sesuatu itu tak layak disebut berita sehingga tak boleh dipublikasikan-kendati ada klarifikasi alias ada cover both sides reporting. Namun, pengalaman buruk Republika itu tak harus membuat Republika kehilangan kejernihan.
Saat ini, kita sedang dihebohkan ihwal permintaan BNPT ke Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) untuk memblokir 19 situs online ada pula yang menyebutkan 22 situs online. Upaya pemblokiran ini mengundang kontroversi karena dasarnya adalah situs-situs itu menyebarkan paham “radikalisme”.
Seluruhnya ada empat kriteria: dorongan melakukan perubahan dengan cepat dan dengan cara kekerasan atas nama agama; mengafirkan orang lain; mendukung, menyebarkan, dan mengajak bergabung dengan ISIS; dan memaknai jihad secara terbatas. Penisbahan diksi “radikal” menimbulkan reaksi keras. Ini bisa ke mana-mana. Terbukti pada ucapan selanjutnya dari juru bicara BNPT: “Jokowi kafirlah, demokrasi sesat. Ini kan melecehkan NKRI.” Argumen yang tidak solid, ngawur, dan tidak fokus. Pada akhirnya, ini mengarah pada pemberangusan perbedaan pendapat dan pembungkaman kebebasan berekspresi.
Jika ditilik, 19 situs itu beragam. Ada situs pers, seperti hidayatullah.com dan eramuslim.com. Juga ada situs dakwah, seperti aqlislamiccenter.com. Yang terakhir ini merupakan situs kajian Alquran di bawah naungan AQL Center yang dipimpin Ustaz Bachtiar Nasir. Lainnya ada situs milik organisasi kemasyarakatan maupun organisasi perjuangan. Situs-situs itu dikelola mirip pers pada umumnya. Belakangan, Stanley, anggota Dewan Pers, menyebut semua situs itu bukan situs pers sehingga produknya pun bukan produk jurnalistik. Ini karena mereka tak terdaftar di Dewan Pers.
Namun Margiono, wakil ketua Dewan Pers, menyebutkan tak terdaftar bukan berarti tak bisa disebut bukan pers. Yang penting memenuhi kaidah kerja pers dan kaidah jurnalistik. Ketua Umum PWI Pusat ini mencoba berpikir lebih substantif dibandingkan dengan Stanley yang legal-formal. Padahal, Stanley adalah aktivis LSM. Ironis.
Apalagi kemudian terbukti, salah seorang wartawan Hidayatullah pernah mendapat anugerah di Hari Pers Nasional pada 2011. Lalu, bagaimana bisa produknya bukan produk jurnalistik, tapi wartawannya mendapat penghargaan jurnalistik? Margiono juga menyebutkan bahwa jika pun bukan institusi pers, situs-situs itu memiliki hak kebebasan berpendapat. Jadi, tak bisa diberangus begitu saja. Di sinilah titik poinnya. Argumen senada juga diungkapkan Ilham Bintang, ketua Dewan Kehormatan PWI Pusat, sebuah lembaga yang menilai penerapan kode etik jurnalistik dan kode perilaku wartawan.
Sejak awal, berdasarkan argumennya, BNPT sangat terlihat telah melampaui kewenangan dan kompetensinya. Harus disadari bahwa penyaringan (filtering) tetap dibutuhkan dalam dunia internet. Ini karena sifat internet yang seketika, masif, menjangkau, dan siapa pun. Sedangkan, publik perlu mendapat perlindungan.
Sebagai contoh adalah isu pornografi. Pemerintah juga memasukkan soal muatan SARA. Ada sejumlah isu lain yang dimasukkan pemerintah. Dalam hal pencegahan terorisme, negeri ini benar-benar harus dilindungi sepenuhnya dari ancaman tersebut.
Namun, cakupan terorisme yang luas, tentu harus ada kejelian. Mestinya, BNPT lebih fokus pada organisasi terorisme dan afiliasinya, misalnya, Alqaidah maupun ISIS. Namun, dalam usulan pemblokiran itu, BNPT telah masuk ke ranah pers dan tafsir agama. Urusan pers sudah jelas ada aturannya dan lembaganya. Sedangkan, soal penafsiran ajaran agama masuk ke dalam ranah Majelis Ulama Indonesia (MUI).
Sikap oposisi maupun menggugat ide-ide tertentu bukanlah sesuatu yang harus dibungkam. Itu bagian dari indahnya demokrasi dan perbedaan pendapat. Jika kita menabrak batas tersebut dengan mengatasnamakan kekuasaan, sesungguhnya kita sedang mempraktikkan fasisme dan otoritarianisme.
Berdemokrasi memang membutuhkan kesabaran. Bukan hanya menyedot energi, melainkan juga membutuhkan orang-orang yang memiliki visi dan mentalitas serta budaya demokrasi.
Munculnya usulan BNPT juga harus menjadi bahan introspeksi umat Islam, ulama, dan para aktivis Islam. Bagi yang aktif di dunia pers, mereka harus makin memahami dan mempraktikkan kaidah-kaidah jurnalistik. Mereka juga harus mengikuti aturan main yang sudah diatur komunitas pers Indonesia. Mereka harus mendaftar di Dewan Pers dan mengikuti semua protokol serta persyaratannya.
Bagi aktivis Islam, mereka harus menyadari bahwa terorisme itu nyata ada-terlepas dari latar belakang dan prosesnya. Kita harus bersama-sama mencegah dan membasmi terorisme. Melawan ketidakadilan global tidak bisa dihadapi dengan sikap putus asa dan bersumbu pendek. Ulama harus lebih proaktif dalam melakukan deradikalisasi dan pendekatan ke pemerintah. Ulama juga harus lebih independen agar memiliki sikap yang utuh.
Umat Islam Indonesia saat ini benar-benar sedang berada dalam fase yang lemah secara politik, ekonomi, maupun sosial. Pada sisi lain, dunia makin terintegrasi. Apa yang terjadi di Indonesia tak melulu faktor dari dalam negeri. Karena itu, butuh format dan respons baru untuk mengantisipasi perubahan tersebut. Namun yang paling mendasar, umat membutuhkan kepemimpinan yang solid, persatuan, kerendahan hati, dan kesahajaan.