REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Ikhwanul Kiram Mashuri
Bila berkunjung ke Turki, Iran atau mungkin negara lain, Anda jangan kaget bila warga setempat menyapa, ‘‘Apakah Anda dari Malaysia?’’
Ya, sapaan semacam itu ternyata hampir umum di kalangan penjual sovenir (bazaar), penjaga toko, dan sopir taksidi Istambul, Teheran, dan bisa saja di kota-kota besar lain, ketika mereka berinteraksi dengan orang-orang berwajah Melayu. Saya tentu saja merasa jengkel mendapatkan sapaan seperti itu. Sebagai orang Indonesia saya merasa dilecehkan. Harga diri saya diinjak-injak.
Coba, apa lebihnya Malaysia dibandingkan dengan Indonesia? Luas negara? Jumlah penduduk? Kekayaan dan keindahan alam? Saya yakin semuanya dimenangkan oleh Indonesia. Lantas, apakah turis Malaysia lebih kaya dan royal berbelanja di kota-kota tersebut? Bukankah orang-orang Indonesia, terutama kaum wanitanya, dikenal hobi belanja? Buktinya, Jakarta selalu dibanjiri oleh iklan-iklan belanja di KL (Kuala Lumpur), Singapura, Hongkong, Makao, dan seterusnya.
Sebaliknya, bila berada di Jeddah atau kota-kota lain di negara-negara Teluk, Anda jangan buru-buru berbangga ketika seseorang menyapa, ‘‘Apakah Anda dari Indonesia?’’
Ya, di negara-negara Arab Teluk kaya, orang Indonesia memang sangat dikenal. Namun, dikenal sebagai penyedia pasar tenaga kerja kasar. Dari kuli bangunan, sopir, hingga pembantu rumah tangga. Di keluarga-keluarga di Teluk bahkan tak jarang dari mereka ‘memelihara’ dua hingga empat orang Indoneisa: sopir, pengasuh anak, tukang masak, dan pembersih taman.
Karena itu tak mengherankan bila masyarakat Arab Teluk sangat akrab dengan Indonesia. Namun, Indonesia sebagai bangsa babu alias jongos. Siti Rahmah yang dulu merupakan panggilan terhormat untuk para perempuan jamaah haji kita lantaran terkenal royal berbelanja dan ngasih bakhsis, kini telah berubah menjadi Siti Khadimah alias Siti Si Pembantu.
Bahkan hukuman mati buat para TKW (tenaga kerja wanita) di Arab Saudi yang melanggara hukum, dianggap hal yang lumrah sesuai dengan peraturan yang berlakudi sana. Tidak perlu ada perlakuan khusus ke Indonesia sebagai negara sahabat. Tidak perlu ada hiruk pikuk seperti yang terjadi di Indonesia menjelang eksekusi mati warga asing yang melanggar hukum di negara kita.
Di tengah ‘pandangan rendah’ terhadap Indonesia itulah kita sekarang sedang menyelenggarakan, atau tepatnya memperingati, Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Asia-Afrika di Bandung. Harapannya tentu dari KTT ini bisa dihasilkan keputusan penting buat memperbaiki nasib kehidupan bangsa-bangsa di Asia dan Afrika yang sebagian besar masih terpuruk.
Namun, dengan kondisi sekarang, apakah kita bisa meng-copyKTT yang 60 tahun lalu telah berhasil mengharumkan nama Indonesia di mata masyarakat internasional? Saya khawatir KTT ini hanya seperti haul untuk memperingati meninggalnya seorang tokoh atau ulama besar. Atau meminjam istilah Arab, ‘‘mujarrad al ikhtifal bi dzikro ‘azizin faqadnahu’ alias ‘sekadar berkumpul untuk memperingati kehilangan orang yang kita cintai’.
Yang kita cintai itu tentu adalah Indonesia. Yakni Indonesia yang berwibawa, suaranya didengarkan, idenya diikuti, serta kehidupan berbangsa dan bernegaranya bisa dijadikan contoh. Atau meminjam istilah Presiden Jokowi, Indonesia yang pernah memainkan peran penting dalam sejarah dunia.
Dari berbagai pemberitaan di media, ada tiga agenda penting dalam KTT Asia-Afrika sekarang ini. Yaitu: Bandung Massage, Deklarasi Penghidupan Kembali Kemitraan Strategis Asia-Afrika Baru, dan Deklarasi Dukungan Kemerdekaan Palestina.
Mari kita ambil contoh tentang agenda dukungan kepada kemerdekaan bangsa dan negara Palestina. Apakah dari KTT Bandung kali ini akan ada keputusan penting yang baru?
Menurut saya, hanya ada dua hal bila kita ingin membantu perjuangan bangsa Palestina. Pertama, dengan perang. Pertanyaannya, mampukah Indonesia mengajak membentuk koalisi militer negara-negara Asia Afrika untuk menyerang Israel, seperti dilakukan Saudi beberapa waktu lalu ketika membentuk koalisi sepuluh negara untuk menyerang milisi al Khauthi di Yaman?
Saya ragu. Beberapa perang terhadap Israel seperti dilakukan negara-negara Arab pada 1948 dan 1967 selalu berakhir dengan kekalahan. Perang pada 1973 yang dimenangkan oleh Mesir pun tak banyak pengaruhnya pada nasib bangsa Palestina.
Kedua, bila perang tidak dimungkinkan, maka solusi berikutnya adalah perundingan damai. Dalam hal ini mampukah Indonesia dan para pemimpin negara-negara Asia Afrika yang hadir di KTT di Bandung memaksa Israel untuk duduk di meja perundingan? Bisakah Israel dipaksa membekukan pembangunan permukiman Yahudi di tanah Palestina, menarik pasukannya dari batas-batas negara sebelum 1967, termasuk membebaskan Madinatu al Quds (Jerusalem Timur), dan membebaskan tahanan politik Palestina?
Solusi untuk kemerdekaan bangsa Palestina tidak ada lainnya. Hanya ada dua: perang atau perundingan. Bila KTT Asia-Afrika di Bandung sekarang ini hanya menghasilkan deklarasi, pernyataan politik, dan janji-janji saja, maka itu sudah basi. Bangsa Palestina sudah kenyang dengan itu semua. Yang mereka butuhkan hanyalah tindakan nyata.
Indonesia bukan tidak pernah mengukir dengan tinta emas dalam membantu bangsa-bangsa di Asia-Afrika. Sebut saja sebagai misal, Indonesia adalah salah satu negara pendiri poros Non-Blok yang didahului oleh KTT Asia-Afrika di Bandung pada 1955. Non-Blok dan KTT Asia-Afrika inilah kemudian yang menginspirasi negara-negara di Asia Afrika memerdekakan diri dari penjajahan.
Indonesia juga pendiri dari Organisasi Konferensi Islam (OKI) yang kini berubah nama menjadi Organisasi Kerja Sama Islam. Berikutnya, Indonesia pun merupakan pendiri dan inspirator dari pembentukan Asean (Association of Southeast Asian Nations/Perhimpunan Bangsa-bangsa Asia Tenggara). Dulu anggotanya hanya lima negara (Indonesia, Malaysia, Filipina, Singapura, dan Thailand), kini berkembang jadi sepuluh (dengan tambahan Brunai, Vietnam, Laos, Myanmar, dan Kamboja).
Berkat Asean, kini Asia Tenggara merupakan salah satu kawasan yang paling damai di dunia. Salah satu faktornya tentu karena pengaruh Indonesia yang, di kalangan negara-negara anggota Asean lainnya, sudah dianggap sebagai saudara tua. Bahkan kini beberapa negara ingin bergabung dengan Asean, seperti Timor Leste, Bangladesh, Papua Nugini, dan Taiwan.
Kita kini mungkin hanya bermimpi mendapatkan pemimpin sekaliber Bung Karno, Bung Hatta, atau tokoh –tokoh lain yang hebat-hebat seperti dulu. Namun, bukan berarti Indonesia tidak bisa berberan lebih besar dan berpengaruh di kancah dunia. Syaratnya, bangsa dan negara ini harus kuat.
Untuk menuju ke sana ada beberapa hal yang harus dipenuhi. Antara lain kepemimpinan nasional yang kuat, rakyat yang sejahtera dan makmur sehingga tidak ada lagi yang jadi TKI dan TKW di luar negeri kecuali mempunyai skill. Berikutnya, kepastian dan tindakan hukum yang tegas tanpa pandang bulu, angkatan bersenjata yang kuat, dan kemudian politik, keamanan, serta sosial yang stabil.
Tanpa itu semua, saya khawatir Indonesia yang besar akan seperti macanompong. KTT Bandung hanya menghasilkan hiruk pikuk tanpa sesuatu yang konkrit buat kemajuan bangsa-bangsa di Asia dan Afrika. Indonesia hanya berhasil menjadi fasilitator dan tuan rumah yang baik bagi para tamunya, namun kehilangan wibawa kepemimpinan yang bisa mempengaruhi bangsa-bangsa di Asia dan Afrika.